Yang Luput Diperbincangkan dari Pilpres 2024
Kurang dua tahun dari sekarang, Indonesia akan mengadakan pemilihan umum (Pemilu) 2024. Menurut jadwal yang disepakati pemerintah, DPR, dan lembaga penyelenggara Pemilu, 14 Februari 2024 dipilih menjadi tanggal berlangsungnya pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Di Pemilu 2024, masyarakat akan memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, dan anggota DPD secara serentak.
Dalam Pemilu 2024, seperti pada tahun-tahun
sebelumnya, perhatian masyarakat umumnya akan tersedot pada momen Pemilihan
Presiden-Wakil Presiden (Pilpres). Hingga detik ini, nama yang beredar untuk
Pilpres nanti masih diwarnai oleh para politisi dari kekuatan politik lama
macam Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, atau Anies Baswedan. Tidak ada nama
baru di luar nama-nama tersebut.
Hal demikian wajar mengingat struktur dan
kerangka politik Indonesia pasca Reformasi memang secara tidak langsung
meniscayakan agar yang bisa tampil dan mencuat ke permukaan adalah mereka yang
memang punya modal politik dan ekonomi mapan. Mereka yang tidak punya keduanya,
biasanya akan sulit untuk merangsek naik ke tangga politik nasional. Tak heran
kemudian jika politik Indonesia hanya berkutat di orang itu-itu saja. Struktur
politiknya memang tidak kompatibel untuk melahirkan politisi baru di luar jalur
yang ada.
Tokoh-tokoh politik yang digadang-gadang
akan bertarung di 2024 adalah mereka yang punya modal di atas. Entah yang
modalnya langsung ia pegang sendiri layaknya Prabowo, atau modal tidak langsung
dalam rupa dukungan belakang layar dari mereka yang punya kekuatan
politik-ekonomi sekaligus seperti Jokowi di 2014 lalu. Apapun bentuknya, yang
pasti hanya dua model itulah yang akan mewarnai Pilpres 2024. Tidak ada yang
lain.
Pilpres 2024 esok, masihlah Pilpres yang
akan mempertarungkan mereka yang punya kuasa politik dan ekonomi secara
sekaligus seperti pada Pilpres yang pernah terjadi sebelumnya. Bisa jadi pada
Pilpres 2024 nanti, polarisasi di tengah masyarakat seperti pada Pilpres 2014
dan 2019 akan kembali terulang.
Kemungkinan tersebut cukup besar potensinya
jika melihat gelagat yang terjadi belakangan, di mana buzzer dan politik
identitas masih tetap dipakai sebagai strategi kampanye oleh para elite seperti
pada perhelatan Pemilu sebelumnya. Bila strategi demikian bertahan sampai
menjelang 2024, bau-bau akan kembali terbelahnya masyarakat sepertinya lumayan
menyengat.
Kalau itu yang terjadi, politik Indonesia
berarti belum bergerak signifikan sejak 10 tahun lalu. Kualitas demokrasi kita
masih berkutat pada ranah prosedural dan seremonial belaka. Belum bergerak
secara substansial pada ranah gagasan atau nilai.
Sibuk Mencari Supir daripada Mencari Tujuan
Perjalanan
14 Februari yang menjadi tanggal resmi
pelaksanaan Pemilu, aslinya bukan tanggal final yang tak dapat diubah. Kapan
Pemilu berlangsung masih sangat mungkin untuk diubah. Pasalnya, suara-suara
dari elite nasional yang ingin agar Pemilu ditunda masih santer terdengar
hingga saat ini, meskipun Jokowi sendiri telah mengatakan kalau Pemilu akan
berlangsung sesuai jadwal.
Tapi yang namanya politik, ia selalu
dinamis dan fluktuatif. Hari ini arah politik ke barat, besok bisa saja berubah
ke timur. Begitupun dengan Pemilu. Hari ini Jokowi menolak, tapi bisa saja
dalam rentang satu tahun ke depan, sikap Jokowi berubah. Bukan tidak mungkin
kalau ia malah mendukung wacana penundaan Pemilu. Tidak perlu kaget dan cemas
apabila hal tersebut terjadi. Yang terpenting publik tidak boleh lupa kalau
Jokowi adalah Presiden Indonesia yang sekaligus juga seorang politisi. Artinya
gerak langkahnya pasti dipengaruhi oleh logika dan perhitungan politik. Jadi
misalkan nanti Jokowi berubah pikiran terkait penundaan Pemilu, tidak ada yang
aneh akan hal itu. Politik memang begitu adanya.
Yang patut dicemaskan dan dikhawatirkan
adalah ketika Pemilu 2024 terjadi dalam kondisi minimnya gagasan yang hendak
dibawa para kontestan dalam momentum tersebut. Hari ini, diskusi mengenai
Pemilu 2024 berputar-putar hanya pada nama-nama para politisi yang akan turun
gelanggang. Hampir tidak ada perbincangan secara serius dan komprehensif yang
membahas mengenai gagasan apa yang akan diperjuangkan para kontestan apabila
nantinya terpilih dalam Pemilu 2024.
