Sukarno dan Praktik Demokrasi yang Sulit Terjadi Lagi
Presiden Joko Widodo (Jokowi), baru-baru ini mengeluarkan pernyataan menarik. Jokowi meminta masyarakat aktif memberi kritik dan masukan kepada pemerintah. Permintaan itu Jokowi sampaikan pada Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020 pada Senin (8/2).
Pernyataan tersebut, bagi para buzzer dianggap
menjadi bukti bahwa Jokowi adalah pemimpin yang bukan anti kritik. Ia bukannya
membungkam, tapi malah mempersilahkan orang-orang untuk memberi kritik pada
pemerintahannya. Satu sisi, hal itu memang ada benarnya.
Namun di sisi lain, pernyataan itu sebenarnya secara tersirat bermakna lain.
Setidaknya ada dua hal tersirat yang bisa ditangkap dari
pernyataan Jokowi itu. Pertama, dengan Jokowi meminta masyarakat aktif memberi
kritik, hal demikian bisa saja bermakna bahwa selama ini di mata pemerintah masyarakat
pasif mengkritik pemerintah. Makanya Jokowi meminta orang-orang mengkritiknya.
Kondisi di atas bisa saja benar, sebabnya kebanyakan
orang saat ini umumnya akan berpikir dua kali apabila ingin mengkritik
pemerintah. Pasalnya, tentu adalah karena kehadiran UU ITE dan para buzzer
pemerintah yang siap menyerang balik siapapun yang mengkritik pemerintah. Tidak
aneh kemudian kalau banyak orang lebih memilih diam, daripada harus menanggung risiko dikriminalisasi dan diserang buzzer.
Kedua, selama ini mungkin masyarakat memang sudah aktif mengkritik
pemerintah, tapi kritik itu banyak yang tidak sampai secara langsung kepada
Presiden, karena dipotong oleh para pembantunya.
Dari dua hal ini, keduanya sama-sama masuk akal. Walaupun
untuk poin pertama jelas tidak mungkin, karena pada kenyataannya kritik itu
memang ada. Yang mungkin dari poin pertama adalah ketakutan berurusan dengan
hukum dan buzzer apabila mengkritik. Sedangkan poin kedua jelas sangat
mungkin terjadi. Karena pada realitanya, Jokowi beberapa kali baru mengetahui
peristiwa di lapangan setelah ia mengecek langsung ke lokasi. Artinya, ada informasi yang putus dari bawah ke atas hingga
Jokowi baru mengetahui setelah diperiksa langsung.
Apapun latar belakang Jokowi meminta masyarakat
mengkritik, namun yang pasti, hal itu menandakan bahwa ada masalah dalam kehidupan
demokrasi kita. Alasannya, kalau memang tidak ada masalah, mana mungkin Jokowi
sampai perlu minta para warga negara mengkritiknya.
Dalam negara yang demokrasinya berjalan baik, masyarakat
akan dengan sendirinya mengkritik pemerintah tanpa perlu disuruh atau diminta. Karena
demokrasi pada esensinya memang mengkhendaki adanya sikap saling kritik dalam
kehidupan keseharian. Itulah sebabnya demokrasi kadang kala disebut sebagai
sistem yang berisik, karena meniscayakan adanya banyak percakapan dalam rupa
kritik, saran, dan hujatan atau cacian. Hanya di negara yang demokrasinya buruk
saja terjadi momen di mana masyarakat diminta mengkritik pemerintahnya.
Realita demikian berbanding terbalik dengan apa yang
terjadi puluhan tahun lalu saat awal Indonesia merdeka. Ketika itu, tepatnya
pada medio tahun 50-an, demokrasi Indonesia hadir dengan wajah yang berbeda
dengan yang ada saat ini. Kala itu, semua orang, entah dia tokoh politik, pemuka
agama, wartawan, atau masyarakat biasa, leluasa menyampaikan aspirasinya, tanpa
perlu dihambat oleh protokol atau aturan administratif seperti sekarang.
