Lepas dari Ilusi Negara
Judul: Escape From Mogadishu (2021)
Sutradara: Ryoo Seung-wan
Pemeran: Kim Yoon-seok, Huh
Joon-hu, Koo Kyo-hwan, Kim So-jin, Joung Man-sik, Kim Myung-hee, Kim Jae-hwa,
Park Gyeong-hye
Durasi: 121 Menit
Asal: Korea Selatan
Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens (2014) mengatakan, revolusi kognitif menjadi salah satu faktor
kunci mengapa Homo Sapiens bisa
bertahan dan menguasai dunia hingga hari ini. Sebelum era Sapiens, manusia tidak bisa bertahan dari seleksi alam hingga
akhirnya punah.
Hal tersebut dibuktikan dengan berbagai fakta sejarah,
biologi, hingga arkeologi yang menjelaskan bagaimana manusia sebelum Sapiens justru musnah dari bumi.
Sedangkan Sapiens justru bisa
bertahan dari seleksi alam dan menjadi satu-satunya spesies manusia yang menghuni
bumi.
Revolusi kognitif disinyalir menjadi faktor penentu
mengapa hal demikian terjadi. Revolusi kognitif secara sederhana dimaknai
sebagai kemampuan manusia untuk membuat imajinasi atau fiksi atas kehidupan
keseharian mereka.
Dari seluruh riwayat spesies manusia, hanya Sapiens yang punya kemampuan tersebut.
Kemampuan ini yang membuat Sapiens
beradaptasi hingga akhirnya bertahan dan berkembang seperti sekarang. Lahirnya
agama, negara, dan ideologi adalah contoh nyata dari revolusi kognitif.
Kemampuan membuat fiksi merupakan sesuatu yang mengikat
dan menyatukan umat manusia. Sulit rasanya mengimajinasikan kehidupan berjalan
normal tanpa ada produk fiksi macam agama, negara, dan ideologi di sekeliling
kita.
Satu sisi, hal tersebut
berdampak positif karena terbukti membawa kemajuan dalam peradaban. Tapi di
sisi lain, fiksi semacam itu, seringkali malah membikin manusia melupakan
kenyataan bahwa yang fiksi itu sesuatu yang tidak nyata. Yang nyata adalah
manusia itu sendiri, bukan agama, negara, dan ideologi.
Namun pada realitanya, manusia malah seperti menerima
begitu saja berbagai produk fiksi tersebut tanpa ada upaya mengkritisinya. Hal itu
bisa dilihat dari bagaimana cara kita memandang agama dan negara dalam konteks
keseharian. Keduanya oleh kehidupan manusia modern dianggap sebagai sesuatu
yang taken for granted. Manusia
seakan-akan tidak mungkin hidup tanpa keduanya.
Siapapun yang menolak fiksi semacam ini umumnya dipandang
sebagai orang tidak normal yang ujungnya bakal dimusuhi. Itulah yang terjadi
pada kelompok anarkis yang mencita-citakan hidup tanpa negara. Kelompok ini
dimusuhi di manapun keberadaannya karena dianggap berbahaya dan menganggu
kehidupan umum.
Padahal, visi mereka tersebut secara substansial tidak
ada yang keliru. Negara bukan sesuatu yang tidak bisa diubah atau dihilangkan.
Negara adalah produk pemikiran sebagai dampak revolusi kognitif Homo Sapiens dalam sejarah alam semesta.
Karena sifatnya yang hanya produk pemikiran, otomatis membuat posisinya tidak
menjadi sesuatu yang tidak bisa diubah hingga kapanpun. Kita bisa mengubah dan
menghilangkan negara kapanpun kita mau. Tak ada yang salah dari hal itu. Toh,
jauh sebelum Sapiens eksis, negara tidak ada.
