Fungsi yang Lebih dari Sekadar Tren
(Pahami Dampak Lingkungan dan Produk Berkelanjutan pada Sedotan)
Pada suatu sore, saya memasuki sebuah toko
yang menjual berbagai macam perlengkapan, dari barang-barang elektronik hingga
perlengkapan rumah tangga dijual di toko itu. Ada sederet bagian yang menarik
perhatian saya. Barang itu terbungkus kain hitam dan tergantung berjejer hingga
membentuk sebuh lingkaran di tengah ruangan bagian toko.
Setelah saya memegangnya, ternyata kantong itu
berisi sedotan dan alat makan berbahan stainless steel. Dengan label
yang tertulis #SaveOurEarth di luarnya. Bukan deretan kata yang asing
lagi, terpatri di banyak tempat, terdengar di berbagai perbincangan publik.
Memang dalam beberapa tahun terakhir, produk-produk
dengan label ‘ramah lingkungan’, menjadi sebuah gaya hidup tersendiri di
masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan. Fenomena ini kemudian melahirkan
produsen dari berbagai produk yang mendukung gaya hidup tersebut.
Sejak maraknya perbincangan mengenai permasalahan
plastik di Indonesia, sedotan plastik jelas tidak luput dari topik yang
diperbincangkan. Sedotan plastik yang menjadi polutan di pantai, sedotan
plastik yang juga menjadi pembunuh satwa di laut. Gambar-gambar polutan jenis
ini dapat dengan mudah ditemukan di berbagai media dan pemberitaan.
Dan untuk mengurangi permasalahan sedotan
plastik tersebut, maka muncullah salah satu inovasi pembuatan sedotan dengan
bahan lain yang dapat dipakai ulang sebagai solusi. Mulai dari yang berbahan
bambu, kaca, hingga stainless steel mewarnai label ‘ramah lingkungan’
yang beredar.
Akan selalu ada pro-kontra di antara berbagai
hal yang dianggap sebagai masalah, dan segala hal yang juga dianggap sebagai
solusi. Paradoks seakan terus bekerja dengan baik di sana. Tak terkecuali dalam
proses perpindahan sedotan plastik kepada produk yang dianggap lebih
berkelanjutan.
Penggunaan sedotan plastik melahirkan
pertanyaan; mau sebanyak apa polusi lingkungan dari limbah tersebut yang akan
ditimbulkan lagi? Jika memakai sedotan kertas, pertanyaannya; berapa banyak
pohon yang akan ditebang untuk membuat sedotan yang hanya sekali pakai ini? Kemudian
jika menggunakan sedotan bambu, beralih ke pertanyaan; seberapa banyak lahan
yang akan ditanami bambu?
Sedangkan pada sedotan kaca, karbon dioksida
(CO2) dan energi yang dibutuhkan cukup banyak sehingga dapat menimbulkan krisis
iklim. Lalu sedotan stainless steel. Jangan tanya lagi, dengan produksi
karbon yang mencapai 217 gram karbon dioksida (CO2), sedotan tersebut harus
digunakan paling tidak 149 kali sehingga emisinya impas dengan satu sedotan
plastik. Hal ini seakan menjadi sebuah dilematis yang tak berujung.
Sebuah universitas di Amerika, Humboldt State University
(HSU), melakukan riset dengan melakukan analisis perbandingan penggunaan
sedotan yang diklasifikasikan menjadi sedotan reusable dan disposable.
Sedotan reusable meliputi sedotan
berbahan kaca, bambu, dan stainless steel. Sedangkan sedotan disposable
meliputi sedotan berbahan kertas dan plastik. Riset yang dilakukan pada tahun
2018 ini meliputi aspek emisi karbon yang tertanam, energi yang dihasilkan
dalam pembuatan lima bahan sedotan serta limbah setelah penggunaan terhadap
lingkungan.
Sedotan stainless steel menduduki
posisi tertinggi dalam peningkatan emisi karbon. Karbon dioksida yang
dihasilkan untuk produksi mencapai 217 gCO2 per-sedotan.
Sedangkan energi yang dibutuhkan untuk produksi mencapai 2420
kJ per sedotan. Padahal sedotan stainless steel masih paling yang banyak
dijual di pasaran dengan embel-embel sustainable (berkelanjutan) hingga
saat ini.
Dan begitulah pengurangan sampah plastik yang
tidak diimbangi dengan pengetahuan mengenai dampak alternatifnya hanya akan menjebak
pada sebuah tren belaka. Sehingga, akan selalu ada dampak lingkungan yang
dihasilkan dari berbagai macam jenis sedotan yang digunakan.
Saya adalah salah satu dari sekian banyak orang
yang terseret arus dan masuk dalam hype gaya hidup ramah lingkungan pada
waktu itu. Gaya hidup ‘ramah lingkungan’ yang sekadar tidak
menggunakan plastik bahkan sekecil mungkin. Mengurangi sampah plastik, demi
sekedar beralih dari masalah lingkungan satu ke masalah lingkungan lainnya.
Mengurangi polusi plastik tetapi justru turut menambah emisi karbon di udara.
Jejak lingkungan yang akan selalu ditinggalkan
oleh manusia memang seringkali merepotkan. Yah, merepotkan diri mereka sendiri
pada akhirnya. Inovasi yang diciptakan untuk membantu kehidupan manusia justru
berbalik menyerang manusia.
Saya seketika ingat sebuah diskusi pada akhir
2018 lalu. Seorang inisiator zero waste adventure, Siska Nirmala, pernah
mengatakan bahwa kita pada dasarnya tidak perlu mengganti sesuatu yang
sebenarnya tidak begitu penting atau bahkan tidak kita butuhkan. Contohnya saja
dalam kasus sedotan plastik ini. Pengganti pun tidak bisa selamanya dijadikan
sebagai sebuah solusi. Karena sebagaimana penjelasan di atas, penggunaan produk
demi mengganti plastik—tanpa paham dampaknya—hanya akan
menimbulkan masalah lingkungan yang lain.
“Maka jika kita bisa minum tanpa menggunakan
sedotan, kenapa harus memaksa menggantinya dengan sedotan stainless?” ujarnya. Teknologi dan inovasi hanya sekedar
alternatif. Bukan perkara wajib yang harus digunakan setiap saat oleh semua
orang. Maka dari itu, penyesuaian memang sangatlah perlu untuk benar-benar
dapat menyelesaikan masalah lingkungan seperti ini.
Sehingga sangat penting untuk mengenali produk
yang kita beli atau konsumsi, termasuk di dalamnya adalah mengenali dari
mana produk tersebut berasal, sekaligus bagaimana ketika produk itu
berakhir nilai kegunaannya.
Sekedar minum air putih tanpa perlu sedotan
pasti bisa, kan?
Posting Komentar