Para politisi yang digembar-gemborkan akan
maju dalam Pilpres 2024 belum ada yang bicara mengenai konsep atau imajinasinya
mengenai Indonesia ke depan. Sebagian besar kandidat malah sibuk berkampanye
secara terselubung di media sosial atau memasang baliho di mana-mana yang hanya
menambah polusi visual di ruang publik, daripada menyampaikan gagasannya untuk
Indonesia ke depan. Padahal gagasan ini penting, bagaimana mungkin seseorang
berani maju dalam Pilpres, tapi tidak bicara mengenai gagasan yang akan
diperjuangkan.
Kenyataan di atas diperparah pula oleh
sikap para relawan atau simpatisan yang telah mendeklarasikan dukungan kepada
para tokoh-tokoh tersebut. Para simpatisan ini tidak berusaha menciptakan iklim
perbincangan yang sehat dan menarik dengan mengarahkan publik agar bicara
mengenai arah Indonesia ke depan. Yang dibincangkan dan diketahui oleh para
simpatisan ini hanya bagaimana cara agar tokoh yang mereka dukung menang.
Mereka tidak terlalu risau dengan gagasan apa yang akan dibawa orang yang
mereka dukung. Yang penting yang didukung menang.
Kalau nantinya tokoh yang didukung menang,
para simpatisan ini biasanya akan berkesempatan mencicipi kue kekuasaan yang
berlimpah. Entah yang bentuknya komisaris perusahaan BUMN, staf di kementerian, atau kecipratan
proyek-proyek infrastruktur dan sejenisnya. Oleh sebab itu, di mata sebagian
relawan, gagasan apa yang akan dibawa si calon itu urusan nanti. Yang
terpenting calon jagoannya menang dulu. Urusan di luar itu bisa diatur di
kemudian hari.
Hal ini bisa dicek secara langsung di
lapangan. Perhatikan saja orang-orang yang sudah berkoar-koar mendukung A atau
mendukung B. Argumentasi mengapa ia mendukung umumnya tidak pernah berdasarkan
gagasan atau imajinasi politik dari calon yang didukung. Landasan utama
mendukung cenderung berkutat pada sisi suka tidak suka terhadap si calon dan
potensi timbal balik yang didapatkan apabila kita mendukung satu calon dan ia
menang. Kalau kita suka satu tokoh, dan ia berpotensi memberi timbal balik
sepadan atas kerja keras kita, tanpa pikir panjang pasti akan berbaris rapi
para relawan atau simpatisan dari si calon.
Kenyataan demikian menurut saya berbahaya
bagi kualitas dan dinamika politik dalam jangka panjang. Kalau tidak ada
perubahan radikal dalam iklim dan dinamika harian dari politik Indonesia
sekarang ini, ke depannya akan terjadi normalisasi bahwa politik memang hanya
urusan dukung mendukung calon semata, bukan tentang bagaimana menciptakan
kemaslahatan bersama. Dalam jangka panjangnya, publik bisa jadi tidak akan
peduli lagi dengan gagasan dan ide yang akan dibawa si tokoh. Publik hanya akan
fokus pada penampilan fisik, aktifitas harian si tokoh di media sosial, atau
perilaku-perilaku populis macam blusukan dan lain sebagainya.
Padahal, ketiga hal tersebut tidak bisa
menjadi indikator akan kualitas dan visi dari si calon. Bisa jadi politisi yang
aktif di media sosial, berpenampilan menarik, dan kerap blusukan justru
tidak punya konsep apa-apa untuk Indonesia. Yang dia tahu Indonesia harus maju
dan sejahtera. Tapi apa maksud dari maju dan bagaimana cara Indonesia maju
serta sejahtera jangan-jangan ia tidak tahu.
Karena itulah saya tidak setuju dengan
model politik yang berkembang hari ini di mana ketokohan menjadi faktor
penting. Bagi saya, yang terpenting adalah gagasan dan imajinasi kita untuk
Indonesia ke depan. Kita seharusnya menyepakati terlebih dahulu gagasan atau
cita-cita apa yang akan kita tuju sebagai sebuah bangsa ke depannya. Setelah
menyepakati itu barulah kita bicara mengenai siapa orang yang layak memimpin
kita menuju cita-cita tersebut.
Dalam konteks Pilpres 2024, para politisi
yang ingin maju seharusnya bicara mengenai apa yang bisa Indonesia lakukan di
kala konstelasi politik global yang semakin dinamis dan tidak terprediksi.
