Pria Berkacamata
Penulis:Endah Larasati
"Din, ngapain kamu dari tadi berdiri di dekat jendela?" tanya Mamah mengejutkan.
"Mamah! Seneng
banget ngagetin Dini," ucapku seraya mengusap dada yang detak di dalamnya
lebih kencang.
"Lihatin cowok
ganteng depan rumah, ya?"
"Apaan, sih,
Mamah." Aku berlalu menuju ruang keluarga. Ternyata Mamah mengekor.
Kini kami duduk
bersebelahan sambil menikmati kue keranjang—pemberian tetangga baru. Sambil menikmati kudapan
manis itu, Mamah bercerita bahwa tetangga baru tersebut membeli rumah kosong,
tepat beradu dengan rumah kami. Mereka merupakan keluarga etnis Tionghoa,
memiliki usaha toko bahan bangunan, dan memiliki dua jagoan tampan. Sulungnya
berusia dua tahun di atasku. Bungsunya masih berseragam putih merah. Tidak
heran jika wanita berambut ikal di sebelah meraup banyak informasi meski baru
kenal, tak sampai dua puluh empat jam. Beliau memang supel, mudah bergaul, dan
asyik diajak ngobrol. Seratus delapan puluh derajat perbedaannya dengan gadis
semata wayangnya ini.
***
Dua purnama berlalu
sejak pemberian kue keranjang dari Tante Mei—tetangga depan rumah. Meski demikian, belum pernah
sekalipun bibir ini bertutur dengan anggota keluarga itu. Hanya seulas senyum
dan anggukan kuberikan ketika kami jumpa.
Pagi ini Papah
tidak bisa mengantar ke sekolah. Beliau ada acara kantor mendadak, harus
berangkat jauh lebih awal. Terpaksa aku berjalan kaki menuju mulut gang,
menunggu kendaraan umum.
Benda melingkar di
tanganku menunjukkan angka 06.37.
'Ya Allah, lama
banget, sih, bus kota lewat. Bisa telat aku,' gerutuku.
"Mau
barengan?" Tiba-tiba ada suara di sebelah.
Aku terlonjak,
mengelus dada yang berdebar hebat. Bukan sekadar terkejut dengan kehadiran
pemilik suara yang tiba-tiba. Namun, juga bersinergi hebat melihat ketampanan
yang ada. Kulit putih, rambut hitam lurus belah tengah, hidung menjulang
dilengkapi kaca mata. Proporsi yang sungguh pas.
Bukannya segera
menjawab, aku justru terdiam mengagumi ciptaan Pemilik Semesta.
"Hello, are
you okay?" tanyanya dengan menggerakkan tangan beberapa sentimeter dari
wajahku.
"Eh, anu ...
aku. Emmm, nunggu bus kota saja. Terima kasih."
Makhluk tampan itu
tersenyum. 'Ya Tuhan, bisa copot jantung ini karena detakannya begitu kuat'.
"Aku Arde.
Meski kita tetanggaan, belum pernah kenalan atau ngobrol sebelumnya." Ia
mengulurkan tangan tanda perkenalan.
Aku menanggapinya
dan menyebutkan nama. Tak disangka, Arde mengangsurkan satu helm untukku.
"Nih, pakai.
Ayo, buruan naik. Ntar telat."
Seperti terkena
gendam, aku mengikuti kata-kata itu tanpa penolakan.
Motor Arde yang
ukurannya cukup besar, membuatku sedikit kesulitan menaikinya. Terlebih, aku
hampir tidak pernah membonceng roda dua. Papah selalu mengantar ke mana pun
tujuanku.
"Susah, ya?
Besok aku akan bawa motor satunya saja supaya kamu enggak kesulitan."
"Maksud
kamu?"
Bukannya menjawab,
lelaki berpunggung lebar itu menarik kabel gas secara tiba-tiba hingga
membuatku tersentak. Refleks aku memegang pinggangnya—takut terjatuh. Arde
melajukan roda duanya dengan kecepatan tinggi, meliuk kanan kiri di sela-sela
padatnya jalanan.
***
Sejak hari itu,
Papah jarang mengantarku. Arde menjadi penggantinya, padahal sekolah kami
berbeda. Ia di SMA yang dinaungi salah satu yayasan Katolik. Sementara aku di
SMA Negeri. Tidak hanya urusan pulang pergi sekolah, urusan di luar sekolah pun
Arde siap siaga mengantar. Belum pernah sekalipun ia menolak permintaanku.
Heran dengan sikap Papah-Mamah. Selama ini mereka begitu ketat menjaga
pergaulanku. Namun, mereka justru memberikan kelonggaran dan kepercayaan
seperti itu kepada Arde. Mungkin karena kami bertetangga, Papah-Mamah juga
mengenal baik orang tua Arde.
Siang ini Arde
datang ke rumah, seperti kebiasaannya, bercelana pendek dipadu kaus tanpa
lengan, memperlihatkan lengannya yang cukup berotot.
"Din, lulus SMA mau lanjut kuliah di mana?"
Aku menggendikkan
bahu.
"Belum ada
bayangan sama sekali?" tanyanya sambil mencondongkan tubuh ke arahku.
Aku menggeleng.
"Aku baru kelas sepuluh, De. Kamu sendiri?" tanyaku mencondongkan
tubuh ke arahnya.
