Matilah Kau, Maka akan Kau Dengar Sorak-sorai Para Pecundang dari Dalam Kubur
Penulis: Algo YP
Kali ini, jauh sebelum kematian bintang K-pop yang
namanya tidak mau disebutkan, atau tragedi bunuh diri vokalis kenamaan seattle
sound yang memilukan abang-abang tahun 90an, seorang pria yang terlahir di
Yangoon, Myanmar (Burma), akan turut memeriahkan dahsyatnya cerita paska
sebuah kematian.
Pemuda yang
konon berdarah Eropa, tepatnya Tanworth-in-Arden England, (sebuah wilayah yang
terletak teramat jauh dari kota Tegal, apalagi Comal, Pemalang, Jawa Tengah. Tapi se-England apapun dia,
menurut mitos daerah, perupuk dia tetaplah anak ruhani Yangon, Myanmar. Sebab,
tangisan pertamanya jelas telah tercatat dan menggaung di udara Myanmar.
Memiliki nama
lengkap Nicholas Rodney Drake, dan terlahir 19 Juni 1948, dalam terawangan
seorang cenayang Skandinavia, kemungkinan Drake lahir pada malam hari. Dalam sebuah studi di
Swedia, menemukan bahwa bayi yang lahir di malam hari lebih rapuh. Tapi
syukurlah, Drake adalah pengecualian dan bertahan hingga usia 26 tahun, tentu dengan karya–karyanya.
Berayah seorang
tukang insinyur (Rodney
Shuttleworth Drake) yang lihai berpiano, dan beribu (Mary Drake) penyair
sekaligus pianis Kamar aka anak indi di zamannya, dalam darah Drake mengalir deras skala gambar
terowongan, tone piano ala kedua orang tua, dan yang utama gaya bersyair ibunda
yang konon depresi sejak muda.
Tapi selain hal
tersebut, barang tentu ada fondasi tambahan yakni Mahagita, Hsaing Waing
atau Folk Music dan Native Music Myanmar lainya yang jadi
bekal pengalaman atau bisa jadi spirit bagi Drake yang tidak disadari.
Drake kecil
digembleng berpiano oleh sang ibu. Dari sini Drake tumbuh dan cenderung lebih
berminat pada bebunyian ketimbang mata pelajaran sekolah. Prestasi akademis di bangku sekolah
sebenarnya cukup baik, tapi barangkali minat Drake cenderung pada musik. Dan
alkisah karena hal tersebut, mata pelajaran kimia dan fisika Drake konon
ambruk.
Maka jangan
heran, jika ada salah seoarang musisi handal yang tidak mahir berfisika,
matematika apalagi penjaskes. Sebab, ternyata tidaklah berbanding lurus antara
teori yang mengatakan bahwa musik ialah padu padan fisika dan matematika.
Di tahun
1964-1965, selain menjadi pianis orkestra sekolah, Drake mencoba memilih jalan
turunnya sendiri. Kepiawaian berpiano ditambah sexonphone dan clarinet ala
Squidward, Drake membentuk band pertama yang dinamai Perfumed Gardeners. Langkah awal yang ditempuh Drake seperti
kebanyakan pemusik lainya, yang gandrung membuat grup, agar tetap tampil,
bergaya, bermusik, dan yang utama tidak manggung sendiri. Sebab belum yakin
benar akan yang namanya kesendirian.
Bermodal 13£
atau kurang-lebih 250 rebu perak (persamaan padan 2019-2020 diperkirakan 240£
atau 4,5 jutaan dalam rupiah) pada tahun 1965, Drake menginginkan sensasi
jarinya tidak sebatas tuts piano dan lubang-lubang alat tiup. Dari sinilah
perkenalan Drake pada gitar bermula. Beberapa sumber mengatakan, gitar pertama
Drake bermerek Levin, sebuah gitar produk Swedia. Pabrikan gitar yang konon
menjadi salah satu pabrikan terbaik di Eropa sekitar tahun di tahun 1900an.
Keajaiban kematian
itu ternyata berdampak juga pada brand sebuah gitar. Brand gitar apa yang
digunakan pria misterius ini saja menimbulkan beragam silang-siur pendapat.
Tidak sedikit anggapan proses kreatif Drake menggunakan gitar merk Guild M20.
Sebab terdapat pada salah satu cover album.
Tapi ada pula
yang mengatakan Martin D28, bahkan bisa jadi Yamaha yang dipinjam dari salah
seorang kawannya. Secara tidak langsung, lantaran paparan brand gitar apa yang
dibahas di beberapa forum gitar oleh para gitar hero, menyebabkan rasa
celamitan para fans Drake, atau lahan basah kolektor bedebah yang mencari
kesemapatan dalam kesempakan.
Terlepas
penggunaan brand gitar, Drake secara pribadi memang serius mendalami bidang
permusikan. Sebelum Drake memulai debut kuliahnya di universitas Fitzwiliam
Cambridge, konon Drake memilih pergi ziarah selama 6 bulan ke Prancis, tepatnya
ke universitas Aix Marseille, guna mendalami ilmu pergitaran sembari
jalan-jalan hingga Maroko.
Dari pelesiran
tersebut, diduga kali pertama Drake mengenal ganja dan LSD. Bagaimana tidak
mengenal, di tahun 1968 akhir, menjadi era di mana generasi bunga tumbuh subur
bak masrum di atas telepong kerbau. Atas nama kebebasan dan perdamaian,
generasi ini justru gandrung menikmati zat-zat yang bisa menawarkan dimensi-dimensi
yang konon mampu membawa terbang seperti lalat.