Sukarno (Bung Karno) sebagai Presiden saat itupun, bahkan
biasa mendapat kritik dari berbagai pihak, baik secara langsung di hadapannya,
maupun tidak langsung dalam rupa kritik di media massa.
Contoh nyata dari hal di atas dapat terlihat dalam satu
momen sejarah yang jarang diketahui publik. Dulu, tepatnya tanggal 27 Januari
1953, Presiden Sukarno, melakukan kunjungan kerja ke kota Amuntai, di Kalimantan
Selatan. Saat di Amuntai itu, Bung Karno berpidato di hadapan rakyat banyak.
Dalam pidato yang nantinya bakal membuat kontroversi tersebut, Sukarno bicara
mengenai cita-citanya agar Indonesia menjadi negara nasional bukan negara Islam.
Pidato politik Sukarno inilah yang nantinya malah menimbulkan polemik selama
berbulan-bulan. Ada yang pro dan ada yang kontra. Pidato Bung Karno itu dalam
sejarah lalu dicatat sebagai Pidato Amuntai.
Awal mula mengapa Sukarno bisa bicara mengenai visinya
tentang negara nasional adalah dalam rangka menjawab pertanyaan yang terdapat
dalam sebuah spanduk yang berbunyi, Minta Penjelasan Negara Nasional atau Negara
Islam?.
Spanduk ini sendiri, seperti dicatat oleh Muhammad Iqbal
dalam buku terbarunya berjudul, Menyulut Api di Padang Ilalang (2021),
dibuat oleh Yusni Antemas yang merupakan wartawan harian lokal Indonesia
Merdeka beserta kawan-kawannya.
Alasan Yusni membuat spanduk itu, karena saat Sukarno
datang ke Amuntai, sedang terjadi perbincangan hangat mengenai bentuk dan dasar
negara Indonesia di sana. Apakah Indonesia akan menjadi negara islam atau
menjadi negara nasional. Oleh sebab itulah, Yusni lalu membuat spanduk untuk
menanyakan pendapat Sukarno selaku Presiden Indonesia tentang hal tersebut. Dan
Sukarno sendiri seperti tercatat dalam sejarah, menjawab pertanyaan itu secara
langsung.
Kisah ini menunjukan bagaimana dulu masyarakat bisa leluasa
menyampaikan aspirasi kepada pemerintah atau Presiden tanpa ada hambatan apapun.
Semua orang bisa langsung bertanya kepada Presiden tanpa harus izin Polisi atau
Paspampres. Semua orang bisa leluasa membawa poster atau spanduk protes ke
tempat Presiden berada tanpa takut diancam akan diciduk pihak keamanan.
Hal itu coba bandingkan dengan situasi sekarang, apa
mungkin cara bertanya model Yusni bisa diterapkan kepada Jokowi? Rasanya jelas
tidak mungkin melihat kenyataan hari ini, di mana setiap Jokowi akan turun ke lapangan
atau hendak pidato, lokasi tempat ia berada akan disterilkan terlebih dahulu
oleh pihak keamanan. Jangankan membayangkan Jokowi akan merespon pertanyaan
atau protes secara langsung seperti Sukarno, membawa spanduk atau poster saja menjadi
sesuatu yang sulit bisa terjadi di era sekarang, karena pasti akan berhadapan
dengan aparat keamanan.
Contoh nyata dari hal ini bisa dilihat saat Jokowi
berpidato di UI, yang mana saat itu ada mahasiswa yang protes dengan
mengacungkan kartu berwarna kuning sebagai simbol peringatan atas kinerja
pemerintahan Jokowi yang dinilai buruk. Mahasiswa ini bukannya diajak dialog
malah langsung diamankan oleh pihak keamanan.
Kondisi di atas berbanding terbalik dengan yang dilakukan
Sukarno di Amuntai. Alih-alih ia meminta spanduk Yusni diturunkan, Sukarno
malah meminta spanduk itu dibawa ke hadapannya, dan ia jawab langsung pertanyaan
dalam spanduk detik itu juga.
Sikap Sukarno yang demikian, juga tercermin ketika ia
berada di Aceh pada bulan Maret 1953, atau dua bulan setelah pidato Amuntai.
