Selendang Hijau
Penulis: Endah Larasati
Sejumlah kuda berpenunggang para jejaka menderu membelah hamparan rumput yang mengering. Deru itu terus melaju menerobos perkampungan. Rombongan itu seolah-olah tak peduli kerugian yang menjadi dampaknya. Beberapa ekor ayam tak mampu menyelamatkan diri—menggepeng, terinjak kuda. Sejumlah barang milik penduduk yang tertata di tepi jalan hancur. Anak kecil berlari terbirit-birit hingga jatuh dan terluka. Mereka takut. Jejaka tak beradab mencari mangsa.
Tiba di dekat sebuah warung
makan berdinding anyaman bambu, rombongan berhenti. Satu jejaka pada barisan
terdepan mengawali turun dari tunggangan. Sementara yang lain, mengekor. Jejaka
berikat kepala merah darah memimpin barisan, berdiri di ambang warung.
"Mbok Darmi,
keluarlah!" panggil jejaka itu kepada pemilik warung.
Tak lama berselang, seorang
wanita tak lagi muda datang dan membungkuk. Tatapannya tertuju bumi.
"Maaf, Den. Apakah ada kesalahan yang hamba lakukan? Ampuni kesalahan
hamba, Den."
"Sebenarnya Mbok Darmi
tidak bersalah secara langsung, tapi Mbok Darmi tidak bisa mengajarkan unggah-ungguh
kepada anak Mbok Darmi." Jejaka itu bertutur tanpa ekspresi.
"Ampun, Den. Apa yang
telah Arumi lakukan? Sepertinya dia telah melakukan kesalahan besar hingga
memantik emosi Den Biru." Wanita dengan kain batik itu masih menunduk.
Tanpa disangka-sangka,
seorang gadis muncul dari sayap kanan warung. Rona wajahnya merah padam.
Langkahnya lebar dengan tangan mengepal. "Hei! Apa-apaan ini?
Berani-beraninya membuat Simbok gemetar ketakutan seperti itu!" bentak
gadis berambut terurai sebahu.
Jejaka berhidung bangir itu
menatap tajam pemilik suara. Dua pasang mata akhirnya saling kunci. Tak satu
pun berniat mengalah Melihat situasi memanas, Mbok Darmi mendekati putri semata
wayangnya. Ia elus bahu ramping Arumi. "Ndok, tahan amarahmu. Beliau ini
Raden Biru—putra mahkota kerajaan Songgobumi. Yang sopan, ya."
"Ooo, kamu putra
mahkota? Harusnya bisa bersikap sopan dan menjaga nama baik kerajaan. Bukannya
malah seenak udelmu ngajak tidur gadis-gadis kampung. Hei, Kisanak! Kamu tidak
pantas disebut raden!"
Semua mata yang ada
membeliak sempurna. Tidak menyangka akan ada seseorang yang berani mengatakan
hal itu. Raden Biru memang ternama dengan kegialaannya terhadap gadis-gadis
cantik. Dengan predikat putra mahkota, ia leluasa mengumbar pesona dan menggaet
gadis yang diinginkan. Hampir semua gadis tidak berani menolak. Mereka pasrah
menuruti kehendak putra mahkota. Mereka akan dicampakkan begitu Biru bosan dan
mendapatkan yang lebih menggoda.
Jejaka yang menjadi bahan
pembicaraan bungkam. Garis rahangnya mengeras, tangannya mengepal hingga buku
jari memutih.
"Apa yang sedang kau
pikirkan, Kisanak?" tanya gadis berselendang hijau.
Manik hitam itu tertuju
lurus ke arah mata elang jejaka di hadapan.
"Jangan kau pikir aku
ini gadis yang bisa dengan mudah kau taklukkan. Aku tidak akan mudah kamu
dapatkan," lanjut gadis itu.
Bukannya menjawab, jejaka
itu justru tersenyum tipis yang menambah kadar pesonanya. "Rasa percaya
dirimu terlalu tinggi!"
"Jika kamu memang
putra mahkota sejati, buktikan! Jika kamu bisa mengalahkanku, aku akan suka
rela menjadi istrimu. Namun, jika kamu kalah, jangan sekali-sekali mengganggu
warga kampung ini!"
Suasana menjadi hening.
"Sebenarnya apa yang
terjadi?" tanya Mbok Sumi memecah keheningan.
"Orang itu—yang
disebut putra mahkota, pernah melakukan sesuatu yang tidak sopan, Mbok. Sewaktu
di pasar malam beberapa waktu lalu, dengan sengaja ia mencegat Rumi. Ia
mencekal tangan dan menowel pipiku. Di depan banyak orang ia berniat mencium
Rumi dan mengatakan bahwa Rumi akan suka rela menyerahkan diri menjadi budak
nafsunya. Tentu saja Rumi tidak terima dan melakukan perlawanan."
Wanita renta di hadapan
Arumi terlihat berkaca-kaca. Tidak menyangka anak gadis satu-satunya
direndahkan seperti itu.
Dua menit, lima menit,
sepuluh menit kemudian, jejaka tampan itu menuju tunggangan. Ia memilih pergi
karena sadar betul tidak akan mampu mengalahkan ilmu bela diri Arumi. Biru,
meski seorang putra mahkota, tetapi ia tidak memiliki ilmu bela diri yang
mumpuni. Ia memang pemalas. Pemalas dalam banyak hal. Ilmu pengetahuan, ilmu
agama, dan ilmu kanuragan, tak satu pun ia pelajari dengan baik.
Malu! Itulah rasa yang saat
ini Biru dapatkan. Rasa malu, baru kali ini ia dapatkan. Sepanjang usianya,
belum pernah ada seorang pun membantah apa lagi menolak keinginannya. Deru
derap kaki kuda mengiringi Biru dengan wajah pucat menahan malu dan marah
sekaligus.
![]() |
Penulis novel Pati I'm in Love dan Aku Tulus Mencintaimu. Bisa ditemui dan dihubungi di FB: Endah Larasati dan IG: @endahlarasati04 |
Posting Komentar