Abu Janda dan Dilema Influencer sebagai Strategi Perjuangan
Permadi Arya atau yang populer disapa Abu Janda, belakangan ramai diperbincangkan di media sosial. Pangkal soalnya adalah unggahan Abu Janda di Twitter yang menyebut “Islam agama arogan.”
Cuitan
tersebut menuai kecaman dari banyak pihak. Sekretaris Jenderal Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU), Helmy Faishal Zaini, menyebut bahwa Abu Janda tidak
mengerti Islam. Menurut Helmy, harus dibedakan antara agama
dengan orang. Sedangkan Abu Janda malah memukul rata begitu saja kalau Islam agama arogan.
Respon
serupa juga muncul dari beberapa tokoh nasional lain, seperti pegiat Gusdurian,
Alissa Wahid, hingga mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.
Semua tidak sepakat dengan apa yang ditulis Abu Janda. Bu Susi bahkan lebih
jauh mengajak orang-orang untuk berhenti mengikuti akun Abu Janda.
Kecaman
kepada Abu Janda makin menjadi setelah ia kembali membuat geger dengan mencuit
kata-kata berbau SARA kepada aktivis HAM, Natalius Pigai di akun Twitternya.
Untuk kasus ini, Abu Janda malahan sampai dilaporkan ke polisi karena cuitannya
itu.
Abu
Janda sejak lama memang telah dikenal sebagai pegiat media sosial atau influencer yang kerap membuat
kontroversi. Tidak sekali ia membuat gaduh di jagat digital. Sudah jadi rahasia
umum, kalau Abu Janda hobi memparodikan tokoh-tokoh yang berseberangan posisi
dengan dirinya. Seperti Habib Bahar atau Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Khusus untuk kasus Habib Bahar, Abu Janda sampai mendapat ancaman pembunuhan
karena tingkahnya tersebut.
Dari
rekam jejak yang demikian, tidak heran akhirnya jika Abu Janda kini mengalami
masalah atas tingkahnya sendiri di media sosial. Karena sejak dulu memang ia
sudah berperilaku kontroversial seperti itu.
Namun
uniknya, dalam kasus Abu Janda saat ini, rupanya masih ada pihak-pihak yang
membelanya. Argumentasi kelompok ini, meskipun Abu Janda membuat kekeliruan
atas beberapa unggahannya, tapi tidak selayaknya Abu Janda dikecam sedemikian
rupa, mengingat kontribusinya terhadap perang melawan radikalisme dan
intoleransi di media sosial. Para pembela Abu Janda inilah yang nantinya sibuk
menyerbu akun-akun mana saja yang mengecam Abu Janda beberapa waktu terakhir,
termasuk akun Twitter Alissa Wahid dan Bu Susi Pudjiastuti.
Influencer macam Abu Janda, dalam era digital seperti sekarang
dipandang menjadi bagian dalam strategi perjuangan menangkal narasi radikalisme
dan intoleransi tanpa ada sikap kritis atas sepak terjang mereka. Padahal, kehadiran mereka ini sebenarnya dilematis apabila
dijadikan bagian strategi perjuangan secara luas.
Dikatakan
dilematis, karena di satu sisi apabila para influencer
ini bersikap atau berjalan sesuai dengan kepentingan gerakan, mereka akan
dipuji dan dianggap sebagai bagian dari gerakan besar melawan radikalisme dan
isu sejenisnya. Tapi apabila para influencer
ini membuat kesalahan, mereka yang tadinya berjalan beriringan, biasanya
akan berlepas tangan dan menganggap para influencer
tersebut bukan bagian dari gerakannya.
Apa
yang dialami Abu Janda sekarang menggambarkan hal tersebut. Umum diketahui
publik kalau selama ini Abu Janda sering mengafiliasikan dirinya dengan Banser
NU. Ia sering tampil di depan publik sambil memakai atribut Banser atau NU.
Saat Abu Janda dulu belum berkasus seperti sekarang, keberadaannya relatif
tidak dipermasalahkan. Tapi setelah ia berkasus, suara keras yang mempersoalkan
eksistensi Abu Janda justru ramai muncul di tubuh NU.
