Wacana Penundaan Pemilu dan Dilema Perjuangan Masyarakat Sipil
Pemerintah, DPR, dan penyelenggara Pemilu sepakat menetapkan tanggal 14 Februari 2024 sebagai hari pemungutan suara serentak. Kesepakatan tersebut tercapai dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI, bersama Menteri Dalam Negeri, KPU, dan Bawaslu, pada 24 Januari 2022 lalu.
Kesepakatan ini idealnya mengakhiri berbagai spekulasi
mengenai Pemilu yang sebelumnya bermunculan, seperti perpanjangan masa
pemerintahan Jokowi, wacana Presiden boleh menjabat sampai tiga periode, hingga
penundaan Pemilu. Namun pada kenyataannya, polemik mengenai Pemilu 2024 masih terus
terjadi pasca tanggal Pemilu ditetapkan.
Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) adalah
orang pertama yang melempar isu mengenai penundaan Pemilu pasca penetapan
tanggal Pemilu secara resmi. Kata Cak Imin, Pemilu sebaiknya ditunda karena
apabila Pemilu tetap dilaksanakan di tahun 2024, hal itu akan mengganggu proses
pemulihan ekonomi yang sedang berjalan akibat terpaan badai pandemi covid-19.
Cak Imin ingin agar momentum perbaikan situasi nasional tidak hilang hanya
karena Pemilu 2024. Cak Imin mengklaim bahwa idenya ini didasari kenyataan
lapangan dan aspirasi masyarakat luas. Masyarakat mana yang ia maksud sampai
detik ini tidak jelas.
Setelah Cak Imin melempar bola panas mengenai
penundaan Pemilu, bak jamur di musim hujan, bermunculan tokoh nasional lain
yang juga menyampaikan aspirasi serupa. Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, Ketua
Umum Golkar, Airlangga Hartanto, Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil
Lahadalia, hingga Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan
adalah para tokoh nasional yang pro-penundaan Pemilu seperti Cak Imin.
Argumentasi mereka semua juga tidak berbeda jauh.
Mereka menilai bahwa Pemilu perlu ditunda 1-3 tahun untuk memberi ruang pada
pemulihan perekonomian yang hancur akibat pandemi. Nantinya, setelah
perekonomian membaik Pemilu baru bisa dilaksanakan. Menurut mereka, anggaran Pemilu
yang hingga triliyunan rupiah akan sangat sayang digelontorkan begitu saja di
kala kondisi masyarakat sedang susah. Lebih baik anggaran sebesar itu dipakai
untuk menyuntikan modal usaha ke masyarakat daripada dihabiskan untuk Pemilu.
Apalagi pengalaman Pemilu di dua kali kontestasi terakhir berakibat pada
polarisasi masyarakat yang cukup berdampak pada kestabilan nasional.
Para elite ini melihat Jokowi sebagai sosok yang masih
dianggap pantas memimpin Indonesia. Berbagai pencapaian yang dicapai selama
pemerintahannya menjadi indikator oleh para pejabat negara ini untuk
berpendapat bahwa Jokowi layak tetap menjadi Presiden Indonesia. Luhut
Panjaitan dalam satu kesempatan bahkan sampai mempertanyakan mengapa Jokowi
harus turun. Baginya tidak ada alasan untuk Jokowi turun dari pemerintahan
mengingat keberhasilannya selama ini.
Meski KPU, pemerintah, dan DPR sudah menentukan kapan tanggal
pasti Pemilu, namun hingga saat ini, polemik mengenai penundaan Pemilu masih
bergulir. Polemik penundaan Pemilu berjalan beriringan dengan isu minyak
goreng, KTT G-20, pembangunan IKN, dan berbagai isu lainnya. Menyikapi hal tersebut,
publik terpecah menjadi tiga kubu, ada yang pro-penundaan Pemilu, ada yang
menolak penundaan Pemilu, dan ada pula yang masa bodoh dengan penundaan Pemilu.
Mereka yang setuju penundaan Pemilu, umumnya terdiri
dari simpatisan partai yang sejak awal sudah melontarkan isu ini, seperti PKB,
PAN, dan Golkar. Selain itu, para pendukung garis keras Jokowi juga ada di kubu
ini. Mereka ini umumnya adalah individu-individu yang tergabung dalam komunitas
relawan Jokowi.
Alasan mereka sepakat penundaan Pemilu tidak berbeda
jauh dengan argumentasi para elite negara yang sebelumnya sudah melemparkan isu
ini. Seluruhnya menganggap situasi Indonesia sekarang yang sedang berjuang
keluar dari krisis akibat pandemi tidak tepat jika dipaksakan untuk mengadakan Pemilu.
Hal itu hanya akan memperburuk situasi. Mereka menganggap Jokowi masih layak
memimpin Indonesia untuk keluar dari jurang krisis yang sedang membelit
Indonesia saat ini.
