Melihat Perang Rusia-Ukraina dari Sejarah Invasi Uni Sovyet ke Afghanistan
Kamis, 24 Februari 2022 lalu, Rusia resmi menyerbu Ukraina. Serbuan tersebut merupakan penanda meletusnya perang militer terbesar pasca Perang Dunia II di Eropa. Dalam perang ini, Ukraina disokong secara politik dan militer oleh NATO/blok sekutu pimpinan Amerika Serikat (AS).
Rusia yang sejak
runtuhnya Uni Sovyet menjadi pewaris
resmi imperium Sovyet adalah saingan resmi dari blok sekutu. Karena itulah, tidak
keliru jika konflik Rusia-Ukraina dapat dibaca pula sebagai babak
lanjutan dari persaingan di antara blok sekutu
dan Sovyet.
Persaingan
demikian jika dilacak sejarahnya sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dan terjadi
hanya sekali dua kali. Data mencatat bahwa peristiwa serupa terjadi berkali-kali
di berbagai tempat di dunia. Salah satu daerah yang cukup
rutin menjadi arena pertarungan blok sekutu dengan blok Sovyet adalah Timur
Tengah. Bila kita melihat ke belakang, berbagai dinamika politik yang terjadi
di Timur Tengah pasca Perang Dunia II berakhir, hampir tidak ada yang tidak
berkaitan dengan kepentingan AS dan Uni Sovyet/Rusia.
Invasi militer Sovyet
ke Afghanistan tahun 1979 salah satu contohnya. Peristiwa tersebut merupakan
momentum penting yang bisa memberi gambaran bagaimana konflik model
Rusia-Ukraina yang hari ini berlangsung sebenarnya pernah terjadi di masa lalu.
Perang Afghanistan
Latar belakang invasi Uni Sovyet ke Afghanistan tidak
bisa dilepaskan dari faktor kompetisi pengaruh di antara Sovyet dan AS selaku negara
pemenang Perang Dunia II. Setelah Perang Dunia II berakhir, dunia memasuki era
perang dingin yang mempertemukan blok barat dengan AS sebagai pemimpinnya melawan
blok timur pimpinan Uni Sovyet.
Kala itu, persaingan tidak lagi berbentuk fisik,
melainkan berupa pengaruh. Kedua blok yang bersaing, saling berupaya menyebarkan
pengaruh ke berbagai kawasan di dunia. Tujuannya agar banyak negara menjadi
bagian bloknya atau minimal berkiblat secara ekonomi-politik kepada salah satu
blok yang ada, apabila tidak mau bergabung secara resmi. Salah satu kawasan yang
menjadi sasaran penyebarluasan pengaruh blok barat dan timur adalah Timur
Tengah.
Di antara dua kekuatan yang bersaing, yang pertama masuk
Timur Tengah dan punya pengaruh relatif besar di sana adalah AS. Menurut Mantan
Ketua BIN sekaligus mantan Ketua PBNU, As’ad Said Ali dalam Al-Qaeda:
Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya (2014), blok sekutu berhasil
memainkan pengaruh di Timur Tengah setelah AS sukses mensponsori perjanjian
Camp David antara Mesir dan Israel pada Maret 1979.
Perjanjian ini sangat mengkhawatirkan Sovyet yang
memandang perjanjian tersebut sebagai pakta pertahanan AS di Timur Tengah. Bila
AS punya aliansi militer di Timur Tengah, eksistensi Sovyet akan terancam. Apalagi
AS kala itu telah menjual lebih dari 5 ribu peluru kendali ke Arab Saudi dan
mensuplai senjata ke Yaman Utara.
Berangkat dari fakta-fakta itu, tidak aneh jika
selanjutnya Sovyet berupaya memberi perimbangan kekuatan dengan berusaha masuk
pula ke Timur Tengah. Dan jalan masuk termudah dan terdekat yang bisa ditempuh Sovyet
adalah Afghanistan. Pasalnya, Afghanistan dengan Sovyet secara geografis
bertetangga dan di sana sudah ada partai komunis yang secara ideologi dekat
dengan Moskow. Itulah alasan mengapa Afghanistan yang dipilih sebagai batu
loncatan negeri beruang merah di Timur Tengah.