Saat itu, Sukarno disambut oleh spanduk protes bertuliskan, "Pidato
Presiden di Amuntai kami sesalkan." Melihat spanduk itu, Sukarno tidak
menyuruh polisi untuk menyingkirkan spanduk tersebut. Ia malah bertanya kepada
semua hadirin, apa perlu spanduk itu dijelaskan? Saat hadirin menjawab perlu,
ia lalu menjelaskan maksud sebenarnya dari pidato Amuntai.
Apa yang terjadi pada Sukarno di dua kasus di atas,
menjadi gambaran singkat bagaimana demokrasi berlangsung di awal kemerdekaan
Indonesia. Hal ini bukan berarti ingin mengglorifikasi masa-masa itu,
seakan-akan menjadi masa yang terbaik tanpa ada sikap kritis terhadapnya. Tidak
sama sekali.
Hanya saja, melihat kisah di masa lampau, setidaknya bisa
menjadi gambaran bahwa dulu pernah ada satu masa, di mana masyarakat Indonesia tidak
perlu diminta untuk mengkritik, tapi sudah dengan sendirinya mengkritik. Sebuah
masa saat masyarakat bisa bebas bicara dengan Presidennya meski itu dalam rupa
protes, tanpa khawatir diciduk polisi atau diserbu buzzer. Suatu masa di
mana pemimpin zaman itu tidak menjadikan kritik sebagai ancaman, tapi malah
dijadikan sarana berdialog. Sejarah telah mencatat banyak sekali contoh dari
hal ini. Itulah praktik demokrasi yang sepertinya sulit terjadi lagi kini.
Pemerintahan hari ini selalu meretorikakan bahwa mereka
terbuka terhadap kritik, tapi pada nyatanya kritik itu kerap kali direspon tidak
dengan semangat demokrasi, tapi malah dengan represi. Dengan berlindung kepada UU
ITE, semua orang seperti ditakut-takuti, serta diatur ketika ingin berpendapat.
Kalau bicara harus begini, harus begitu. Kalau menyampaikan kritik harus
solutif, kalau protes harus santun, itulah realita yang sering muncul saat ini.
Padahal, demokrasi aslinya memang memberi ruang
seluas-luasnya kepada tiap orang untuk berpendapat. Entah itu kritik, saran,
protes, atau makian sekalipun dalam koridor demokrasi sah dilakukan, dan tidak
boleh ada yang melarang apalagi mengancam. Namun sayangnya, demokrasi di
Indonesia tidak berjalan dalam jalur yang demikian. Demokrasi kita baru berada di
taraf prosedural semata, bukan pada level substansi.
Bila melihat sejarah masa lalu di mana kita pernah menjalani
demokrasi dengan sangat terbuka seperti yang tercatat dalam sejarah, rasanya
mungkin akan sangat menyenangkan apabila itu bisa terjadi kini. Dalam situasi warga
negara yang semakin berpendidikan semakin banyak pertukaran gagasan yang
terbuka antar warga negara, bukan tidak mungkin akan mampu menjadi faktor penentu
yang membawa bangsa ini maju. Karena kemajuan sebuah bangsa tidak mungkin terjadi
tanpa ada iklim pertukaran pendapat yang bebas.
Pemerintah Indonesia daripada sibuk meminta masyarakat memberi
kritik, alangkah baiknya jika energi yang dimiliki dipakai untuk mengevaluasi total
demokrasi yang sedang dijalankan saat ini. Apakah demokrasi kita sudah berada
di jalan yang benar atau tidak. Karena bisa jadi, masalah utamanya bukan di masyarakat
yang tidak memberi kritik, tapi di pemerintah sendiri yang mengkooptasi demokrasi
hingga membuat orang malas memberi kritik, saran, masukan, dan semacamnya. Kalau
itu yang terjadi, bangsa ini bukannya semakin maju, tapi malah semakin mundur ke
zaman kegelapan.
0 Response to "Sukarno dan Praktik Demokrasi yang Sulit Terjadi Lagi"
Post a Comment