Marcus Rashford dan Praktik Gerakan Sosial yang Semakin Warna-Warni
Marcus Rashford dan Praktik Gerakan Sosial yang Semakin
Warna-Warni
Marcus Rashford, penyerang muda Manchester United (MU),
mendapat gelar Member of the British Empire (MBE) dari Ratu Inggris.
Gelar tersebut diberikan sebagai bentuk penghargaan atas dedikasi Rashford
dalam usahanya untuk menyediakan 1.3 juta voucher makanan gratis bagi para anak
di Inggris yang terdampak pandemi virus corona tahun 2020 lalu.
Gelar MBE sendiri merupakan bagian dari daftar
penghargaan ulang tahun Ratu Inggris yang menempati posisi tertinggi ketiga
dalam tingkatan Order of the British Empire. Gelar ini diberikan sebagai
bentuk apresiasi atas jasa yang dilakukan seseorang di Inggris. Selain MBE,
Rashford juga mendapat gelar doktor kehormatan dari University of Manchester
atas aktivitas sosialnya tersebut.
Awal mula aktivisme Rashford bermula ketika ia menggalang
dana untuk makanan anak-anak saat sepak bola terhenti akibat covid-19. Saat itu, ia berhasil mengumpulkan uang sampai 20 juta Poundsterling
yang lalu dipakai untuk memberi makan 2.8 juta anak di Inggris Raya. Rashford
tidak hanya sekedar menggalang dana, ia bahkan bertindak lebih jauh dengan
mengirimkan surat terbuka kepada pemerintah agar meneruskan menyediakan voucher
makanan kepada anak-anak.
Entah karena faktor popularitasnya sebagai pemain bintang
atau memang karena isu itu merupakan sesuatu yang seksi di Inggris, apa yang
dilakukan Rashford mendapat respon serius di parlemen. Para anggota dewan berbeda
pendapat mengenai apakah tetap harus meneruskan voucher bantuan tersebut atau
tidak.
Dua kekuatan politik dominan di Inggris yang berasal dari
Partai Buruh dan Partai Konservatif, saling bersilang argumen tentang isu
tersebut. Rashford sendiri selama masa tunggu saat parlemen berdebat, tidak
berdiam diri. Ia tetap bergerak berkampanye di akun media sosialnya untuk
menggugah simpati masyarakat, di samping aktivitasnya yang terjun langsung ke
lapangan.
Apa yang diupayakan Rashford, akhirnya membuahkan hasil. Parlemen
menyetujui pemberian voucher makanan itu dengan mengucurkan dana sebesar 120
juta Pounsterling. Keberhasilan inilah yang membuahkan gelar kehormatan dari
University of Manchester dan gelar MBE dari Ratu Elisabeth.
Marcus Rashford dan Jebakan Popularitas Semu
Marcus Rashford menjadi antitesa dari glamornya dunia sepak
bola modern. Saat sepak bola larut dengan kemegahan beserta segala bentuk
kemewahannya, Rashford hadir dengan bentuknya yang lain. Rashford mendobrak
kenyataan bahwa masih ada pesepak bola yang tidak larut dengan hedonisme dan
konsumerisme. Rashford menunjukan bahwa ia tidak tercerabut dari akar realitas
sosial yang membentuk dirinya sebelum ia menjadi bintang sepak bola.
Sudah jamak diketahui, kalau sepak bola dalam sejarahnya
kerap diidentikan sebagai olahraga kelas pekerja atau olahraga yang dekat dengan
kelas bawah. Banyak pemain, klub, dan suporter sepak bola yang merepresentasikan
identitas ini. Marcus Rashford adalah satu di antaranya. Ia berasal dari
keluarga miskin yang jauh dari bayang-bayang kemegahan imperium Inggris Raya. Karena
itulah aktivitas sosial yang Rashford lakukan, dapat dimaknai sebagai tanda kalau ia tidak lupa dengan
akar kelas sosialnya yang berasal dari kelas bawah.
