Melihat Potensi dan Signifikansi Populisme Islam di Indonesia
Belum lama ini, saya mengikuti diskusi di salah satu organisasi gerakan mahasiswa tempat dulu saya pernah menjadi anggota. Diskusi kali itu berbicara mengenai Populisme Islam. Di dalamnya diulas mengenai asal usul Populisme dan persinggungannya dengan Islam hingga akhirnya melahirkan Populisme Islam.
Diskusi
tersebut aslinya tak berbeda jauh dengan diskusi-diskusi lain.Yang membuat
diskusi itu sedikit berbeda, muncul sebuah pertanyaan dari peserta diskusi yang
untuk saya pribadi cukup menarik. “Mungkinkah Populisme Islam bangkit kembali
dalam momentum pemilu 2024?” begitulah bunyi pertanyaan tersebut. Pertanyaan
ini dilontarkan untuk dijawab semua peserta diskusi.
Bagi
saya, pertanyaan sejenis ini menarik karena memaksa kita untuk melakukan
prediksi atau analisis situasi berdasar landasan pengetahuan yang sedang
didiskusikan. Pengetahuan yang dimaksud bisa yang basisnya teori, pengalaman,
hingga fakta sejarah. Pertanyaan semacam ini penting untuk menghindari diskusi
masuk pada jebakan menara gading, di mana topik diskusi berjarak dengan
kenyataan dan tidak bisa dipakai untuk menjawab persoalan yang terjadi di
lapangan.
Saya
sendiri menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwa kemungkinan Populisme
Islam bangkit kembali di tahun 2024 itu tergantung situasi. Pasalnya, Populisme
sebagaimana yang lazim terjadi di berbagai belahan dunia mana pun selalu
dipengaruhi oleh tiga hal; pertama,
kemarahan atau kekecewaan publik terhadap kehidupan sosial yang sedang
berjalan, kedua, siapa tokoh yang
akan muncul mengeksploitasi kemarahan publik, ketiga, momentum. Tanpa ketiganya fenomena Populisme sulit muncul
dan menguat.
Potensi Kebangkitan Populisme Islam
Untuk
konteks Indonesia, Populisme Islam seperti yang dulu pernah terjadi pada
fenomena Aksi Bela Islam kemungkinannya bisa bangkit kembali pada pemilu 2024
menurut saya terbilang kecil. Alasannya karena tiga faktor yang menjadi basis
epistemologis kemunculan Populisme tidak seluruhnya ada dalam konteks saat ini.
Dari tiga faktor, yang hari ini ada baru faktor pertama, yaitu kemarahan atau
kekecewaan publik atas situasi negara. Dua faktor lainnya relatif tidak ada.
Habib
Rizieq Shihab (HRS) yang pada Aksi Bela Islam 2016 lalu menjadi aktor kunci
yang menggerakkan massa, kini sedang di penjara. Para penggantinya tidak ada
yang memiliki kemampuan seperti HRS bila ditinjau dari sisi agitasi,
propaganda, dan kompetensi personalnya. Hal demikian diperparah pula dengan massifnya
kontra narasi atas berbagai aspirasi Islam politik belakangan ini.
Kondisi
itu membuat bahan bakar dari mobil bernama Populisme Islam tidak bisa terisi
penuh. Kalaupun nanti sebelum 2024 HRS keluar penjara dan kembali berusaha
menggerakan masyarakat layaknya yang terjadi di tahun 2016, saya prediksi daya
ledak dari gerakannya tidak akan sebesar momentum Aksi Bela Islam. Ia hanya
akan menjadi letupan kecil layaknya petasan korek yang dimainkan anak-anak
ketika bulan Ramadan. Berisik tapi tidak mengkhawatirkan.
