Tan Malaka Adalah Lambang Keabadiannya!
Penulis: Rahmad Adi Nugroho
Ialah Ibrahim, seorang anak cerdas yang berasal dari Nagari Lumuik Suliki. Memiliki masa kecil yang menyenangkan, lantaran ia merupakan seorang keturunan Ketua Adat atau biasa disebut dengan Datuk Pamuncak. Jabatan itu yang kelak jua akan diturunkan kepadanya. Ia juga berada di Lingkungan Orang-orang muslim yang amat taat, sehingga masa kecilnya pun tak jauh dari surau tempat dia belajar dan mengaji.
Setelah remaja, ia menyambung pendidikan di
Kwekschool Bukit Tinggi, sekolah pada zaman penjajahan Belanda yang setara
dengan Sekolah Menengah Atas. Kemudian, ia berniat meneruskan kembali pendidikannya
ke Rijkweekschool di Nederland, untuk mengambil Ijazah hoofdacte atau Ijazah
setara S1. Ijazah ini yang nantinya menjadi syarat ketika ingin menjadi Guru
Kepala. Keberangkatannya didampingi oleh seorang guru berbangsa Nederland, yang
bernama Gerardus Hendrikus Horensma.
Namun, sebelum ia hendak berangkat ke
Nederland, Ibrahim telah diminta untuk menyandang Gelar Datuk Tan malaka. Yaitu
gelar sebagai Datuk Pamuncak setelah kakeknya mangkat karena telah uzur. Dan
pada saat mendapatkan berita itu, Ibrahim masih berada di Bukit Tinggi sebab masih
melakukan praktek mengajar.
Arkian, sebelum memutuskan tetap melanjutkan
niatnya ke kota Harleem di Nederland untuk melanjutkan pendidikannya, Ibrahim
sempat bersitegang dengan para tetua adat. Mengingat posisinya yang pada saat
itu telah sah menjadi seorang Datuk Pamuncak, dengan gelar Tan Malaka.
Adalah sebuah penghianatan, begitulah kiranya
anggapan dari para tetua adat di sana, bila Ibrahim yang bergelar Tan Malaka
tetap hendak berangkat ke Nederland apa pun alasannya. Dan resiko bila ia masih
tetap teguh dengan pendiriannya itu adalah, akan dicopot gelar kehormatannya di
kalangan adat dan dibuang dari adat.
Akan tetapi, Ibrahim adalah seorang yang
memiliki keteguhan jiwa. Dengan penuh keyakinan, ia tetap pada keputusan untuk
melanjutkan pendidikannya di Nederland. Meskipun ia harus mencopot gelar Tan
Malakanya, dan bersedia dibuang dari Adat. Dan bukan hanya itu saja, saat
Ibrahim hendak berangkat pergi dari kampung halamannya, ia pun dilepas dengan
tatapan jijik dari orang-orang kampungnya.
Perjalanan ke Nedherland dan Gelar yang Meng-Abadi
Setelah melewati masa-masa perjuangannya di
kampung halaman, Ibrahim berangkat ke Nedherland dengan sang guru yang
membawanya. Ialah Horensma. Setelah sampai di Nederland, tujuan selanjutnya
yaitu kota Haarlem, yaitu tempat di mana Rijkweekschool berdiri. Semula,
Ibrahim sempat kecewa dengan realita bahwa Rijkweekschool tak semegah ekspetasi
yang ada di dalam kepalanya.
Walakin, biar bagaimanapun, ekspetasi yang tak
sesuai, tetap saja ada rasa gugup dan kikuk sebagai seorang pendatang baru. Hal
tersebut sangat tampak dari seorang Ibrahim. Terlebih penampilannya yang juga
sangat kentara bahwa ia berasal dari Hindia. Beruntung, ada Horensma yang
menjadi pelindung bagi Ibrahim pada waktu itu.
Sebelumnya, tuan direktur yaitu Van Der Lay,
sempat menolak Ibrahim untuk menjadi Pelajar di Rijkweekschool. Sebab, sudah
hampir sebulan kelas dimulai dan Ibrahim baru datang sekarang. Kira-kira
begitulah keadaan pada saat itu. Tetapi, beruntung Horensma berhasil membujuk
sang direktur, dengan mengatakan bahwa Ibrahim-lah yang telah menulis tentang
Kerja Rodi di koran Het Volk pada saat itu.
Seketika, sikap Van Der Lay berubah kepada
Ibrahim. Ia, begitu mengagumi tulisannya. Menurutnya, baru pertama kali ia
bertemu dengan penulis dari Hindia, yang bahkan kumisnya pun baru tumbuh, namun
dapat menulis Belanda dengan bagus. Semula, ia mengira bahwa penulisnya adalah
seorang Nederland, yang menyamar dengan menggunakan nama pena. Dengan segera,
sang tuan direktur langsung menanyai tentang gagasan dari Ibrahim dalam
tulisannya itu.
Dikatakanlah bahwa, Ibrahim dan teman
sekelasnya mendapatkan tugas untuk membuat tulisan dengan Tema “Tulisan Melayu”
pada saat itu. Mereka bertujuan untuk memenuhi tugas tersebut saat jam
istirahat berlangsung. Semua murid kelasnya pun berbondong-bondong pergi ke
perpustakaan untuk mencari refrensi. Sampailah Ibrahim di perpustakan, ada
sebuah lembaran kusam yang memuat tulisan berjudul De Locomotief.
Tulisan tersebut memuat tentang Tanam Paksa
yang dilakukan oleh Nederland kepada Hindia pada saat itu. Dan yang tak luput
dari pikiran Ibrahim adalah, tentang banyaknya kematian para petani demi
kelancaran memberikan sumbangan besar kepada Nederland. Bahkan, sumbangan untuk
kas negara 72 persennya adalah kiriman dari Hindia. Itu merupakan sebuah
eksploitasi yang tidak beradab.
Muncul bayang-bayang akan penderitaan para
petani dan pekerja di pikiran Ibrahim. Terlebih saat ia berkunjung di salah
satu proyek milik Pemerintah Nederland. Ia melihat sendiri tentang penderitaan
para pekerja. Rata-rata pekerja di situ berbadan kerempeng, kulit legam dan
keringat bercucuran di bawah terik matahari. Mereka tak lebih menyerupai mayat
hidup, jika dibandingkan dengan lelaki Minang Kabau yang bahagia lahir batin
Dari situlah muncul gagasan seorang Ibrahim
untuk menulis tentang Tanam Paksa, yang sebelumnya tulisan itu hanya dikumpulkan
untuk memenuhi tugas akhir. Dan ternyata, Horensma sang guru telah mengirimkan
tulisan itu ke Het Volk, dengan menggunakan nama Tan Malaka sebagai nama pena
dari Ibrahim. Sampai saat-saat perjuangannya di Nederland dan di Hindia,
Ibrahim lebih banyak dikenal dengan nama Tan Malaka. Bahkan kini, berbagai
literatur yang memuat gagasan dan sejarah panjang pergerakannya, hampir semua
yang saya temui berjudul tak lain dari nama Tan Malaka bukan sebagai Ibrahim
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Kader PMII Rayon Ashram Bangsa. Berasal dari Musi Banyuasin
0 Response to "Tan Malaka Adalah Lambang Keabadiannya!"
Post a Comment