Tapi anehnya, dalam hidup manusia hari ini, negara yang
jelas-jelas fiksi, malah dipuja-puja dan diposisikan sebagai institusi yang
seakan-akan kekal hingga akhir zaman. Realita tersebut membuat kita lupa pada
hakikat dasar kehidupan itu sendiri; yang penting bukan negara yang tak lain
hanya produk pemikiran, tapi justru manusia yang mengimajinasikan negara itu
sendiri yang penting.
Gambaran demikianlah yang dapat ditangkap dari film asal
Korea Selatan berjudul Escape from
Mogadishu (2021). Film ini dengan sangat luar biasa berhasil menghadirkan
bagaimana produk fiksi macam negara dan ideologi yang jelas-jelas ilusi, justru
acapkali lebih diutamakan daripada kehidupan manusia itu sendiri.
Escape
from Mogadishu berkisah tentang persaingan diplomasi antara Korea
Selatan (Korsel) – Korea Utara di periode 90-an. Pada tahun-tahun tersebut,
Korsel sedang berusaha untuk masuk menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB). Untuk menjadi anggota, Korsel butuh suara dari negara lain. Atas dasar
keperluan tersebut, Korsel lalu mengutus para diplomatnya ke berbagai negara
guna mencari dukungan. Salah satu negara yang menjadi target suara adalah Somalia.
Para diplomat Korsel diberi tugas merayu diktator
Somalia, Mohammad Siad Barre. Usaha ini bukan sesuatu yang mudah karena di sisi
lain, ada diplomat Korut yang juga punya misi serupa. Selain itu, Somalia pada
era tersebut sedang bergejolak akibat perang saudara antara pemberontak dengan
pemerintah. Persaingan politik yang terjadi antara utusan Korsel dan Korut
berada dalam bayang-bayang konflik internal,
yang sewaktu-waktu bisa memburuk kapan saja.
Seiring berjalannya waktu, perang saudara di negeri para
bajak laut itu nyatanya memang berjalan semakin memburuk. Kontak senjata yang
awalnya hanya terjadi di luar ibukota Mogadishu, mulai mendekat hingga akhirnya
pecah di dalam ibukota. Para diplomat Korsel dan Korut tidak menduga bahwa
perang akan sampai ke kota dan membuat hidup mereka terancam.
Ketika perang pecah di seantero kota, pilihan para
diplomat ini hanya dua; bersembunyi atau melarikan diri. Awalnya pihak Korsel
maupun Korut memilih bersembuyi sambil menunggu keadaan membaik. Tapi ternyata,
keadaan justru semakin gawat hingga akhirnya mereka memilih kabur dari Somalia.
Sebelum sempat kabur, sialnya kantor kedutaan Korut malah
keburu diserbu para pemberontak. Semua barang dijarah dan dihancurkan. Seluruh
staf kedutaan yang selamat kemudian pergi dari kantor untuk mengungsi ke
kedutaan China yang merupakan negara sahabat Korut.
Ketika diperjalanan, sayangnya akses jalan menuju
keduataan China justru telah dikuasai pemberontak. Saat itu muncul dilema; kalau
mereka nekat maju, nyawa mereka taruhannya. Tapi jika tidak maju, nyawa mereka
pun akan terancam.
Dalam situasi genting tersebut, sang duta besar kemudian
mengambil pilihan sulit. Ia mengajak seluruh stafnya untuk pergi ke kedutaan
Korsel yang berada di dekat posisi mereka. Kebetulan jalan di sekitaran
kedutaan Korsel belum dikuasai pemberontak. Keputusan itu ditentang oleh staf
kedutaan lain.
Para staf duta besar berpendapat mereka tidak boleh
berlindung ke Korsel karena negara itu adalah musuh mereka. Jika mereka ke kedutaan
Korsel mereka sama aja berkhianat kepada pemerintah pusat di Pyongyang. Di situ
lalu terjadi perdebatan sengit hingga akhirnya sang duta besar berkata, “kalau
kau ingin hidup, berlindung di kedutaan Korsel adalah satu-satunya jalan.” Karena
tidak ada pilihan, akhirnya para staf setuju dan mereka lalu mendatangi
kedutaan Korsel.