Anggapan bahwa sepak bola identik dengan olahraga kelas bawah semakin
terbukti dengan kenyataan, sebagaimana diungkap Yusuf ‘Dalipin’Arifin dalam Dongeng
dari Negeri Bola (2017), bahwa di Inggris nyaris tidak ada pemain sepak bola
yang lahir dari kalangan menengah ke atas. Tidak ada pemain yang datang dari
keluarga bangsawan, terdidik, akademisi, pejabat, atau semacamnya.
Para pemain sepakbola di Inggris, umumnya
bukanlah berasal dari orang-orang kelas menengah atas. Sedangkan orang-orang
kelas menengah Inggris, lebih identik dengan olahraga lain macam rugby, kriket,
dan berkuda. Padahal, Inggris adalah tanah yang konon menjadi tempat awal mula
sepak bola dimainkan.
Dalam konteks itulah, fenomena pemain sepak bola yang hidup glamor dan
mewah setelah ia populer menjadi sesuatu yang tidak mengherankan di Inggris,
mengingat akar kultural mereka yang berasal dari kelas bawah. Karena berasal
dari kelas bawah, ketika para pemain ini mendapat popularitas dan berhasil
merubah status sosial mereka menjadi kelas menengah dan atas, perubahan
perilaku menjadi sebagaimana layaknya orang-orang dari kelas menengah dan atas
akan umum terjadi. Hal itu lumrah saja sebenarnya.
Masalahnya kemudian adalah, apakah para pemain
ini akan larut dengan segala popularitas itu dan melupakan akar kultural tempat
ia berasal, atau justru tidak larut dan tetap terkait dengan akar kulturnya
tersebut? Marcus Rashford adalah salah satu pemain yang memilih untuk tetap terhubung dengan latar asal-usul di mana ia berasal.
Hal inilah yang jarang terjadi dalam dunia sepak bola. Sebagian besar wajah
pesepak bola malah larut dengan semua embel-embel popularitas semu yang
mengikatnya. Padahal, polularitas itu hanya berjalan temporal sesuai capaian
prestasi yang diraih. Ketika prestasi menurun, popularitas pun akan menurun. Ketika prestasi meningkat, popularitas
pun akan meningkat. Itulah faktornya mengapa banyak pemain sepak bola setelah
ia menikmati masa-masa penuh popularitas, dalam sekejap bisa langsung jatuh
begitu saja.
Pada titik itu, posisi Rashford menjadi penting. Ia tidak terjebak pada
jebakan popularitas semu yang kerap menjangkiti bintang sepak bola. Ia juga
tidak jatuh pada alur kehidupan umum para pesohor yang berjarak dengan berbagai
permasalahan kemanusiaan. Ia malah terjun dan terlibat aktif dalam persoalan
kemanusiaan yang biasanya tidak disentuh oleh para pesepak bola. Di sinilah
nilai lebih Marcus Rashford yang jarang dimiliki pemain lain di berbagai
belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia.
Silahkan dikroscek sendiri, untuk pesepak bola berusia 23 tahun, apakah ada
di Indonesia pemain yang melakukan aktivitas serupa seperti Rashford? Rasanya
jika dipikir-pikir belum ada pemain muda yang bergerak seperti Rashford di luar
lapangan. Yang ada justru pemain-pemain yang sibuk pamer kemewahan atau
kemesraan dengan kekasihnya, daripada pamer aktivitas sosial kemanusiannya.
Entah faktornya karena memang dirinya yang memang tidak peduli dengan
lingkungan sekitar, atau memang tidak sadar dengan kenyataan yang ada di
depan mata, hanya Tuhan yang tahu. Namun yang pasti, sosok seperti Rashford
menjadi sosok yang langka dalam dinamika sepak bola dunia saat ini.
