Pentingnya Bermubadalah dalam Menjaga Ketahanan Keluarga di Masa Pandemi Covid-19
Sumber foto: uninus.ac.id |
Penulis: Ainul Luthfia Al Firda
Akhir-akhir ini, dampak dari Covid-19 semakin terlihat nyata. Mulai dari turunnya kualitas pendidikan, perekonomian, pariwisata dan tak terkecuali urusan ketahanan keluarga. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan menyebutkan bahwa, angka kekerasan dalam rumah tangga meningkat mencapai 80%. Disebabkan karena banyaknya faktor yang menggoyahkan hubungan keluarga. Mulai dari turunnya pendapatan pemasukan keluarga, dilema pendidikan anak, hingga terganggunya psikis keluarga.
Dr. Nur Rofiah menjelaskan dalam diskusi yang digelar
Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama, yang dikutip dari nu.or.id
menyatakan bahwa, keluarga maslahah adalah keluarga yang memiliki pribadi insan
kamil yang memegang konsep hifdul ‘aql, hifdul amni wassalam, hifdul wathon,
dan da’ul mafasid ‘ala jalbil masholih (mengutamakan meninggalkan kemafsadatan
dari pada melakukan kebaikan).
Hal senada juga dijelaskan oleh Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak. Bahwasanya indikasi ketahanan keluarga,
terletak pada adanya kesinambungan terhadap sumber daya keluarga, melalui
pemberdayaan struktur fungsi dan peran keluarga dalam masyarakat. Kedua
pandangan tersebut, sama halnya dengan argument Kiai Faqih, yang dituangkan
dalam buku Qiraah Mubaadalah. Bahwasanya, dalam membina keluarga harus adil
dengan konsep muasyarah bil ma’ruf dan nahyi ‘anil munkar. Serta adanya konsep
kesalingan (mubaadalah), kemitraan (muawanah), dan kerja sama ( musyarakah)
Pengertian di atas, dapat dijadikan landasan dalam
mengimplementasikan maksud dari point kelima SDGs, yang berhubungan dengan
kesetaraan gender, di mana perempuan perlu mendapatkan hak-haknya tak
terkecuali pada urusan rumah tangga. Di sini penulis mencoba menuangkan ide-ide
beserta hasil analisis yang menyoal permasalahan keluarga, salah satunya
kekerasan dalam rumah tangga. Fokus tulisan ini terletak pada sebuah upaya
dalam meminimalisir gesekan rumah tangga dengan menghubungkan pada bunyi surat
An-Nisaa ayat 34.
Di sini penulis berangkat dari pendekatan kontekstualis
Abdullah Saeed, seorang pemikir Islam Kontemporer asal Maldives dan seorang
professor Studi Arab di Universitas Melbourne Australia.
Umumnya
permasalahan yang berhubungan dengan mandat laki-laki sebagai pemimpin dan
pemberi nafkah keluarga dengan mewajibkan perempuan untuk selalu taat kepadanya
terdapat pada surat An-Nisaa ayat 34 yang artinya :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar (QS
An-Nisaa: 34)
Kemudian, jika dilihat secara linguistic, ayat ini tidak
sedang mengunggulkan posisi laki-laki dengan melebihkan keisitimewaan sifat
laki-laki. Sebab, jika potongan ayat ini dimaknai secara serampangan, akan
menghasilkan pemahaman yang patriakri dan merendahkan kedudukan perempuan.
Atas dasar itu yang kemudian, memunculkan larangan bagi perempuan
untuk menjadi pemimpin. Sebab, pemahaman yang dibawa berlandaskan superioritas
laki-laki dan inferioritas perempuan
Secara historis, diceritakan Ibnu Hatim meriwayatkan dari
Hasan Al- Bashri berkata bahwa ada seorang Wanita, dia adalah Habibah yang
datang kepada Nabi untuk mengadukan suaminya yang telah menamparnya. Lalu Rasulullah
Saw bersabda “Balaslah”, maka Allah menurunkan firman-Nya pada surat An-Nisa
ayat 34, yang menegaskan adanya ketentuan laki-laki pada hak untuk mendidik
istrinya yang melakukan penyelewengan terhadap haknya selaku istri. Setelah
mendengar hal ini, wanita tersebut menggugurkan niat untuk menuntut qishas.
Berdasarkan interpretasinya, surat An-Nisa ayat 34 tidak
semata-mata normatif. Melainkan menjelaskan kondisi riil sistem kekeluargaan
masyarakat Arab di masa kehidupan Nabi
Muhammad SAW, dan sedang ditata moralnya oleh Al-Quran.
Feminis muslim kontemporer Asghar Ali Engineer,
berpendapat bahwa pada kalimat Ar-rijaalu Qowwaamuuna ‘alaan-nisa’
merupakan pernyataan kontekstual. Artinya perempuan boleh berkontribusi dalam
urusan kepemimpinan dan tak terkecuali urusan rumah tangga. Kemudian, jika
dihubungkan dengan kondisi saat ini, di mana kontribusi perempuan dalam menjaga
ketahanan keluarga semasa pandemi covid-19 sangat diperlukan. Mulai dari
diperbolehkannya perempuan untuk berprofesi dalam memenuhi keperluan keluarga,
misalnya bekerja di sektor pelayanan publik.
Kondisi saat ini mengharuskan keluarga untuk saling
bahu-membahu. Yakni menerapkan konsep-konsep yang sebagaimana ditawarkan oleh
Kiai Faqih dan Nur Rofiah pada penjelasan di atas. Di sini penulis juga
mengimplementasikan konsep yang ditawarkan oleh mereka dalam kehidupan demi
menjaga kemaslahatan keluarga. Dapat disimpulkan bahwa, kandungan dari surat
An-Nisa ayat 34 membolehkan perempuan untuk memimpin dan berkontribusi dalam
memenuhi kebutuhan keluarga. Sebab ayat tersebut turun di saat kondisii riil
keluarga bangsa Arab yang sedang ditata oleh Al-quran. Terimakasih
Perempuan Sulung yang masih ingin belajar dalam membina keluarga maslahah. Dapat ditemui di Ig @firdaainul dan @nikiwaetenun
0 Response to "Pentingnya Bermubadalah dalam Menjaga Ketahanan Keluarga di Masa Pandemi Covid-19"
Post a Comment