Pengalaman Setelah Berada di Tempat Sampah
Sumber foto: zedge.net
Cerita
ini adalah pengalaman seorang laki-laki yang enam tahun lalu punya cita-cita mulia
ingin menjadi guru bagi orang lain. Yang hingga saat ini, belum mampu menjadi
guru untuk dirinya sendiri!
Sebagai
salah satu orang yang beruntung pernah mencicipi bangku perkuliahan yang
memuakkan dan membosankan itu, saya tidak pernah menyesali pillihan jurusan
yang saya ambil.
Ketika
teman-teman lain terkadang mengeluhkan salah jurusan lah, terpaksa lah, dan segala
bentuk penyesalan lainnya, saya tetap berjalan enjoy dan menikmati pilihan yang
sudah saya tentukan sebelumnya.
Bagi
saya saat ini, penyesalan hanya bisa dibayar dengan apa yang kita lakukan sekarang.
Bukan dengan ungkapan penyesalan yang mengundang rasa iba tapi tidak memilukan
sama sekali.
Sedikit
gambaran, jurusan kuliah yang saya ambil adalah jurusan yang menampung segala
keluh-kesah orang-orang, segala bentuk ketidakberdayaan orang-orang, dan segala
masalah yang sebagian besar tidak bisa dihadapi sendiri oleh orang tersebut.
Singkatnya,
kita bisa menyebut jurusan saya ini adalah tempat sampah. Ya, benar-benar tempat
sampah. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, tugas dan fungsi tempat sampah
adalah menampung semua sampah atau barang tidak berguna.
Dengan
segala formalitas dan kekakuan yang terdapat di jurusan saya ini, wajar jika
tingkat kebosanan hingga penyesalan menempuh jurusan ini sangat tinggi. Belum lagi
ditambah prospek kerja yang tidak jelas dan serba absurd bagi saya.
Meski
begitu, saya tetap ingin berterima kasih. Karena setidaknya, salah satu faktor yang
menjadikan saya berhasil menjadi pribadi yang seperti sekarang, ialah lantaran
jurusan tersebut.
Jurusan
ini punya kontribusi mempertemukan saya dengan beragam manusia yang memiliki
identitas berbeda. Dari sana saya belajar banyak hal, mulai dari perkenalan,
pertemanan, pendewasaan, dan segala bentuk penyikapan.
Melalui
jurusan ini pula, saya setidaknya berhasil—meskipun hanya sedikit—untuk membaca
macam-macam karakter seseorang. Ternyata hal ini berguna setelah saya tidak
lagi berada di jurusan tersebut biarpun belum resmi.
Bicara
soal membaca karakter yang saya singgung, bukan berarti saya bisa secara tepat
membaca tipikal seseorang. Akan tetapi lebih kepada kecenderungan dan lebih mengarah
ke membaca kebiasan-kebiasaan orang-orang di sekitar.
Hal
ini bisa saja dianggap sepele dan tidak penting sama sekali. Namun, akan berguna
apabila seseorang sedang berada di posisi yang sangat tidak menguntungkan. Seperti
dikhianti, diremehkan, dihina, dijauhi dan segala posisi yang mengundang
ketidaktahuan muncul ke permukaan serta rasa heran yang berlebihan.
Sedikit
cerita kembali. Ketika saya awal-awal memasuki jurusan ini, hal yang paling
saya hindari adalah menjadi seperti tempat sampah. Atau orang yang menampung
segala curhatan dan keluh-kesah orang lain.
Waktu
itu, saya merasa bahwa saya tipe orang yang sangat tidak cocok dengan hal semacam
itu. Kepribadian saya awalnya menolak hal yang begitu. Bagi saya, dengan menjadikan
diri kita sebagai tempat sampah, adalah hal yang tidak berguna sama sekali dan cuma
buang-buang waktu.
Pendeknya,
saya merasa hal tersebut tidak ada faedahnya. Jika mau disebut aneh , memang sungguh
aneh. Saya mengibaratkan diri saya waktu itu seperti ketika kita dipaksa ke kandang
Kucing, tapi menolak menjadi Kucing, dan malah menjadi Singa!
Bisa
jadi hal ini memang muncul dari semangat aktivisme semu saya waktu itu. Yang merasa
superior, lebih bisa dan cakap dari orang lain, serta tingkat egoisme yang
teramat tinggi.
Entah
berawal dari sebuah kesalahan fatal yang bersumber dari diri saya sendiri, atau
pola didikan yang salah yang diberikan kepada saya waktu itu, saya sampai hari
ini belum bisa menjawab hal tersebut. Setidaknya begitulah kondisi saya dulu
dengan segala kecongkakan.