Peluang apa yang bisa Indonesia manfaatkan di tengah perkembangan laju
teknologi informasi yang semakin menggila. Kontribusi apa yang bisa diambil
Indonesia menyikapi permasalahan krisis lingkungan. Itulah contoh topik
pembicaraan yang selayaknya dibahas dan dipikirkan para politisi. Pembicaraan
semacam ini nantinya dapat menjadi semacam ukuran apakah si politisi layak dan
pantas atau tidak dalam mengemban amanah memimpin Indonesia dengan beban di
pundak yang sedemikian rupa.
Yang terjadi hari ini kita malah seperti
sibuk memilih supir atau nahkoda kapal daripada sibuk menyepakati atau memilih
tujuan yang hendak kita tuju. Padahal itu sangat penting. Bagaimana mungkin
kapal akan bergerak maju kalau arah yang ingin dituju belum jelas. Mungkin itu
jawaban mengapa Indonesia sampai detik ini kalah bersaing dengan negara lain.
Sebab utamanya tidak lain karena arah tujuan yang tidak jelas.
Butuh Konsepsi
Terus terang menyaksikan fenomena demikian,
saya teringat kata-kata Soe Hok Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran
(2011). Dalam buku yang sebenarnya merupakan catatan harian dari Soe Hok
Gie itu, ada satu bagian yang bagi saya relate dengan situasi hari ini.
Gie menulis bahwa kita butuh konsepsi untuk Indonesia ke depan. Segala daya
upaya yang bisa dilakukan untuk menghasilkan konsepsi tersebut harus
dikerahkan.
Konteks Gie menulis ini adalah ketika
situasi Indonesia sedang gonjang-ganjing akibat manajemen politik Sukarno yang
berusaha menjinakan berbagai ideologi besar macam Nasionalis, Agama, Komunis ke
dalam satu platform politik bersama bernama Nasakom. Niat Sukarno sebenarnya
baik, tapi mendudukan ketiga ideologi ini dalam satu meja merupakan keputusan
keliru. Ketiga ideologi tersebut punya watak dan karakter yang predatoris.
Tidak mungkin ketiganya akan berjalan beriringan tanpa gesekan. Pasti akan ada
satu pihak yang bakal mendominasi. Dalam konteks Nasakom, Komunislah yang cenderung
lebih dominan dan berpengaruh dalam politik Sukarno.
Kecondongan Sukarno kepada Komunis memantik
respon negatif di tubuh militer. Militer yang secara politik dan ideologi
bersebrangan jalan dengan PKI selaku representasi kelompok Komunis secara terbuka
menentang, memprovokasi, dan mengkampanyekan seruan-seruan yang anti komunis.
PKI pun melakukan hal serupa. Mereka menyerang kebijakan-kebijakan politik
militer. Persaingan di antara kedua pihak pada akhirnya nanti berujung pada
tragedi G30/S.
Itulah konteks situasi ketika Gie menulis
Indonesia butuh konsepsi. Menurut Gie, kita butuh konsepsi politik yang bisa
melampaui perdebatan di antara berbagai kekuatan yang bersaing. Konsepsi
demikian harus bisa menjelaskan dan menjawab persoalan yang sedang terjadi.
Konsepsi inilah yang bagi saya kita perlukan untuk menjawab berbagai
permasalahan Indonesia dewasa ini. Kita butuh konsepsi untuk melihat dan
mengarahkan ke arah mana Indonesia akan berjalan. Tanpa konsepsi, Indonesia
akan menjadi kapal besar yang hanya bergerak mengikuti arah angin tanpa tahu
hendak menuju kemana.
Diskursus tentang perlunya konsepsi inilah
yang sekarang tidak muncul dalam perbincangan publik kita. Yang muncul malah
obrolan tidak penting tentang siapa orang yang seharusnya menjadi Presiden di
2024. Padahal, lagi-lagi konsepsi inilah yang perlu segera dirumuskan untuk
menjadi pedoman arah Indonesia ke depannya. Tapi nyatanya, jangankan perumusan
konsepsi, perbincangan mengenai hal tersebut saja jarang. Para politisi jarang
atau bahkan tidak ada yang bicara hal demikian. Itulah masalah kita hari ini.
Tantangan yang akan dihadapi Indonesia di masa depan sangat banyak dan berat. Semoga saja sebelum Pilpres 2024 datang, diskusi atau perumusan mengenai konsepsi ini bisa terjadi. Kalau memang bisa terjadi, hal itu akan berguna dan bisa menjadi alternatif baru dalam tatanan politik Indonesia dewasa ini. Alternatif yang bisa membawa Indonesia bangkit dari bangsa budak menjadi bangsa yang digdaya dan berdikari. Kalaupun konsepsi tersebut tidak lahir, atau perbincangan mengenai konsepsi ini tidak terlaksana, hal itu juga tidak masalah. Biarkan saja Indonesia berjalan seperti sekarang. Biar nanti Tuhan yang turun langsung memberi gambaran konsepsi masa depan untuk Indonesia.
Posting Komentar