Ketika Air Bersih Dipertaruhkan, Hidup Siapa yang Layak Dipertukarkan?
“Saya tra tega sekali. Cuci satu motor saja banyak sekali air yang dikeluarkan. Tapi masalahnya di kampung saya itu susah air sekali. Ya Tuhan, ampuni saya kali ini saya tidak dapat menjaga air dengan baik.”
Ujar Maria, Seorang anak kosan yang
digambarkan berasal dari Merauke dalam Imperfect The Series. Adegan yang
justru paling saya ingat adalah saat Maria marah ketika melihat begitu banyak
air yang dibuang untuk mencuci motor. Sebuah dark joke yang sangat gelap,
menurut saya. Seperti ada seseorang yang mematikan lampu dan berbunyi ‘ctekk’.
Air memang menjadi bagian yang paling krusial
dalam hidup semua makhluk di bumi. Sumber daya yang paling dibutuhkan dan
dianggap melimpah bagi sebagian orang, padahal nyatanya air adalah sumber daya
yang sangat terbatas.
Jika dalam The
Lorax, solusi dari kerusakan dan pencemaran udara di sebuah kota yang
diakibatkan oleh manusia yang tamak menebang pohon adalah dengan menjual udara
bersih dalam kemasan botol dan galon. Maka air sudah berlaku demikian sejak
lama.
Adalah Hygeia, produk air minum kemasan
pertama di Indonesia yang dirintis oleh seorang Belanda, Hendrik Freerk Tillema
pada tahun 1910-an. Enam puluh tahun lebih dulu dari produk Aqua yang dirintis
oleh Tirto Utomo. Ide Tirto Utomo membuat produk air dalam kemasan yang sampai
saat ini laris di pasaran berawal dari istri kerabatnya yang
mengalami diare akibat minum air dari keran.
Dari situlah Tirto kemudian berinisiatif
menyediakan air minum bersih dan sehat sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Inisiatif
tersebut seiring dengan mulai munculnya laporan tentang pencemaran dalam air tanah di
kota-kota besar di Indonesia.
Dalam Diam
dan Dengarkan, kualitas hidup dapat ditentukan melalui kualitas air yang
berada di lingkungan terdekat. Semakin mudah kita menjangkau air bersih,
semakin baik kualitas hidup masyarakat tersebut. Selain untuk konsumsi secara
langsung, air juga digunakan dalam industri pakaian-pakaian bernilai tinggi.
Yang sayangnya, ketika pakaian itu tidak terpakai lagi atau terbuang, maka
dampak limbahnya dapat memengaruhi kualitas air menjadi menurun.
Ketika dalam masa pengabdian kampus di satu
pulau di Madura, saya merasakan bagaimana air bersih dan layak konsumsi sebagai
barang yang justru bernilai tinggi. Air sumur di pulau tersebut cenderung
payau. Dan hanya dapat digunakan untuk mandi dan mencuci. Dalam satu pulau hanya ada satu mata air di satu desa, yang airnya dapat dikategorikan layak konsumsi.
Sekalipun belum ada penelitian lebih lanjut mengenai kandungan air tersebut, tapi
warga bergantung pada sumber mata air itu. Selain juga bergantung pada pasokan
air kemasan yang dibawa oleh kapal-kapal tiap tiga sampai lima hari sekali.
Padahal air kemasan juga memiliki dampak tersendiri bagi lingkungan mereka. Dampak
pada sampah yang dihasilkan.
Walaupun secara tidak langsung, pengalaman
semacam itu turut mengatakan bahwa yang dijual dalam air dalam kemasan adalah
proses dan kemasannya. Yah, bersikap munafik terhadap air kemasan, mungkin bahkan tidak mulai menyentuh masalah yang akan kita miliki terkait
air dalam berpuluh-puluh tahun ke depan.
Tapi, justru pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana dengan nasib masyarakat sekitar yang air tanahnya dikuras dan
justru dijual dengan tanpa menyisakan sedikitpun kepada mereka? Air yang pada
dasarnya disediakan secara gratis oleh ibu bumi. Semakin dikomersilkan untuk
kepentingan pribadi dan segelintir pihak.
Sebuah wilayah bernama Manderegi di Nigeria,
Afrika Barat, mengalami hal serupa. Nestlé, sebagai salah satu produsen air terbesar di dunia,
mengambil air dengan kualitas terbaik milik warga-warga lokal. Mengebor air
tanah, membuat sumber mata air dan sungai-sungai mengering. Padahal, mereka tidak dapat membeli sebotol Pure Life yang dibor di bawah wilayah
mereka.
Dokumenter berjudul Rotten, serial televisi Amerika Serikat menyoroti permasalan
seputar rantai pasokan pangan, termasuk permasalahan air. Dan seri yang
berjudul Troubled Water memaparkan lebih lanjut hasil liputan dan investigasi
mengenai pertumbuhan eksplosif industri air kemasan telah mendorong perusahaan
untuk ikut andil dalam pasokan air publik yang justru membuat warga kekurangan
air.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa Nestle menyediakan air
menggunakan sumber air yang sama dengan pemasok air publik, mengubah air dari
barang publik menjadi barang pribadi.
Bagi masyarakat yang sudah terbiasa dengan
kemudahan akses terhadap air, melalui pipa-pipa yang mengalirkan air dengan
derasnya ke setiap rumah, bisa jadi kecil kemungkinan menghadapi masalah
kelangkaan air. Tapi kemungkinan lainnya, kenyamanan itu tidak bertahan lama.
Air tanah yang dikuras terus menerus untuk kebutuhan jutaan orang sangat
mungkin mengering jika tidak ada managemen penggunaan air tanah dengan baik.
Oka Agastya, seorang geosaintis pada sebuah
diskusi webinar Bali Water Protection, menjelaskan bahwa managemen air tanah
dengan invertasi air tanah, salah satunya dengan menampung air hujan dengan
baik. Permasalahan banjir di Jakarta dan Semarang disebabkan salah satunya oleh
penurunan muka tanah. Dan air tanah yang terus dikuras dengan tanpa manajemen
yang baik hanya akan menghasilkan bencara yang terus berulang setiap tahunnya.
Dan perubahan iklim hanya akan memperburuk masalah itu.
Pada akhir bagian Rotten: Troubled Water, Charles Fishman mengatakan, “air menutupi bumi ini. Tapi populasi manusia tumbuh setiap hari. Akibatnya, air yang bersih dan segar menjadi semakin langka. Pertanyaan sebenarnya, bagaimana manusia bisa saling membantu atau tidak, di dunia yang terasa semakin sempit tiap harinya?” Ujar seorang jurnalis sekaligus penulis buku The Big Thirst yang membahas tentang permasalahan dan kelangkaan air di bumi.
Posting Komentar