Namun
hal itu berubah seiring waktu. Setelah melalui beberapa pengalaman yang tidak
mengenakkan—dan bahkan mungkin tidak akan disangka banyak orang—seperti
dikhianati, dijauhi, serta dicitrakan buruk sama sekali, saya pun akhirnya
menyadari banyak hal.
Hal
yang paling saya sadari setelah mengalami berbagai pengalaman tersebut, bahwa setiap
hal yang terjadi dalam hidup memiliki alasan tersendiri. Untuk mengetahui
jawaban kejadian tidak mengenakkan yang pertama, terkadang setiap orang harus
melewati banyak pengalaman pahit terlebih dahulu. Atau bisa jadi sebaliknya,
langsung sadar ketika pengalaman pahit pertama selesai terjadi.
Beruntungnya
lagi, saya termasuk ke dalam tipe orang yang cepat sadar dan secara cermat
menarik kesimpulan. Setiap saya selesai melewati pengalaman yang tidak mengenakkan,
saya selalu berupaya mencari alasan untuk saya bangkit lagi dan tidak terpuruk
atau berjalan di tempat.
Mujurnya,
saya selalu bisa menemukan alasan-alasan untuk bangkit dan menolak stagnant.
Ketika sudah begitu, saya coba menguatkan alasan saya untuk bangkit dengan
jargon Muhammadiyah; “Hari esok harus lebih baik lagi dari hari ini dan hari
kemarin”—meski saya sendiri adalah orang NU.
Saya
juga tidak ingin dan sudi memilih menjadi orang yang menyalahkan keadaan. Walaupun
tidak bisa dipungkiri, keadaan juga punya peran yang cukup besar dengan apa yang
kita alami saat ini.
Saya
hanya berupaya berpikir secara rasional, bahwa tidak ada orang yang bisa mengontrol
keadaan. Upaya terbaik yang bisa dilakukan adalah mengontrol pikiran kita
masing-masing. Sebab kita juga tidak akan bisa mengontrol jalan pikirannya orang
lain.
Oleh
sebab itu pula, pilihan terbaiknya adalah dengan tetap melanjutkan hidup. Seandainya
kita menganggap hidup adalah medan pertarungan, seorang pemenang bagi saya
bukanlah ia yang bisa mengalahkan orang lain dengan pencapaian lalu terlena
dengan keadaan. Melainkan ia yang bisa berdiri tegak paling akhir dan bisa
membantu banyak orang yang kesulitan bahkan tidak bisa berdiri lagi.
Dari
apa yang telah diberikan oleh jurusan (tempat sampah) tadi, saya akhirnya menarik
kesimpulan bahwa setiap orang adalah orang yang beruntung. Hanya saja, untuk menyadari
keberuntungan ini membutuhkan waktu dan kondisi yang berbeda-beda untuk setiap orang.
Seperti
konsep wang-sinawang, di mana setiap orang akan selalu merasa dirinya tidak
akan lebih beruntung dari orang lain, maka percayalah bahwa dunia memang akan
bekerja demikian. Saya pribadi sudah membuktikannya secara langsung. Bahwa
memang sudah menjadi sifat alamiah manusia untuk tidak bisa merasa puas atas segala
sesuatu.
Seperti
candu dari setiap sesuatu yang memabukkan, rasa puas manusia tidak akan ada habis
dan batasnya. Yang bisa dilakukan hanyalah membatasi rasa haus yang tidak akan
pernah selesai sampai manusia mati itu.
Jika
setiap orang adalah guru, dan setiap pengalaman adalah guru yang terbaik, maka
carilah orang atau guru yang bisa mengajarkan pengalaman berharga dalam hidup. Pengalaman
berharga yang saya maksud bukan hanya sekadar sebuah pencapaian semata, tetapi
juga rasa sakit dan perih yang bisa mendewasakan.
Intinya,
jangan takut untuk terus melangkah meskipun seluruh dunia meremehkanmu. Karena sumber
kekuatan terbesar akan muncul setelah badai besar yang membuatmu berpikir bahwa
dunia runtuh seketika itu juga.
Satu
hal yang selalu menjadi pegangan saya dan apabila bermanafaat silahkan diambil.
”Hadirnya kita di dunia itu selalu memiliki alasan dan menjadi alasan untuk
orang lain tetap bertahan, begitu pun sebaliknya, juga berlaku bagi orang lain
yang menjadi alasan kita untuk tetap bertahan.”
Posting Komentar