Sedangkan
dari sisi momentum, sekarang ini belum ada momentum yang mampu menyatukan
kekecewaan publik dalam satu gerakan bersama. Kekecewaan dan kemarahan publik
beberapa tahun terakhir jelas ada dan mengendap di alam bawah sadar sebagian
masyarakat. Hanya saja, dari berbagai kekecewaan itu, seluruhnya belum
terkonsolidasi dalam bentuk satu gerakan bersama. Yang terjadi kemudian
berbagai kekecewaan ini hanya disalurkan dalam bentuk keluhan-keluhan di media
sosial dan obrolan-obrolan warung kopi tanpa ada imajinasi perubahan yang jelas.
Momentum
dalam struktur gerakan sosial menjadi salah satu faktor penentu yang tidak
boleh diabaikan. Mustahil sebuah gerakan sosial berhasil melakukan perubahan
sosial tanpa ada momentum di dalamnya. Reformasi 98, Malari 74, aksi mahasiswa
66, gejayan memanggil, aksi menolak revisi UU KPK, hingga aksi menolak
penambangan Batu Andesit di Wadas, Purworejo, selalu disertai momentum pendorong
agar bisa meledak dan menciptakan gerakan bersama.
Pertanyaannya
kemudian, momentum ini apakah datang dengan sendirinya atau justru diciptakan?
Filsuf politik radikal, Alan Badiou mengatakan tidak ada momentum yang datang
secara tiba-tiba. Momentum selalu terjadi berdasar konteks tertentu. Bahkan
bisa dibilang momentum itu sebenarnya diciptakan.
Diciptakan
di sini bukan berarti direkayasa atau disetting
sedemikian rupa. Diciptakan menurut Badiou bermakna ketika para subjek radikal
atau subjek politik bersetia dengan peristiwa yang diperjuangkan hingga
nantinya momentum itu muncul. Contohnya begini, ketika gerakan reformasi 98
berhasil menurunkan Suharto, peristiwa itu diawali oleh krisis ekonomi yang
parah di tahun 96-an. Krisis ekonomi ini yang kemudian berdampak pada ledakan
kemarahan rakyat hingga menciptakan momentum gerakan bersama menggulingkan Orde
Baru.
Nah
momentum itu, bagi Badiou tidak terjadi begitu saja dari langit. Ia terjadi
karena proses akumulasi permasalahan yang berlangsung bertahun-tahun. Akumulasi
permasalahan ini tidak bisa meledak begitu saja jadi momentum politik tanpa ada
subjek politik yang setia mengawal dan memperjuangkan berbagai permasalahan
tersebut.
Kesetiaan
di sini haruslah tertuju pada nilai kebenaran yang menjadi pondasi perjuangan,
bukan pada bentuk atau capaian dari perjuangan tersebut. Misalkan perjuangan
agraria berhasil memaksa pemerintah mencabut atau menunda proyek yang akan
merampas tanah rakyat. Para aktivis yang mengawal kasus ini harus tetap
bersetia terhadap kebenaran yang menjadi pondasi perjuangan, bukan pada capaian
parsial dari perjuangan tersebut. Karena itulah momentum politik bagi Badiou
tidak boleh ditunggu. Ia harus disiapkan dengan kesetiaan para subjek hingga
momentum itu datang dalam satu konteks tertentu.
Jika
memakai abstraksi teoritik model Badiou, momentum akan tercipta tergantung dua
hal; pertama akumulasi permasalahan
yang terjadi di masyarakat, kedua, kesetiaan
subjek terhadap kebenaran. Dalam konteks Populisme Islam, momentum yang akan
memantik bangkitnya momen populis adalah kondisi tatanan masyarakat yang
bermasalah dan kesetiaan para subjek di dalamnya untuk tetap berjuang
mewujudkan cita-citanya.
Bila
melihat situasi hari ini, akumulasi permasalahan yang berdampak pada kemarahan
dan kekecewaan rakyat memang nyata adanya. Tapi subjek politik yang setia
mengawal berbagai kekecewaan rakyat ini bisa dikatakan tidak ada dewasa ini. Rakyat
sendirian meratapi situasi negara. Kondisi demikian berbeda dengan situasi sebelum
Aksi Bela Islam meledak.
