Sebuah Perpisahan yang Mendewasakan Kita
Bicara soal perpsisahan, tentu saja tidak semua orang siap untuk menghadapinya. Apalagi untuk lantang berkata, bahwa perpisahan adalah hal yang ia tunggu sejak lama. Perpisahan memanglah hal yang menyedihkan, menyakitkan, dan seringkali mengukir serta membekaskan luka. Seperti halnya pertemuan, perpisahan pun sebenarnya mengajarkan banyak arti, dan cara memaknai sebuah kehidupan bagi kita. Tetapi sayangnya, saya tegaskan kembali, tidak semua orang siap dan kuat untuk menghadapi yang namanya sebuah perpisahan.
Saya mendapat
banyak pelajaran tentang arti perpisahan setelah membaca buku Nadira. Jujur,
saya pribadi juga masih bingung, buku ini masuk dalam antologi cerpen atau
sebuah novel yang utuh. Bagi saya, perbedaan antara kedua genre itu, sangat
kabur dan melebur menjadi satu dalam buku ini. Jika buku ini disebut sebagai antologi
cerpen, maka tidaklah menjadi sebuah masalah sama sekali. Sama halnya jika
dianggap sebagai sebuah novel, lantaran kisahnya yang benar-benar berpusat pada
tokoh utama yang menjadi judul buku ini.
Tema yang
diangkat dalam buku ini nyatanya memang tidak tunggal. Kompleks, mungkin kata
itulah yang tepat mewakili buku ini. Dengan keluasan wawasan dan pengetahuan
yang dimiliki penulisnya, menjadikan buku ini seperti menyanyat para
pembacanya. Saya pribadi awalnya juga sempat terheran-heran, dan
bertanya-tanya, tentang apa yang sebenarnya melatarbelakangi gagasan awal
penulisan buku ini. Dibilang ada misi yang terselubung, sampai akhir buku pun
saya tidak menemukan hal tersebut.
Hingga, saya
sampai pada sebuah kesimpulan, dan mengartikan bahwa buku ini memprioritaskan
tema perpisahan di dalamya. Yang saya temukan, di setiap babnya, Leila seperti
tidak pernah luput dan meninggalkan tema perpisahan ini. Perpisahan seakan
menjadi jembatan penghubung, yang membantu alur cerita agar berjalan lancar dalam
buku ini. Perpisahan juga seolah-olah mewakili seorang manusia, yang harus
meneruskan hidupnya walaupun dunia tidak pernah berpihak kepadanya.
Keberanian seorang
Leila patut saya akui, sebab telah berani menawarkan kegetiran hidup yang
biasanya akan banyak dihindari oleh orang-orang. Tidak hanya itu, Leila juga sangat
leluasa menuliskan persoalan konflik keluarga, yang pada dasarnya jarang sekali
menarik untuk diperbincangkan. Namun, di tangan seorang Leila, konflik dalam
sebuah keluarga diraciknya menjadi tidak hanya soal kecenderungan atau
kebiasaan keluarga semata. Tetapi juga soal kondisi psikologis setiap individu
yang ada di dalamnya.
Dengan entengnya,
Leila seperti menunjukkan, bahwa hal yang terbaik dalam sebuah kehidupan,
sejatinya ditentukan sendiri oleh yang menjalani hidup. Campur tangan dunia
adalah bonus. Hal tersebut akan kita temui ketika mengikuti secara seksama
perjalanan hidup seorang Nadira Suwandi. Sosok Nadira di buku ini, seakan belum tuntas dikupas habis. Semacam ada
sebuah misteri yang harus ditafsirkan sendiri oleh para pembaca. Dan saya rasa,
piawainya seorang Leila, terbukti ketika di beberapa bagian kita mendapati
sebuah belokan tajam alur cerita.
Seperti yang pepatah
bilang, tak ada gading yang tak retak. Nadira sejatinya juga memiliki
sebuah kekurangan di dalamnya. Tetapi, kekurangan itu sendiri tidak lantas
mengurangi kualitas buku ini. Bagi saya, kekurangan buku ini terletak pada kritik
yang ia tujukan untuk karya-karya sastra abad 19 atau era Victoria. Di mana
kebanyakan karya sastra zaman itu terlalu menonjolkan konflik cerita
percintaan, dan secara tidak langsung mengaburkan semangat pencerahan yang
sedang menyeruak semaca wabah pada waktu itu.
Walaupun bisa
jadi kemungkinanya, Leila sendiri sebenarnya ingin menawarkan perdebatan yang
terjadi mengenai karya sastra klasik. Walakin,, saya pribadi merasa Leila lebih
cenderung mengkritik sastra klasik itu sendiri. Dan fatalnya, Leila secara
tidak langsung meminjam kebiasaan sastra klasik yang ingin dikritiknya
tersebut.
Sejatinya saya
juga menyadari dan meyakini, bahwa karya sastra khususnya novel, dalam proses
pengerjaannya, akan sulit sekali dikontrol oleh si penciptanya. Terkadang,
sependek pengalaman saya, dalam menulis cerpen pun biasanya setiap orang akan
kesulitan mengontrol alur cerita yang ingin dituliskan, meskipun sudah terdapat
batasan yang ditetapkan sebelumnya. Lamun, di titik itulah sebenarnya si
penulis akan diuji, dan dites sejauh mana konsistensinya pada alur cerita atau
konsep di awal.
Anehnya bagi
saya, entah kenapa buku ini seperti menyadarkan kepada satu hal, dan mengingatkan
saya atas kesalahan yang pernah saya perbuat di masa lalu. Tidak lain juga
menyangkut soal perpisahan. Perpisahan yang selanjutnya saya artikan mendewasakan
saya dan seseorang. Sebuah perpisahan yang membawa pesan tersembunyi di
baliknya. Dan sulit untuk dipungkiri, sekarang ini saya malah merasa bersyukur,
karena ditakdirkan Tuhan untuk berpisah dengan orang tersebut.
Perpisahan yang
saya maksud di sini, tentu saja bukan perpisahan dalam arti yang sesungguhnya. Melainkan
perpisahan untuk tidak saling memiliki, dan lebih saling mengenal dengan cara
yang berbeda. Barangkali, skenario Tuhan memang tidak bisa diganggu gugat. Dan
sudah menjadi tugas seluruh manusia untuk memahami, dan mengambil arti dari
skenario yang sudah dibuat tersebut, bukan?
Untuk hal itu,
saya patut bersyukur untuk segala bentuk pendewasaan yang saya dapat melalui
perpisahan. Sebab, melalui perpisahanlah, saya pribadi merasa menjadi lebih
dewasa dan menemukan cara pandang baru dalam menilai sesuatu. Termasuk ketika
membaca buku Nadira ini, saya kembali diingatkan untuk lebih menghargai
sesuatu ataupun seseorang yang sudah saya miliki sekarang.
Bukankah kita memang
lebih sering menghargai sesuatu atau seseorang setelah kita merasa kehilangan? Dan
bukankah biasanya kita baru akan sadar, kalau sesuatu dan seseorang yang
berharga itu setelah kita berpisah dengannya?
Data buku:
Judul: Nadira
Penulis: Leila
S. Chudori
Penerbit:
Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun: Juni,
2018
Tebal: xi+304
hlm
0 Response to "Sebuah Perpisahan yang Mendewasakan Kita"
Post a Comment