Nomor Punggung 18
Penulis: Endah Larasati
"Ris,
kenapa jalannya tiba-tiba berhenti?" tanya Gladis yang berdiri di
sebelahku.
Aku tidak
menjawab, tetapi mengarahkan pandangan ke lapangan basket. Gladis mengikuti
tatapanku.
"Malah
bengong?" tanyanya lagi.
Beberapa menit
kami terdiam. Akhirnya Gladis menyenggol bahuku. "Risda, kamu
kesambet?"
"Eh, anu,
itu ... aku," ucapku spontan.
"Kamu
kenapa, sih?" tanya siswi berkacamata di sebelahku.
"Entahlah,
tiap lihat cowok itu, jantungku jadi lompat-lompat, napasku seperti berhenti,
yang jelas semuanya serba jumpalitan."
"Cowok
mana?"
"Itu,
yang ada di lapangan basket, nomor punggungnya delapan belas," paparku
seraya menunjuk seseorang di lapangan basket.
Gladis memutar
bola matanya. "Kamu naksir sama Divo?"
"Namanya
Divo?" tanyaku.
"Udah,
ah. Ayo, buruan! Kita ditunggu Bu Nur di ruang guru. Kamu enggak mau kena
semprot, kan? Bisa-bisa nilai Kimiamu terjun bebas. Guru Kimia itu killer-nya
minta ampun."
Kami segera
menuju ruang guru yang jaraknya masih sepuluh meter dari tempat kami saat ini.
Bu Nur—Guru
Kimia—memanggil kami terkait persiapan olimpiade nasional yang akan berlangsung
bulan depan.
Tiba di ruang
guru, sudah terdapat beberapa siswa berkumpul. Suara Bu Nur berbicara dengan
suara lantang, "Oke, Risda dan Gladis sudah datang. Berarti kurang satu
anak lagi yang belum datang. Saya informasikan bahwa tim dari sekolah kita yang
akan maju olimpiade nasional bulan depan terdiri dari sepuluh siswa dan empat
guru pendamping."
Saat semua
siswa fokus mendengar penjelasan Bu Nur, terdengar derap langkah mendekat.
"Maaf, saya terlambat, Bu. Tadi ada ...." Ucapan Divo berhenti
sejalan dengan tangan Bu Nur yang memberi tanda agar segera bergabung dengan
siswa lain.
Semua mata
tertuju pada sosok yang baru saja bergabung.
'Dia? Cowok
itu ikut olimpiade juga?' tanyaku dalam hati. Seolah-olah mengetahui isi
pikiranku, Gladis menyenggol lengan kanan.
Mata ini
sepertinya terhipnotis dengan sosok yang berdiri dengan jarak dua meter dariku.
Sungguh, ini adalah bonus tak ternilai. Nahas, sosok yang membuatku
terhipnotis, menyadari bahwa dirinya menjadi sebuah objek. Ia menoleh dan mata
kami bersirobok. Panas yang terasa di pipi ini, malu lebih tepatnya. Akhirnya
menunduk menjadi pilihan.
"Divo dan
Risda, kalian masuk dalam satu regu. Silakan bekerja sama dengan baik agar
kalian mampu melalui olimpiade Fisika secara baik. Syukur-syukur bisa meraih
juara," jelas Bu Nur.
Mataku
membeliak sempurna. 'Ya Tuhan, apakah ini mimpi? Aku harus satu regu dengan
Divo—cowok yang diam-diam mengisi hatiku--.'
Bu Nur
memberikan semua penjelasan terkait persiapan hingga pelaksanaan olimpiade
nasional. Semua siswa mendengarkan dengan saksama. Setelah semua selesai, kami
dipersilakan kembali ke kelas masing-masing.
Aku tidak
segera melangkah, melainkan menunggu Gladis yang masih berbincang dengan salah
satu siswa dari kelas lain.
"Ris,
kamu balik kelas duluan saja. Aku masih ada perlu," ucap Gladis mendekat.
Aku mengangguk
lalu meninggalkan ruang guru.
Ketika langkah
menuju kelas, seseorang menyejajari langkahku. Aku menoleh. Deg! Divo ada di
sebelah. Beberapa kali tatapan kuberikan padanya. Namun, ia bungkam dan
tatapannya lurus ke depan. Kami berpisah ketika tiba di persimpangan. Kaki ini
mengambil arah kanan dan Divo mengambil arah kiri menuju kelasnya.
'Mungkin jika
mengidap penyakit jantung, saat ini aku harus dirawat di rumah sakit. Entah
sudah berapa kali terjadi kejutan yang membuat jantungku jumpalitan.'