Sebelum
Aksi Bela Islam muncul, akumulasi persoalan sudah muncul sejak tahun 2014,
tepatnya pasca pertarungan Jokowi melawan Prabowo dalam Pilpres. Mereka yang
kecewa dengan Jokowi dan tatanan yang ada bertemu dengan subjek-subjek yang
setia berada satu barisan dengan mereka yang kecewa. Perkawinan silang ini yang
ujungnya meledak setelah Ahok salah ucap dalam satu pidato di Kepulauan Seribu.
Tanpa ada akumulasi kekecewaan dan subjek yang setia di dalamnya, ucapan Ahok
tidak mungkin memantik gelombang kemarahan besar saat itu.
Kondisi
hari ini berbeda dengan era Ahok dulu. Kemarahan publik jelas banyak jika
ditinjau dari berbagai persoalan yang sekarang ada. Tapi subjek-subjek politik
yang setia mengawal mereka yang marah ini tidak ada. Itulah sebabnya hingga
detik ini tidak ada ledakan apa pun dalam kehidupan kenegaraan. Secara kasat
mata negara seperti berjalan stabil tanpa ada permasalahan besar yang
menyelimutinya. Padahal berbagai permasalahan yang ada sekarang, kalau
benar-benar dicermati sudah lebih dari cukup untuk memantik rakyat turun ke
jalan.
Atas
dasar itulah saya berpendapat bahwa Populisme Islam dalam konteks 2024
kemungkinannya untuk bangkit kecil. Unsur-unsur pendukung Populisme Islam dalam
situasi sekarang belum lengkap. Ketidaklengkapan unsur penyokong ini tidak
berarti menutup kemungkinan Populisme Islam untuk bangkit di Indonesia.
Populisme
Islam masih sangat mungkin bangkit karena aspek paling fundamental dari Populisme,
berupa kemarahan dan kekecewaan rakyat masih ada. Tinggal apakah ada tokoh yang
mampu mengambil peluang atas hal ini hingga nantinya momen populis itu muncul
dan akhirnya meledak. Kalau tidak ada tokoh yang mengeksekusi kenyataan
demikian, Populisme Islam hanya akan menjadi angan-angan.
Signifikansi Populisme Islam
Dalam
rentang 10 tahun terakhir, Populisme memang menjadi topik perbincangan yang
lumayan hangat dalam dinamika pemikiran politik kontemporer. Pangkal sebabnya,
Populisme di banyak tempat menguat dengan cukup signifikan.
Jika
di Indonesia ada Populisme Islam lewat fenomena Aksi Bela Islam pimpinan Habib
Rizieq, di Amerika Serikat (AS) ada Donald Trump yang memakai logika populistik
untuk menggaet suara. Di beberapa negara Eropa macam Prancis Populisme juga dipakai
sebagai strategi menarik suara. Di Prancis ada Marie Le Pen yang memainkan pola
populistik dalam taktik mendulang suara. Trump dan Le Pen sama-sama
mengeskpoitasi sentimen anti imigran, anti kulit berwarna, anti Islam, dan anti
LGBTQ di negara masing-masing. Bedanya, Trump berhasil menjadi Presiden AS
dengan cara ini, sedangkan Le Pen malah kalah.
Berangkat
dari hal di atas, saya melihat bahwa yang perlu dicermati sebenarnya bukan
apakah Populisme Islam mungkin bangkit atau tidak ke depannya. Pertanyaan
mendasar yang perlu dijawab justru kalau memang Populisme Islam bangkit, seberapa
signifikan ia terhadap tatanan sosial-politik Indonesia. Jangan-jangan kalau Populisme
Islam bangkit, pengaruhnya justru tidak signifikan. Jangan-jangan kalau Populisme
Islam bangkit, tak ada perubahan apa pun yang terjadi dalam tatanan masyarakat.