Rashford, Politik Radikal, dan Gerakan Sosial Baru
Aktivisme yang dilakukan Rashford jika dilihat secara
lebih luas sebenarnya bisa dibaca tidak hanya sebagai semata aksi kemanusiaan
atau filantropi. Aktivitas yang diupayakan Rashford dalam tingkat tertentu
dapat pula dibaca sebagai tindakan politik.
Bagi yang selama ini memaknai politik sebatas momen
Pemilu, debat partai di parlemen, atau pengelolaan kebijakan di pemerintahan,
tentu akan kebingungan apabila disodorkan argumen bahwa yang diperbuat Rashford
merupakan tindakan politik. Kebingungan tersebut tidak keliru, karena letak
persoalannya ada pada perspektif politik yang terbatas hanya melihat politik
semata sebagai domain kekuasaan negara dalam rupa institusi demokrasi. Padahal, politik tidak hanya soal itu.
Dalam rentang 40 tahun terakhir, banyak pemikir politik
yang merumuskan bentuk baru dari politik yang berlainan dari yang selama ini
ada. Chantal Mouffe, Ernesto Laclau, Jacques Ranciere, Alain Badiou, Slavoz
Zizek, atau Claude Lefort adalah segelintir dari mereka yang mengambil posisi
tersebut. Para pemikir ini kemudian kerap disebut sebagai teoritisi politik
radikal, karena argumentasi mereka yang bukan hanya menentang, tapi malah
melampaui argumentasi politik arus utama yang selama ini ada.
Jacques Ranciere misalnya, ia menyebut bahwa politik bukanlah semata soal pemilu, DPR, kekuasaan,
pemerintahan, dan berbagai urusan teknis lainnya. Politik adalah tindakan untuk
mengoreksi kesetaraan.
Dasar argumentasi Ranciere, sebagaimana diulas secara
rigit oleh Sri Indiyastutik, dalam Disensus: Demokrasi sebagai Perselisihan
Menurut Jacques Ranciere (2019),
dikarenakan demokrasi liberal yang hari ini menjadi pakem politik
dominan di dunia, pada pelaksanaannya menurut Ranciere menghadirkan praktik ketidaksetaraan
di dalamnya. Ketidaksetaraan ini berupa peminggiran mereka yang tidak terhitung
dalam tatanan sosial mapan. Mereka ini lalu disebut sebagai "yang
salah".
Suara dan aspirasi "yang salah" sering tidak
terhitung dan tidak didengar. Mereka juga tidak dianggap ada. Mereka ini bisa
berupa kaum minoritas etnis/agama, perempuan, orang miskin, petani, nelayan,
dan lain sebagainya. Berangkat dari hal itu, bagi Ranciere politik terjadi ketika orang-orang yang dipinggirkan, dianggap tidak ada,
dan tidak diperhitungkan ini menggugat dan mengoreksi tatanan sosial yang
mapan. Ketika “yang salah” berupaya menyetarakan dirinya dengan tatanan yang
mapan, di situlah politik terjadi.
Pemikiran seperti Ranciere ini menjadi
garis besar pemikiran para filsuf politik radikal. Seluruhnya hampir satu suara
berpendapat bahwa politik tidak
sesederhana menjatuhkan pilihan saat pemilu. Pemikir politik radikal memilih
posisi anti otoritarianisme dan non institutional.
Mereka tidak percaya pada logika representasi demokrasi liberal
sebagai institutionalisasi fungsi normatif kekuasaan. Bagi mereka, rakyat
haruslah merebut sendiri hak mereka melalui aksi massa yang menghadirkan
dirinya tanpa perantara representasi politik dalam rupa partai atau anggota
parlemen. Individu atau kelompok yang mengambil posisi demikian, dalam
perspektif politik radikal disebut sebagai subyek radikal atau subyek militan.