Awalnya, Sovyet belum berniat masuk secara fisik di
Afghanistan. Strategi Moskow adalah dengan mendukung tokoh-tokoh lokal yang
sehaluan dengan mereka. Taktik ini nyatanya berhasil dengan menempatkan Nur Muhammad
Taraki selaku pemimpin partai komunis Afghanistan ke tampuk kekuasaan pada 1978.
Namun seiring berjalannya waktu, Taraki tidak cukup kapabel untuk memimpin dan mengelola
konflik di Afghanistan. Ia lalu digantikan oleh rekan di partainya Bernama Hafizullah
Amin pada September 1979.
Di masa Amin ini situasi politik Afghanistan bukannya
membaik malah justru makin memburuk. Pemberontakan sipil telah meletus di 24
provinsi. Hanya ada dua provinsi yang aman dari pemberontak. Sovyet yang tidak
sabar melihat kondisi demikian lalu menerapkan operasi militer besar-besaran ke
Afghanistan pada 27 Desember 1979.
Akibat dari serbuan ini, Hafizullah Amin tewas dan
digantikan Babrak Kamal yang dijadikan pemimpin boneka oleh Sovyet. Masuknya Sovyet
ke Afghanistan secara resmi menandai awal mulai invasi blok timur ke Timur
Tengah.
Invasi Sovyet ke Afghanistan membuat AS berang. AS
menyebut bahwa invasi tersebut melanggar HAM dan perjanjian internasional karena
menyerbu negara berdaulat yang tidak sedang berperang. Kemarahan AS ada
benarnya. Perilaku Sovyet memang melanggar banyak norma-norma internasional
yang dipegang banyak negara sehingga layak untuk dikecam.
Hanya saja, sikap AS yang demikian disinyalir juga
dipengaruhi oleh faktor persaingan politik antara mereka dengan Sovyet. Dengan Moskow
yang telah menancapkan kekuasaan secara resmi di Timur Tengah, hal itu akan mengancam
pengaruh AS di kawasan tersebut yang lebih dulu masuk dibanding Sovyet.
Itulah sebabnya kemudian AS melakukan berbagai cara
untuk menjegal Sovyet di Afghanistan. AS gencar mengajak negara-negara lain
untuk juga mengecam dan memberi sanksi secara politik maupun ekonomi kepada Sovyet.
AS juga bahkan sampai turut mendukung aktifitas para jihadis Afghanistan secara
finansial maupun militer dalam melawan Sovyet.
Apa yang dilakukan AS nyatanya memang berhasil. Sovyet
kewalahan menghadapi para jihadis internasional yang tidak henti berdatangan
dari seantero negeri muslim yang telah dilatih AS sebelumnya. Ujung dari ini
semua, di akhir tahun 1980an, Sovyet perlahan-lahan menarik mundur pasukannya,
hingga puncaknya pada 1989 Sovyet secara resmi mengakhiri operasi militernya di
Afghanistan.
Kesamaan Invasi Uni Sovyet dengan Perang Rusia-Ukraina
Apa yang terjadi dengan konflik Rusia-Ukraina di tahun
2022, tidak berbeda jauh dengan invasi Uni Sovyet ke Afghanistan tahun 1979
lalu. Rusia yang kini menyerbu Ukraina diduga cemas dengan kebijakan politik
Ukraina yang mulai berkiblat ke AS dan sekutunya. Rusia cemas jika Ukraina masuk
ke barisan AS, hal itu akan mengancam eksistensi Rusia baik secara politik
maupun kedaulatan. Pasalnya, Ukraina bersebelahan langsung dengan Rusia. Kalau Ukraina
masuk menjadi bagian dari blok AS, otomatis musuh historis Rusia selama ini akan
ada di pintu gerbang halamannya sendiri.
Inilah yang dikhawatirkan Rusia. Rusia khawatir kehadiran
AS di depan pintu rumahnya akan mengancam mereka ke depannya. Oleh karena itu
disusun siasat berbagai rupa oleh Rusia agar dapat menghentikan upaya Ukraina
masuk ke dalam pelukan AS dan sekutunya.
Siasat terakhir yang diambil Rusia, semua orang sudah
sama-sama tahu, Rusia menyerbu Ukraina untuk menjadikan negara itu tidak jatuh
ke dalam pengaruh AS. Tindakan ini tidak berbeda jauh dengan tindakan Sovyet di
Afghanistan dulu. Dengan dalih agar terjadi perimbangan kekuasaan dan
eksistensi negaranya tidak terganggu, Sovyet menyerbu Afghanistan.