Sedangkan mereka yang menolak penundaan Pemilu jika
dipetakan terdiri dari partai-partai di luar yang sejak awal menggelontorkan
isu penundaan Pemilu. Adapun partai yang menolak penundaan Pemilu meliputi
PDI-P, Gerindra, Nasdem, PKS, dan Demokrat. PPP tidak masuk hitungan karena
sejak awal cenderung pasif merespon isu ini. Walau patut diduga kalau PPP akan
mendukung penundaan Pemilu mengingat posisinya selama ini yang cenderung
menempel Jokowi sejak awal. Selain dari kalangan partai, mereka yang menolak
juga ada yang berasal dari kalangan akademisi, aktivis pro-demokrasi,
ormas-ormas sipil kemasyarakatan, hingga masyarakat sipil biasa.
Alasan mereka menolak penundaan Pemilu karena hal
tersebut bertentangan dengan konstitusi dan warisan reformasi 24 tahun lalu.
Reformasi secara jelas mengamanahi untuk membatasi kekuasaan Presiden. Jika
kekuasaan tidak dibatasi, praktik otoritarianisme layaknya Orde Baru akan
kembali bangkit dengan sendirinya. Dari situ kemudian, mereka berpendapat kalau
Pemilu ditunda itu sama saja mengkhianati perjuangan berdarah yang dilakukan
rakyat guna menumbangkan otoritarianisme. Apa artinya reformasi jika konstitusi
yang menjadi pegangan justru dilanggar demi nafsu politik segelintir elite
nasional.
Menurut Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES,
Wijayanto, alasan penundaan Pemilu tidak masuk akal. Jika alasannya adalah
karena Indonesia sedang krisis ekonomi, justru dengan Pemilu itu bisa jadi
momentum untuk mengevaluasi kepemimpinan nasional yang gagal membenahi ekonomi.
Kalau memang faktor ekonomi jadi faktor pendorong, seharusnya megaproyek macam
IKN tidak dilanjutkan. Tapi pada kenyataannya, proyek IKN tetap jalan. Artinya
persoalan ekonomi bukanlah menjadi penghambat berbagai proyek untuk berjalan. Argumentasi
yang menyebut kalau Indonesia masih pandemi juga tidak bisa diterima akal
sehat. Alasannya, hari ini dunia sedang bergerak ke arah endemi. Covid-19 akan
menjadi endemi, tidak lagi pandemi seperti dulu ketika di awal 2020.
Selain itu, klaim para pendukung penundaan Pemilu yang
menyebut kalau rakyat setuju terhadap penundaan Pemilu, di mata mereka yang
menolak tidak memiliki pendasaran ilmiah. Data otentik atas klaim rakyat setuju
penundaan Pemilu tidak ada. Luhut yang mengklaim memiliki big data percakapan media sosial yang condong setuju pada penundaan
Pemilu tidak pernah mau membuka sumber datanya.
Malahan, data dari berbagai lembaga survei justru
menyebut kalau masyarakat menolak penundaan Pemilu. Lembaga Survei Indonesia
(LSI) misalnya, menurut hasil survei pada awal Maret 2022, sekitar 70%
masyarakat Indonesia menolak penundaan Pemilu. Hasil LSI tidak berbeda jauh
dengan publikasi Y-Publica yang menyebut, bahwa mayoritas masyarakat
menginginkan penyelenggaraan Pemilu tetap sesuai jadwal. Hasil survei Lembaga
Survei Nasional (LSN) juga mengungkap hal senada. Menurut LSN, 68,1% masyarakat
tidak setuju terhadap usulan penundaan Pemilu 2024. Data yang diungkap tiga
lembaga survei di atas, secara telak membantah klaim sepihak mereka yang mengusulkan
penundaan Pemilu. Pada kenyataannya, masyarakat yang dipandang setuju Pemilu,
justru menolak penundaan Pemilu.
Wacana penundaan Pemilu bisa dibaca sebagai sebagai
upaya memuaskan kepentingan para oligark yang 10 tahun terakhir panen
keuntungan. Mereka menolak Pemilu karena hal itu akan berdampak pada
konfigurasi ekonomi-politik lima tahun ke depan. Segala pencapaian yang mereka
tuai, bila Pemilu tidak ditunda besar kemungkinan akan terganggu. Apa lagi jika
Presiden selanjutnya nanti tidak pro terhadap kepentingan mereka, hal itu jelas
pasti berpengaruh terhadap peta bisnis ke depannya. Untuk itu, daripada sibuk Pemilu
dengan pertaruhan yang besar, lebih baik mendorong penundaan Pemilu agar struktur
kekuasaan yang selama ini mendukung kepentingan para oligark tetap bertahan.
Pada titik itu, polemik penundaan Pemilu akan berjalan
semakin seru beberapa waktu ke depan. Kubu yang pro dan kontra terhadap penundaan
Pemilu pasti akan bergesekan secara wacana ke depannya. Hal demikian tentu baik
dalam negara demokrasi. Hanya saja, perdebatan yang timbul dari wacana ini
perlu disikapi secara hati-hati oleh mereka yang memang memiliki niatan baik
untuk kemajuan Indonesia.