Menurut Donny Gahral Adian, dalam Teori Militansi:
Esai-Esai Politik Radikal (2011), Subjek militan adalah kumpulan orang yang
berjuang demi tujuan keseteraan radikal, yang anti esensialis dan fragmentaris
demi terciptanya universalitas subjek dan nilai. Subjek militan ini yang kini
berbentuk perjuangan kaum LGBT, masyarakat adat, pekerja rumah tangga, buruh migran,
dan lain sebagainya. Mereka bekerja di luar logika representasi demokrasi
liberal.
Atas dasar itulah tindakan kemanusiaan yang Rashford
lakukan dikatakan sebagai tindakan politik. Rashford melalui gerakan penyediaan
makanan, mengupayakan sesuatu di luar logika negara atau logika politik
mainstream. Ia tidak bergerak melalui mekanisme partai atau parlemen. Ia
bergerak di luar itu semua. Ia mengandalkan solidaritas antar sesama masyarakat
sipil dalam mengeksekusi isu yang ia sedang kerjakan. Ia tidak menunggu atau
menyandarkan tujuannya kepada negara.
Surat terbuka yang ia kirim ke parlemen pun lebih sebagai
bentuk tuntutan atas tanggung jawab negara kepada rakyatnya. Bukan pengharapan
mutlak kepada negara. Dan itu wajar saja aslinya. Karena pada kenyataannya
Rashford memang tidak terpaku semata kepada negara.
Ketika negara mengabaikan tuntutannya untuk
tetap menyuplai voucher makan, ia tidak berhenti. Ia tetap bergerak dengan
menggalang aksi di tataran masyarakat sipil agar makanan bagi para anak-anak
tetap tersedia. Ia tidak berpangku tangan apalagi mengharap belas kasihan
negara, ia bergerak secara mandiri di luar logika negara.
Selain itu, gerakan yang Rashford lakukan
jika ditinjau menurut konsep yang Ranciere gagas tentang "yang
salah", maka aktivisme Rashford akan berkesesuaian dengan tesis Ranciere.
Karena Rashford dan seluruh anak-anak yang memerlukan makanan termasuk ke dalam
pihak "yang salah", di mana mereka tidak dihitung atau dianggap oleh
negara.
Oleh sebab itu gerakan Rashford yang
berupaya menyediakan makanan bagi para anak-anak dapat dipahami sebagai bentuk
gugatan atau koreksi atas tatanan yang ada. Ia
tidak menunggu tapi bergerak langsung menyetarakan dirinya di hadapan sistem
yang mapan. Pada konteks itu, apa yang dilakukan rashford dapat dibaca sebagai
contoh dari tindakan politik sebagaimana yang para filsuf politik radikal
umumnya hipotesakan.
Gerakan sosial yang Rashford kerjakan dalam
tingkat tertentu bisa dimaknai pula sebagai bentuk gerakan sosial baru yang
berada di luar pakem umum gerakan sosial selama ini.
Dalam studi gerakan sosial dikenal dua
kategori untuk menjelaskan dinamika gerakan sosial. Pertama, gerakan sosial
lama (old social movement). Kedua, gerakan sosial baru (new social
movement).
Gerakan sosial lama biasanya berkaitan
dengan model gerakan yang isu perjuangannya biasanya tunggal, yang umumnya
berkaitan dengan ekonomi-politik. Gerakan ini umumnya terinspirasi pemikiran
marxis yang deterministik terhadap ekonomi, yang membayangkan segala persoalan
sosial terjadi karena ketidakadilan ekonomi dalam rupa kapitalisme.
Para aktivis gerakan ini biasanya hobi
mengeneralisasi berbagai isu semata disebabkan faktor ekonomi. Oleh sebab
itulah,
gerakan ini selalu mengatakan bahwa gerakan buruh dan partai buruh adalah garda
terdepan perubahan sosial, karena dipandang menjadi aktor yang berhadapan
langsung dengan sumber masalah dalam bentuk sistem kapitalisme. Padahal dalam
kenyataannya tidak sesederhana itu.
Sedangkan gerakan sosial baru, berangkat
dari asumsi bahwa persoalan sosial tidak hanya terjadi akibat faktor ekonomi.