Kyai
As’ad Said Ali, selaku ketua Dewan Penasehat Banser misalnya, beliau menyebut
bahwa Abu Janda memanfaatkan nama besar NU untuk kepentingan pribadinya. Lebih
jauh, beliau bahkan menyimpulkan Abu Janda sebagai penyusup ke dalam NU. Untuk
itu, Kyai As’ad menyarankan agar
PBNU secara resmi bersikap tegas terhadap Abu Janda.
Sikap Kyai As’ad ini dapat dipahami, karena memang sejak awal Abu Janda
bukanlah bagian dari gerakan NU. Maka dari itu, saran beliau yang meminta PBNU
tegas adalah solusi terbaik untuk menyikapi para influencer di media sosial.
PBNU
dan berbagai organisasi lainnya perlu menegaskan secara terbuka apakah para influencer ini memang menjadi bagian
dari gerakan atau tidak. Karena jika tidak demikian, apabila si influencer ini membuat kekeliruan
seperti kasus Abu Janda, nama baik organisasilah yang akan tercoreng. Ujungnya
agenda gerakan akan terdampak pula akibat perilaku negatif para influencer tersebut.
Selain
itu, kehadiran influencer dalam
agenda perjuangan bila dicermati lebih jauh justru bisa berdampak negatif
terhadap isu yang dibawa. Karena para influencer
ini umumnya bukanlah orang-orang yang memang ahli dalam isu yang sedang
diperjuangkan.
Abu
Janda misalkan, meski oleh pembelanya dikatakan ia merupakan tokoh yang
berkontribusi terhadap perang melawan radikalisme dan intoleransi, tidak dapat
dipungkiri bahwa Abu Janda bukanlah ahli di bidang tersebut. Ia lebih ahli
berakting memparodikan polah tingkah para tokoh yang
menjadi musuhnya, daripada ahli memperdebatkan gagasan secara ilmiah. Dari sini
tidak heran jika yang dikedepankan Abu Janda bukanlah argumentasi berbasis
ilmu, tapi justru komentar yang cenderung emosional dan tidak berdasar.
Itulah
yang terjadi pada kasus cuitan tentang islam agama arogan dan cuitan bernada
SARA kepada Natalius Pigai. Abu Janda bukannya mengedepankan ilmu dalam
menyerang balik orang-orang yang dianggap berseberangan, tapi malah bermain
satire yang sialnya kebablasan dan tidak ilmiah sama sekali. Di sanalah letak
dilema lain dari penggunaan influencer dalam
perjuangan.
Apabila
si influencer membuat masalah, orang banyak akan tidak terlalu tertarik dengan substansi isu
yang sedang diperjuangkan, tapi malah sibuk melihat perilaku si influencer yang blunder tersebut.
Akhirnya hal itu malah memukul balik agenda perjuangan yang sudah susah-susah
dibangun.
Untuk
itu, semua pihak yang ingin berjuang di dunia digital perlu meninjau kembali
penggunaan influencer sebagai
strategi perjuangan. Karena pada dasarnya kehadiran mereka ini dilematis jika
dipakai sebagai strategi perjuangan.
Kalaupun
perjuangan di media digital memang harus menggunakan para influencer, perlu diperjelas kualifikasi keilmuan apa yang
setidaknya wajib dimiliki para influencer
ini. Sehingga ketika mereka sedang
bergerak di jagat digital, mereka bergerak didasarkan basis keilmuan yang
jelas. Tidak asal-asalan komentar atau berpendapat di luar koridor perjuangan
dari isu yang dibawa. Jika ini dilakukan, setidaknya hal tersebut dapat
meminimalisir terulang kembalinya kasus Abu Janda di kemudian hari.
Terlepas
itu semua, apa yang dialami Abu Janda sekarang, menjadi realitas kelam dunia
digital dewasa ini. Sebuah dunia yang siapapun bisa berbicara atau berkomentar
tanpa risau dengan dampak yang ditimbulkan. Sebuah dunia yang semua orang punya
kedudukan sama di hadapan layar gawai masing-masing. Sebuah dunia di mana
hampir seluruh orang saling terhubung dan sulit lepas daripadanya. Dalam
realitas demikian, satu prinsip dasar yang perlu dipegang di media sosial
adalah jangan bicara sesuatu yang kita tidak tahu. Bila ini menjadi kesadaran
bersama, keributan tidak perlu yang selama ini biasa terjadi di media sosial
bisa diminimalisir.
0 Response to "Abu Janda dan Dilema Influencer sebagai Strategi Perjuangan"
Post a Comment