Apa yang dilakukan AS dalam konflik Rusia-Ukraina juga
relatif tidak berbeda dengan yang mereka lakukan ketika dulu Sovyet menginvasi
Afghanistan. AS mengecam dan menyerukan dunia internasional untuk memberi sanksi
kepada Rusia. AS juga mendukung secara militer pasukan Ukraina dengan
memberikan bantuan persenjataan untuk melawan tentara Rusia. Peristiwa ini
persis sama dengan yang pernah terjadi di Afghanistan puluhan tahun lalu. Faktor
pembedanya hanya dari sisi waktu dan tempat. Tapi secara model dan bentuk, tidak
ada perbedaan mencolok antara konflik Rusia-Ukraina dengan invasi Sovyet ke Afghanistan.
Pelajaran untuk Konflik Rusia-Ukraina
Tindakan Rusia yang menyerbu Ukraina jelas melanggar
HAM dan bertentangan dengan hukum internasional. Hanya saja, dalam konteks
perang, yang diutamakan selalu kepentingan pribadi terlebih dahulu daripada
kepentingan orang lain. Vladimir Putin selaku Presiden Rusia melakukan hal itu.
Ia memilih menyerbu Ukraina dengan resiko dihujat dan disanksi dunia internasional
demi menjaga kepentingan bangsanya sendiri di masa depan.
Hal demikian sudah sepatutnya menjadi pelajaran
berharga bagi negara-negara lain di dunia. Semua negara di luar kekuatan AS dan
Rusia harus sadar bahwa dunia sekarang hanya dikontrol oleh segelintir negara
saja, yang membuat ketidakberimbangan kekuasaan di dunia saat ini.
Ketidakberimbangan tersebut yang membuat konflik
Rusia-Ukraina dapat terjadi di mana saja. Sangat mungkin besok perang model
Rusia-Ukraina justru di Asia Tenggara, dengan Indonesia melawan Malaysia atau Malaysia
melawan Singapura. Bisa pula perang ini bergeser ke Asia Timur dengan Jepang
Melawan Korea Selatan atau Jepang melawan Korea Utara. Semua serba mungkin
mengingat bagaimana kekuatan para negara adidaya hari ini yang bisa memantik
perang di mana pun mereka mau.
Pada titik itu kemudian ide soal regionalisme menjadi
penting untuk ditinjau kembali. Gagasan ini mengkhendaki agar negara-negara di
berbagai kawasan dunia membangun aliansi militer dan ekonomi-politik antar sesama
negara di kawasan masing-masing. Hal ini dimaksudkan agar terjadi perimbangan
kekuasaan, di mana kekuasaan tidak hanya berpusat pada negara-negara adidaya,
tapi juga menyebar ke berbagai kawasan-kawasan lain.
Bila ini terwujud, apabila nantinya konflik seperti
Rusia-Ukraina kembali meletus di tempat lain, negara-negara di luar yang
berkonflik yang tidak punya pengaruh apa pun dengan jalannya konflik tidak akan
terkena getah dari konflik tersebut. Hari ini negara-negara yang jelas tidak
berkonflik dan kebetulan negara kecil serta tidak diperhitungkan dalam percaturan
politik global, seperti diseret-seret oleh dua kekuatan yang bertarung untuk
masuk di barisan masing-masing.
Hal tersebut tidak boleh terjadi di masa depan. Tiap negara
sudah selayaknya berdaulat secara politik tanpa ada intervensi apapun. Nah agar
suatu negara bisa berdaulat tanpa campur tangan siapa pun, perlu kekuataan
penyokong agar kedaulatan itu benar-benar tercipta. Kekuataan itu tidak mungkin
ada hanya karena negara itu sendiri.
Untuk itu, negara-negara yang pengaruh politiknya
kecil ini perlu bergabung secara regional untuk menyatukan kekuatan. Agar ketika
nanti negara adidaya memaksa untuk ikut serta terhadap sesuatu hal, karena
mereka bersatu dalam aliansi kawasan, mereka punya pilihan apakah akan menolak
atau menerima ajakan tersebut. Kalau ini terjadi, di masa depan wajah dunia akan
berbeda dengan yang hari ini ada.
Posting Komentar