Tapi ada faktor lain yang juga dapat menjadi penyebab. Artinya,
permasalahan sosial tidak melulu muncul karena pengaruh kapitalisme. Tapi juga
dipengaruhi faktor lain.
Dampak dari asumsi demikian, gerakan sosial
tidak lagi bisa disempitkan semata menjadi gerakan buruh atau gerakan
berlandaskan ekonomi. Tapi bergerak lebih jauh menjadi gerakan berbasis isu
sektoral seperti rasialisme, diskriminasi gender, pelanggaran hak-hak komunitas
adat, dan berbagai isu lainnya.
Gerakan sosial baru mengkhendaki adanya
partikularitas basis isu dan subjek. Hal ini berbeda dengan gerakan sosial lama
yang malah menguniversalisasi isu dan subjek ke dalam satu kanal. Gerakan
sosial baru justru sebaliknya. Mereka malah bergerak ke arah pluralitas isu dan
subjek dalam kehidupan sosial.
Gerakan sosial baru aslinya masih
dipengaruhi oleh pemikiran marxis, hanya saja para teoritisi gerakan ini
bergerak lebih radikal dengan mengkritik pendekatan marxis dalam gerakan
sosial. Mereka malahan tidak hanya mengkritik, tapi juga memadukannya dengan
pemikiran lain, seperti teori filsuf Prancis Michel Foucault yang menyebut
penindasan ada di mana-mana, tidak hanya ada di pabrik atau di ladang. Pemaduan
semacam inilah yang menjiwai gerakan sosial baru.
Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe adalah
satu dari sekian pemikir yang berada pada posisi demikian. Pasangan suami istri
ini mengkritik marxisme sambil kemudian memadukan marxisme dengan teori lain.
Hal itu terlihat jelas dalam karya mereka berdua berjudul, Hegemony and
Strategy Socialist: Towards a Radical Democratic Politics (1985).
Dalam karya ini,
mereka berdua memadukan marxisme dengan berbagai gagasan postmodern, dalam
bentuk pemikiran Jacques Lacan atau Derrida. Atas upayanya ini, keduanya
kemudian sering disebut sebagai pemikir post-marxis, karena posisi teoritis
mereka yang semakin jauh dari tradisi marxisme.
Dari pemilahan atas dua kategori di atas,
gerakan yang Marcus Rashford lakukan belakangan dapat dilihat sebagai bentuk
dari gerakan sosial baru. Rashford tidak bergerak melalui perantara partai atau
organisasi politik. Rashford juga tidak bergerak membawa isu ekonomi layaknya
gerakan buruh atau petani. Ia malah membawa isu yang bisa dikatakan remeh-temeh
atau tidak umum digarap oleh para aktivis gerakan sosial.
Namun jangan salah, isu yang sepele itu
justru menunjukan bahwa pendekatan gerakan sosial lama tidak bisa dipakai untuk
memperjuangkan semua isu. Perlu pendekatan gerakan sosial baru untuk menggarap
berbagai isu yang tidak mungkin tercakup hanya oleh faktor ekonomi, dan
digerakan semata oleh partai atau gerakan buruh. Perlu aktor gerakan lain di
luar pakem yang selama ini ada untuk menggarap semua isu tersebut.
Pada konteks demikianlah kehadiran Rashford
menjadi penting. Ia menjadi bentuk nyata dari apa yang disebut gerakan sosial
baru. Aktivismenya menjadikan gerakan sosial semakin berwarna-warni, tidak
seragam seperti yang dulu umumnya terjadi. Ke depan apa yang dilakukan Rashford
dapat menjadi pemantik kemunculan berbagai gerakan berbasis isu sektoral lain yang
selama ini jarang mencuat.
![]() |
Alumni UIN Sunan Kalijaga dan Kader PMII Yogyakarta |
0 Response to "Marcus Rashford dan Praktik Gerakan Sosial yang Semakin Warna-Warni"
Post a Comment