Abdil
Mughis Mudhoffir, kandidat Ph.D, dari University of Melbourne, yang fokus
meneliti tentang Populisme Islam di Indonesia, menyebut bahwa Populisme Islam
memang tampak besar dan seakan punya kekuatan besar. Tapi pada kenyataannya
kelompok ini sebenarnya marjinal dalam dinamika sosial-politik nasional.
Suara
mereka tak terlalu signifikan dan tidak solid dalam ruang politik nasional. Mereka
hanya besar dari sisi basis massa, tapi kecil pengaruhnya dalam dinamika politik
nasional. Hal ini terjadi karena hingga detik ini, tidak ada kelompok politik
nasional seperti partai, yang merepresentasikan dirinya dengan kelompok ini.
Dari sekian banyak partai, baik yang basisnya Islam maupun sekuler, tak ada
satu pun yang mengafiliasikan dirinya dengan gerakan ini.
Vedi
R. Hadiz dalam Populisme Islam di
Indonesia dan Timur Tengah (2016), menjelaskan bahwa sebab tidak
signifikannya Populisme Islam di Indonesia karena tidak terbentuknya aliansi
multi kelas yang kohesif dan kendaraan politik yang berjuang merebut kekuasaan
di bawah satu panji besar umat Islam. Kelompok Populisme Islam terlalu
terfragmentasi berdasar golongan dan basis religius masing-masing. Tidak ada
kesatuan organik di tubuh mereka.
Itu
sebabnya di internal kelompok Populisme Islam sendiri terdapat banyak kelompok
yang tidak selalu bertemu pada semua isu atau persoalan masyarakat. Mereka
hanya bertemu pada isu-isu tertentu seperti konflik Palestina-Israel, sweeping tempat maksiat ketika bulan
Ramadan, atau keharaman mengucapkan selamat natal kepada umat Nasrani. Untuk
isu-isu sosial-politik mereka kerap bersebrangan jalan.
Hal
demikian membuat Populisme Islam di Indonesia acapkali hanya dijadikan
kendaraan para elite politik nasional untuk mendulang suara dan simpati. Ketika
suara digenggam, kelompok Populisme Islam tidak lagi dibutuhkan. Yang terjadi
selanjutnya para politisi ini akan memutus hubungan begitu saja dengan kelompok
Populisme Islam yang sebelumnya mereka tunggangi.
Bergabungnya
Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno ke pemerintahan Jokowi menunjukan hal itu.
Setelah Pilpres berakhir, di mana Prabowo-Sandi kalah, mereka justru masuk ke
kabinet Jokowi. Padahal, sebelum Pilpres mereka melawan Jokowi dengan memakai
sentimen yang muncul dari gerbong Populisme Islam. Namun ketika Pilpres usai
dan mereka kalah, mereka malah jadi bagian pemerintahan Jokowi. Hal ini
menggambarkan secara telak bagaimana tidak signifikannya kelompok Populisme Islam
di Indonesia. Mereka hanya ramai di permukaan tapi kosong di dalamnya.
Pada
titik itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari Populisme Islam. Ia sama
dengan ekspresi politik lainnya yang sama-sama berangkat dari permasalahan
masyarakat dan bercita-cita menciptakan perubahan atas permasalahan tersebut.
Tinggal nanti dilihat apakah ekspresi politis mereka ini berdampak pada
kemanfaatan bersama atau tidak. Kalau tidak bermanfaat untuk tatanan sosial
secara luas, Populisme Islam jadi satu barisan dengan para musuh rakyat yang
bisa ditolak dan dilawan seketika itu juga. Tapi kalau ternyata justru
menimbulkan kemanfaatan, Populisme Islam sebagai alternatif perjuangan politik
dapat didukung dan dipakai di tengah kebuntuan politis atas tatanan yang ada.
Posting Komentar