Perginya seluruh staf Korut ke Korsel bukan berarti
membuat mereka bebas dari masalah. Nyatanya, pihak Korsel menolak untuk
menerima mereka. Lagi-lagi dasarnya adalah Korut itu musuh negara. Mana mungkin
musuh negara berlindung di bawah pihak yang memusuhinya. Itulah logika staf
kedutaan Korsel saat itu. Apakah hal tersebut keliru? Secara politik jelas
tidak. Tapi secara kemanusiaan jelas keliru.
Setelah terjadi perundingan alot di antara dua pihak,
akhirnya pihak Korsel mengizinkan mereka masuk ke dalam kedutaan. Dalam film
ditampilkan bagaimana sikap dan ekspresi dari kedua belah pihak yang saling
curiga satu sama lain. Pihak Korsel curiga kalau Korut datang kesana sengaja
untuk menyerang mereka. Sedangkan pihak Korut curiga kalau pihak Korsel akan
memanfaatkan mereka untuk kepentingannya.
Ketika seluruh pihak baik dari Korsel dan Korut sudah
bisa berlindung di satu tempat yang sama, mereka menghadapi masalah baru;
bagaimana caranya keluar dari Somalia. Satu-satunya jalan saat itu, hanya
meminta tolong kepada kedutaan negara lain yang menjadi mitra negara
masing-masing.
Pada momen inilah alur film kemudian berjalan semakin
memilukan. Pihak Korsel pergi ke kedutaan Itali. Sedangkan pihak Korut pergi ke
kedutaan Mesir. Dari keduanya, hanya pihak Itali yang bersedia menolong. Itupun
dengan catatan agar orang Korut tidak diikutsertakan. Dalam situasi tersebut terjadi
perdebatan antara duta besar Korsel dengan stafnya.
Duta besar Korsel ngotot ingin membawa orang Korut,
sedangkan stafnya tidak setuju. Lagi-lagi alasannya adalah karena mereka orang
Korut yang tak lain ialah musuh negara. Perdebatan ini dituntaskan oleh duta
besar dengan menyebut kalau orang Korut yang bersama mereka sudah membelot ke
Korsel. Padahal nyatanya tidak. Pihak Itali setuju. Kedua pihak dari Korsel dan
Korut akhirnya berhasil keluar dari Somalia dengan selamat.
Rangkaian kisah yang ditampilkan dalam Escape from Mogadishu memberi gambaran
jelas bagaimana beroperasinya fiksi dalam bentuk negara dan ideologi di kehidupan
manusia. Dengan menyorot peristiwa usaha pelarian para diplomat Korsel dan
Korut dari Somalia, film ini menguatkan tesis Harari tentang fiksi yang mampu
mengikat dan menyatukan manusia.
Hal itu terlihat dari bagaimana cara staf kedutaan dari
masing-masing negara yang awalnya menolak meminta tolong dan menolong karena
alasan musuh negara. Masing-masing dari mereka diikat oleh imajinasi bahwa
dirinya adalah bagian dari sebuah komunitas bernama Korut dan Korsel yang
saling bermusuhan.
Karena saling bermusuhan, membuat mereka tidak boleh
berinteraksi apalagi saling membantu dalam kondisi apapun. Hal demikian konyol
jika melihat situasi yang terjadi dalam film. Pihak Korut tahu bahwa nyawa
mereka sedang terancam, tapi mereka masih berdebat apakah perlu meminta tolong
kepada Korsel. Pihak Korselpun tidak ada bedanya, mereka masih berdebat apakah
perlu menolong Korut meskipun secara jelas terlihat mereka memang butuh
bantuan.
Padahal sudah menjadi naluri manusia apabila kesusahan
akan meminta bantuan. Apabila ada yang minta bantuan akan diberi bantuan. Tapi
meminta dan memberi bantuan untuk kasus diplomat Korsel dan Korut harus
diperantarai perdebatan terlebih dahulu.