Sejak
pertemuan di ruang guru waktu itu, intensitas pertemuanku dengan Divo menjadi
berlipat ganda. Kami memang bisa dibilang jarang berkomunikasi secara langsung,
tetapi kontak mata dan kontak fisik kerap terjadi. Terlebih pada saat uji coba
terkait rumus-rumus Fisika. Tidak jarang tangan kami saling bersinggungan saat
mengambil peralatan uji coba.
Hari yang
ditunggu tiba. Saat ini kami tengah berada di salah satu SMA di Ibu Kota
Provinsi, tempat penyelenggaraan olimpiade nasional.
Dua kali enam
puluh menit aku dan Divo melalui proses menegangkan. Lepas dari ruangan
diadakannya olimpiade Fisika, kami bergabung dengan teman lainnya. Aku duduk
berseberangan dengan cowok yang pelit senyum itu. Sorot matanya terlihat
seperti biasa—tajam dan dingin. Meski begitu, sosok itu tidak pernah
meninggalkan relung hati ini.
Satu jam
berlalu, informasi terkait siapa yang berhasil membawa pulang piala
disampaikan.
Senyum merekah
di antara teman-teman. Rombonganku berhasil menggondol empat piala. Salah
satunya adalah olimpiade Fisika. Aku dan Divo menjadi juara kedua.
"Masih
ada waktu kurang lebih satu setengah jam sebelum kita pulang. Kalian boleh
berjalan-jalan dulu di sekitar sini," terang Bu Nur.
Sontak,
teman-teman berhamburan menuju tempat pilihan masing-masing. Gladis, mengajakku
ke kantin. Ia lapar. Namun, aku menolak. Akhirnya Gladis meninggalkanku.
Kini aku
berjalan di lorong yang diapit kelas yang saling berhadapan. Tiba-tiba ada
seseorang mendekat. Divo. Aku menoleh dan mengangkat alis.
Sosok dingin itu
bungkam. Keterkejutanku bertambah berlevel-level. Divo meraih tangan kanan ini
kemudian menjalin tautan.
Langkahku
terhenti. Tangan yang saling bertautan, aku angkat seraya berkata, "Apa
maksudnya ini?"
"Kamu itu
juara olimpiade, nilai akademikmu juga enggak pernah jelek. Begini saja kamu
enggak ngerti?!" Nada bicara cowok atletis itu meninggi.
"Bisa
enggak kalau bicara itu enggak usah pakai otot? Aku enggak budeg!"
"Akhirnya
kamu bisa bicara sepanjang itu. Biasanya seperti orang gagap kalau di dekatku."
Divo mengukir senyum tipis. Sungguh ganteng!
Sepertinya
pipiku merona, mungkin semerah tomat busuk.
Divo
mempererat tautan tangan kami. Ia melanjutkan langkah. Refleks aku mengikuti.
Langkah kami
terhenti di ujung lorong. Di depan terlihat taman kecil dengan kursi besi di
tepinya. Divo mengajak duduk di kursi itu.
Kami duduk
dalam hening dengan tangan masih bertautan.
"Jangan
coba-coba tebar pesona dengan cowok lain!"
Aku membuka mulut,
hampir bicara, tetapi urung.
"Kamu itu
cantik, cerdas, dan baik. Masalahmu cuma satu, enggak bisa menutupi
perasaanmu."
"Maksudmu?"
tanyaku tidak mengerti.
"Apa
untungnya aku menuruti kata-katamu? Memangnya kamu siapa?" lanjutku.
"Aku
kekasihmu!" jawab Divo singkat.
"Kekasih?"
"Iya.
Kamu suka sama aku, aku suka sama kamu. Jadi kita pacaran. Masih enggak ngerti?
Atau perlu aku cium kamu sekarang juga untuk pembuktian?!" ucap Divo
sambil merapatkan posisinya dengan posisiku.
Aku menunduk
sambil tersenyum. Ah, semua ini benar-benar di luar dugaan. Sepertinya aku
harus lebih intensif menjaga kesehatan. Setiap berdekatan dengan Divo, jantung
ini jumpalitan sesukanya sendiri. Ekor mata ini bisa menangkap bahwa Divo juga
tersenyum. Ia sepertinya tidak berniat melepaskan tautan tangan kami.
![]() |
Penulis novel Pati I'm in Love dan Aku Tulus Mencintaimu. Bisa ditemui dan dihubungi di FB: Endah Larasati dan IG: @endahlarasati04 |
Posting Komentar