Sastra
Penulis: Udin Blanco
Aku membaca "Lapar"
Knut Hamsun waktu masih MTs, dan sudah lupa sebagian besar ceritanya. Yang aku
ingat, kisahnya tentang seorang penulis miskin yang bertekad untuk tetap
menulis, sementara perutnya terus-menerus kelaparan. Adegan yang paling aku
ingat adalah, ketika si tokoh utama menguntit dua perempuan tak dikenal
sepanjang jalan, dan ia melakukan perbuatan itu tanpa motif apa pun, selain
hanya karena enggak ada kerjaan.
Ini novel
sastra klasik yang, suka atau tidak, ceritanya selalu berakhir memilukan. Aku
ingat, waktu itu sehabis membacanya kesal bukan main. Tetapi, justru dari
perasaan kesal itulah tumbuh keinginan untuk membaca novel-novel lain. Termasuk
roman Siti Nurbaya, yang sukses bikin hari-hariku bersedingan. Sekarang,
aku ingin membaca "Lapar" lagi, setelah Eka Kurniawan
merekomendasikan novel ini di blognya.
Ngomong-ngomong
tentang sastra, aku jadi teringat pada seseorang yang kemarin ngamuk, dan
menuding bahwa sekarang dunia sastra kita ditumbuhi banyak parasit. Sastra,
terutama novel, menurutnya telah kehilangan ruhnya sejak disusupi oleh budaya
populer. Orang sekarang bisa saja dijululuki sastrawan apabila dia bisa menulis
cerita yang menghibur, plotnya bagus, terus laku di pasaran.
Padahal,
menurut beliau, tidak semudah itu seseorang bisa disebut sastrawan. Sebuah
novel, kalau tidak memberikan sebuah pencerahan, bukanlah karya sastra.
Masalahnya, pencerahan yang seperti apa yang dimaksud?
Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, yang bercerita
tentang rasisme di masa penjajahan Belanda, adalah contoh ideal sebuah karya
sastra, begitulah menurutnya. Setelah membaca novel Pram, pikiran pembaca akan
tercerahkan, akan mengalami perasaan semacam katarsis, ledakan emosi, semacam
orgasme. Nah, bagaimana dengan novel-novel populer yang merebak di zaman ini?
Sastra itu,
lanjutnya, paling tidak harus mengangkat isu sosial, harus mengandung kritikan.
Untuk mempertajam kritikan dibutuhkan bahasa yang blak-blakan, lebih bagus lagi
kalau bahasanya nakal. Peduli amat soal ketabuan, soal sopan-santun, soal
etika, atau hal-hal semacam itu. Kalau kita mau menulis novel tentang orang
suku pedalaman, misalnya, jangan harap mereka akan menganggap karya kita
sebagai karya sastra kalau bahasanya masih malu-malu. Contoh, mau bilang berak
saja harus ditulis buang air besar.
Ada
kecenderungan bahwa semakin nakal dan berontak kita dalam mengekspresikan
sebuah kritikan, semakin nyastra karya kita. Semakin banyak sumpah serapah
sialan, bededah, kampret, keparat, anjing, babi—semakin nyastra karya kita.
Tapi benarkah begitu? Mbuh lah.
Kembali ke Eka
Kurniawan. Ia adalah penulis yang sesungguhnya sangat kukagumi. Walaupun aku
baru bisa membaca tiga novelnya saja: Cantik itu Luka, Lelaki Harimau, dan
Seperti Rindu Dendam Harus Dibayar Tuntas.
Lelaki Harimau
adalah sebuah novel yang luar biasa memikat, tetapi tidak demikian untuk Cantik
itu Luka; setidaknya begitulah pendapatku yang masih terbata-bata dalam menilai
apa yang mereka bilang sebagai karya sastra.
Gaya tutur Eka
Kurniawan, mengingatkanku pada tulisan Gabriel Garcia Marquez. Tapi, yang aku
dapatkan di sepanjang novel Cantik Itu Luka justru perkosaan melulu. Sehingga
aku merasa seandainya cerita ini bukan dituturkan oleh seorang Eka Kurniawan
.... catat: seandainya cerita ini bukan dituturkan oleh seorang Eka Kurniawan ,yang
referensinya membentang panjang dari sejak zaman kolonial sampai ke zaman orde
baru, tak ubahnya aku ini sedang duduk seharian di depan kandang ayam
tetanggaku, sambil memperhatikan bagaimana ayam-ayam itu hidup dan berkembang
biak.
0 Response to "Sastra"
Post a Comment