Inilah letak masalah fiksi sebagai pengikat umat manusia.
Ia sangat berpotensi membuat manusia teralienasi dari dirinya sendiri. Manusia
menjadi lupa dan mengesampingkan kenyataan bahwa yang nyata adalah manusia
sendiri, bukan negara apalagi ideologi.
Negara jika memakai istilah Benedict Anderson dalam Imagined Communities (2008) hanyalah
bayangan imajiner semata. Negara
tidak hadir dalam setiap kehidupan kita. Negara hanya hadir apabila kita
misalnya berkendara di jalan raya tidak memakai helm. Ketika itu negara akan
hadir lewat rupa polisi lalu lintas.
Di luar momen-momen tersebut, negara tidak hadir. Apakah
ada negara ketika kita bangun tidur? Tidak. Apakah ada negara ketika kita makan?
Tidak. Apakah ada negara ketika kita ngopi? Tidak. Dalam situasi demikian,
manusia seharusnya sadar untuk tak perlu mendewa-dewakan negara. Yang sebaiknya
diutamakan aslinya bukan negara, tapi justru kehidupan manusia itu sendiri.
Dalam konteks film Escape
from Mogadishu, seharusnya ketika duta besar Korut berencana meminta tolong
ke Korsel, para staf tidak perlu menyanggah gagasan tersebut dengan alasan Korsel
itu musuh. Kalau memang butuh bantuan ya langsung minta bantuan. Begitupun
pihak Korsel, waktu melihat orang butuh pertolongan, seharusnya tidak perlu
melihat ia dari negara mana.
Memberi bantuan sudah selayaknya diberi kepada siapa saja
tanpa memandang asal negara. Namun yang terjadi, sebelum meminta dan memberi
pertolongan, mereka malah sibuk melihat faktor permusuhan di antara tiap negara
terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan.
Realita yang ada pada Escape
from Mogadishu menjadi gambaran umum dunia hari ini. Hampir semua orang
kerap mendahulukan hal-hal fiksi macam negara dalam interaksi keseharian. Seakan-akan
yang paling utama adalah negara bukan manusia itu sendiri. Hal ini sejalan
dengan tesis Thomas Hobbes dalam buku Leviathan
(1651).
Dalam buku tersebut, Hobbes menyebut bahwa manusia pada
dasarnya adalah serigala untuk sesamanya. Karena itu diperlukan satu monster
besar dalam rupa Leviathan yang
bertugas menjaga manusia agar tidak saling memangsa satu sama lain. Leviathan tersebut yang lalu
diterjemahkan dalam bentuk negara di kehidupan modern.
Konsep Hobbes ini yang sekarang menjadi salah satu dasar
legitimasi eksistensi negara. Seakan-akan tanpa ada negara, manusia akan hidup
saling menyerang satu sama lain. Padahal, tidak ada bukti otentik apapun yang
mendukung tesis Hobbes tersebut. Pandangan demikian yang kini seperti diamini
banyak orang; tanpa ada negara, tidak mungkin hidup berjalan.
Itulah contoh bagaimana fiksi mengikat dan menyatukan
manusia. Sesmua orang diikat dan disatukan imajinasi bahwa perlu negara untuk
menjaga agar hidup berjalan baik. Padahal, negara itu sendiri secara fisik tidak
ada. Tapi orang-orang bersedia diikat dan disatukan oleh sesuatu yang tidak ada
tersebut.
Escape
from Mogadishu sangat layak ditonton untuk memberi gambaran bagaimana
cara fiksi bekerja dan apa dampak negatifnya terhadap kehidupan. Film ini
penting ditonton di tengah menguatnya pengaruh berbagai fiksi di masyarakat
sekarang ini. Escape from Mogadishu
bisa memberi imajinasi baru atas bermacam-macam fiksi yang selama ini telah
eksis sekaligus membantu melepaskan kita dari berbagai ilusi tadi.
Posting Komentar