Pasalnya, dari dua kubu yang berpolemik sebenarnya
sama-sama rentan disusupi oleh pihak-pihak yang hanya ingin mengedepankan
kepentingannya sendiri. Di kubu pro misalnya. Di kubu ini, mungkin ada dari
mereka yang memang melihat penundaan Pemilu sebagai sesuatu yang tepat dan
paling punya manfaat terhadap situasi Indonesia saat ini. Mereka mendukung
penundaan Pemilu karena murni melihat maslahat
dari penundaan Pemilu tanpa ada embel-embel kepentingan personal di dalamnya.
Tapi orang-orang ini harus sadar kalau mereka berada satu barisan dengan para
elite partai dan pejabat negara yang sangat patut diduga memiliki agenda lain
di balik penundaan Pemilu. Karena itulah, siapa pun yang mendukung Pemilu
ditunda karena niatan tulus harus berhati-hati. Jangan sampai suara mereka
justru dipakai para elite tidak bermoral untuk menunggangi niat baik mereka.
Kondisi di atas terjadi pula dalam kubu penolak Pemilu
ditunda. Di kubu ini, para akademisi, aktivis, hingga pimpinan ormas macam
Muhammadiyah harus waspada. Mereka satu gerbong dengan PDI-P, Gerindra, PKS,
dan berbagai partai lain yang juga menolak Pemilu ditunda. Titik soalnya,
kumpulan partai politik ini patut diduga punya maksud lain dalam usaha mereka
menolak penundaan Pemilu. Jangan-jangan mereka menolak Pemilu bukan karena
melihat ada hal substansial yang dilanggar apabila Pemilu ditunda.
Jangan-jangan maksud mereka menolak Pemilu ditunda karena sudah tidak sabar
untuk berkuasa menggantikan Jokowi. Jangan-jangan mereka menolak pemilu ditunda
karena sudah tidak tahan untuk panen keuntungan ketika berkuasa.
Dugaan ini wajar mengingat partai politik pada
dasarnya memang berorientasi pada perebutan kekuasaan. Kalau ada partai yang
menyebut mereka tidak berorientasi pada kekuasaan itu jelas pembohongan publik.
Partai dibentuk justru untuk berkuasa. Mereka yang menolak penundaan Pemilu
harus sadar hal ini. Mereka tidak boleh lengah agar tidak ditunggangi oleh
kepentingan para elite partai.
Kenyataan di atas menjadi dilema tersendiri bagi
siapa pun yang memang masih memiliki niatan baik terhadap jalannya negara. Satu
sisi mereka harus bersuara atas situasi yang terjadi berdasar pengetahuannya.
Tapi di sisi lain, suara mereka ini sangat rentan dikomodifikasi oleh para politisi
demi kepentingannya sendiri. Itulah letak dilemanya. Maju kena, mundur juga
kena.
Hal demikian bisa terjadi karena elemen masyarakat
sipil tidak memiliki kendaraan politik yang representatif. Partai politik yang
secara esensial adalah kendaraan politik masyarakat, pada kenyataannya justru
berjarak dengan masyarakat. Berbagai hal yang mereka suarakan seringkali
bertentangan dengan kepentingan rakyat banyak. Di era saat ini sulit untuk
menyebut partai adalah perwujudan dari kehendak rakyat. Partai hanya mewakili
aspirasi golongan, bukan masyarakat.
Berangkat dari hal tersebut, ke depan elemen
masyarakat sipil perlu kanal alternatif dalam menyampaikan aspirasinya. Kanal
ini haruslah yang benar-benar representatif terhadap kepentingan masyarakat.
Model kepartaian yang dominan belakangan jelas tidak bisa dipakai dalam konteks
ini. Diperlukan platform baru yang
lebih terbuka dan dapat mewakili semua masyarakat dalam menyampaikan
pendapatnya. Bentuk dari hal ini bisa beraneka macam, bisa berbentuk partai
asal dengan model dan struktur yang berbeda dari yang telah ada. Bisa pula
organisasi yang strukturnya cair, bisa pula aliansi yang terdiri dari
individu-individu bebas. Semua model bisa dicoba dan dieksperimentalkan. Yang
terpenting unsur penyokongnya harus representatif terhadap semua kepentingan
masyarakat.
Pembentukan kanal alternatif ini penting agar
suara-suara masyarakat tidak mudah dikooptasi oleh para elite seperti yang
mungkin terjadi saat ini dalam kasus penundaan Pemilu. Selain itu, adanya
kendaraan alternatif membuat masyarakat sipil punya posisi tawar lebih dalam
struktur kenegaraan. Terlampau banyak kebijakan yang bertentangan dengan
aspirasi masyarakat banyak yang hanya melibatkan para elite negara dalam
penyusunan kebijakannya. Hal demikian tidak boleh terjadi lagi ke depannya.
Masyarakat harus secara nyata terlibat dalam penyusunan gerak negara. Dalam
konteks tersebut, pembentukan ruang politik alternatif menjadi keniscayaan
dalam bingkai kenegaraan kita saat ini.
Posting Komentar