Terlepas si zat
ini berpengaruh atau tidak berpengaruh pada proses kreatif Drake, yang pasti
Drake memang memiliki ketekunan dalam mengolah teknik musik. Pengalaman
mendengar ditambah pendalaman teknik gitar secara formal, menghasilkan teknik
bermain gitar yang tidak biasa.
Ketika beberapa
pemusik di zamanya terlena pada keasyikan gaya akor klaster Beatles atau Stone,
Drake berjalan kearah yang berbeda. Drake mengembangkan open tunning gitar ala musik rakyat, yang dikombinasikan dengan
akor gaya Dylan atau Beatles.
Hasilnya,
alunan nada gitar Drake mendorong ketajaman prosodi dalam membangaun kontruksi
lirik ciptaannya. Robert Johnson, Bert Jansch, dan Bob Dylan memuntahkan anak
pemurung bernama Drake yang memiliki kehangatan syair, manisnya irama lirik dan
keindaham melodi gitar.
Bakat ada
sebelum waktunya, dan kemampuan takan bisa membohongi mata hati dan telinga.
Pada tahun 1967, Robert Kirby, seorang siswa musik, menjadi gerbang yang
menyaksikan keindahan Drake dalam berdendang aduhai.
Kirby merasa,
Drake memang memiliki potensi. Baik dalam pengkaryaaan, atau mungkin bisa jadi
berbonus popularitas dan komoditas. Kirby mendorong Drake dan memberi masukan
perihal album-album awal Drake, hingga tawaran job dari warung ke warung dan
tenda ke tenda.
Drake belia
yang gampangan dan mungkin masih "yes man", mau saja manggung di mana
pun asal gitaran dan dapat uang jajan. Berkat sifat gampangannya, Drake tampil
di sebuah warung remang di Camden Town,
dan drama dari penampilannya dipertemukan dengan Hutchings.
Hutchings yang
merupakan sang bintang yang lihai bermain bas pada grup Fairport Convetion
tertarik dan melihat aura bintang pada drake. Ibarat kata, melihat bintang
memang lebih seksama dapat dilakukan oleh sesama bintang di langit.
Singkat cerita,
setelah Hutchings berkenalan dan berkongkalikong, Drake diajak atau bisa jadi
diiming-imingi permen, guna bertemu dengan salah seorang produser berbakat di
dunia permusikan.
Produser
tersebut bernama Joe Boyd. Seorang muda belia dan cemerlang yang memiliki
perusahaan produksi sekaligus manajemen Witchseason
Productions. Perusahaan yang kemudian
melisensikan Drake ke label Island Record, yang menggaung hingga
seantero penjuru dunia. Boyd akhirnya menawari kontrak Drake dalam manajemen,
penerbitan, hingga produksi karya musiknya.
Hutchings dan Boyd
menjadi pemantik perjalanan Drake ke industri musik. Drake muda dihadapakan
pada kenyataan, bahwa musik tidak sekadar teknis jemari, alunan bunyi, dan
kedalaman syair. Mau tidak mau, Drake berkenalan dengan pasar perbunyian.
Sebuah konsep di mana mengolah bahan mentah, lalu digoreng dadakan, sampai
dijual 500an. Hangat dan gurih-gurih nyoy .
Debut album
pertama Drake, Five Leaves Left, berlangsung sekitar tahun 1969. Selepas album
pertama, Drake melanjutkan dengan album Bryter
Layter (1970), dan disusul Pink Moon (1972). Namun sayang, penjualan dua
album pertama hingga ketiga Drake tidak memuaskan secara komersil.
Beberapa tahun
selepas memuntahakan tiga album yang menyedihkan secara komersil, pada dini
hari tanggal 25 november 1974, Drake ditemukan tidur panjang di kamarnya.
Antidepresan Tryptizol, sepucuk surat, dan karya Bach menemani saat terakhir
Drake. Terlepas bunuh diri atau keracunan, yang utama ialah, hari tersebut
menjadi hari di mana Drake tidak lagi kesulitan tidur malam karena insomnia, dan terlepas dari berbagai keinginannya yang
sulit dideteksi.
Setelah
kematianya, semua berjalan seperti biasa. Si konser tetap disambut tepuk
tangan, si Fender atau Gibson tetap meraup untung milayaran dolar, si Bowie
tetap piawai menjadi mesin sedot debu
cocaine. Dan si Blues hingga Tarling yang diam-diam meninggalkan ladang dan
pasar menuju meja makan tuan tanah, dan sudut ruang pemangku kepentingan hingga
supermarket nyonya Jakarta.
Kenaasan,
kesedihan, ketidakpopuleran, kesialan, sampai karya musiknya yang dianggap
harta khorun yang hilang, lalu ditemukan setelah sekian puluh tahun terselip di
tumpukan meja ukir pentagram: seakan sengaja dijadikan bingkai cerita para
pemusik yang mati muda. Lantas, apakah kematian terkesan menjadi barometer kecerdasan dan kejeniusan
seseorang?
“Pohon yang besar bisa saja terlalu sulit ditebang maupun
digunakan, jika seseorang memiliki kemampuan yang terlalu besar dia akan susah
memanfaatkanya dengan maksimal (terjemahan serampangan bait syair Du Fu), dan barangkali begitulah
dia….sayonara Drake. Selamat jalan untuk menempuh keabadian dan semoga selamat
sampai tujuan.”
Posting Komentar