Kini kami
benar-benar berhadapan, terpisah jarak selemparan napas. Mata kami saling
mengunci. Kupu-kupu terbang kian kemari di dalam perut hingga dada.
Menggelitik, menimbulkan rasa yang luar biasa, tetapi tak tahu nama rasa itu.
Arde menangkup
wajahku dengan kedua tangannya.
"Papi
memintaku kuliah di Amerika," tuturnya lirih. Sorot matanya meredup, masih
dengan tangan di wajahku.
Hatiku ngilu
mendengarnya. Amerika. Jauh sekali. Pasti ia akan sangat jarang pulang. Aku
pasti sangat merindukannya. Entah mengapa, ada rasa tak rela jika ia pergi
sejauh itu. Aku mencoba menguasai diri.
Tanganku memegang
tangan Arde yang masih melekat di kedua pipi ini. "Belajarlah yang serius.
Papi-Mamimu ingin yang terbaik untukmu."
Sebenarnya bukan
kalimat itu yang ingin kuucap. Entahlah. Otak dan hati ini tidak sinkron.
Suasana obrolan
kami selanjutnya terasa berbeda dari biasanya. Kami lebih banyak diam,
menikmati pikiran masing-masing. Hingga akhirnya lelaki jangkung itu
berpamitan.
Lunglai kaki ini
memasuki rumah. Mamah memintaku membantunya membuat brownies dan beberapa
kudapan. Cukup banyak adonan yang harus dieksekusi. Aku bertanya untuk apa kue
sebanyak itu. Wanita berapron biru itu hanya tersenyum. Selang beberapa detik
berucap, "Pengen buat aja. Nanti dibagi-bagi untuk tetangga dan
saudara-saudara."
Begitulah Mamah,
senang sekali melakukan hal-hal yang menurutku aneh. Di rumah ini sebenarnya
tidak ada yang begitu suka makanan manis. Namun, Mamah cukup sering membuatnya
hanya untuk dibagi. Kami cukup menikmati sepotong atau dua potong.
Pukul 16.00 semua
kudapan tersaji di meja makan. Aromanya memenuhi rumah dan menggelitik hidung.
"Din, tolong
antar kue yang di kardus putih itu untuk keluarga Arde."
Tanpa banyak cakap,
aku menurut.
Tiba di teras rumah
Arde, niatku hendak memencet bel, terurungkan. Dari tempatku berdiri, terdengar
jelas pembicaraan penghuni rumah. Mungkin mereka tengah menikmati waktu bersama
di ruang tamu--tepat bersisian dengan teras.
"Kenapa kamu
enggak mau kuliah di Amerika? Malah memilih kuliah di sini? Bukankah sejak kamu
menginjak SMA,
sudah sepakat kuliah di Amerika?" Sepertinya itu suara papi Arde.
"Maaf, Pi. Aku
berubah pikiran." Suara Arde terdengar.
"Gara-gara
Dini? Kamu suka dengan gadis itu?"
Hening, tidak ada
lagi suara yang terdengar. Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dari belakang.
Aku menoleh. "Tante."
"Kenapa
berdiri di sini? Ayo, masuk," ucap mami Arde. Entah dari mana wanita
cantik itu, tiba-tiba berada di belakangku.
"Eh, enggak,
Tante. Ini tadi Dini diminta Mamah antar ini buat Tante sekeluarga. Dini
permisi dulu, ya." Aku angsurkan kardus berisi kue kemudian pulang.
***
Sembilan puluh hari
berlalu. Aku dan Arde masih sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama.
Namun, ada yang berbeda di antara kami. Lelaki berhidung bangir itu jauh lebih
perhatian. Selalu ada untukku setiap saat. Ada rasa ingin tahu tentang
alasannya.
Akhirnya
kuberanikan diri mengucap kata ketika kami menikmati gelato di kafe tak jauh
dari rumah.
"De, aku rasa,
akhir-akhir ini sikapmu berbeda."
Ia tidak segera
menjawab, memilih memindai wajahku hingga menghangat. Tangannya meraih
tanganku.
"Kurang dari
dua bulan lagi kelulusan SMA. Papi sudah mengatur semua keberangkatanku ke Amerika.
Seperti kata-katamu, aku harus belajar dengan baik demi Papi-Mami."
Mataku menghangat.
Sepertinya sebentar lagi hujan membasahi pipi.
"Din, kamu
bukan sekadar tetangga dan sahabat. Lebih dari itu. Kamu yang menguasai seluruh
perasaan dan pikiranku. Aku sangat yakin, kamu pun begitu."
Aku menunduk,
menyembunyikan air mata. Meski sejatinya Arde pasti melihat.
"Apakah
mungkin rasa di antara kita menjadi nyata? Bukan sekadar sekat tipis yang ada
di antara kita, De. Ada tembok kokoh, De. Sulit, sungguh sangat sulit."
Kami terdiam dengan
tangan saling bertautan. Segala rasa berkecamuk di hati dan pikiran kami
masing-masing.
Penulis novel Pati I'm in Love dan Aku Tulus Mencintaimu. Bisa ditemui dan dihubungi di FB: Endah Larasati dan IG: @endahlarasati04
0 Response to "Pria Berkacamata"
Post a Comment