Oligarki, Emansipasi, dan Kesenjangan Ekonomi
Oligarki sebagai sebuah konsep teoritis, belakangan menjadi istilah yang kerap disebut namun relatif tidak banyak didiskusikan secara konseptual. Dalam rumpun ilmu sosial atau ekonomi-politik—baik liberal maupun kritis—oligarki kalah pamor dengan berbagai teori mapan yang selama ini menjadi perbincangan arus utama, macam teori modernisasi, neoliberalisme, atau imperialisme.
Dalam rentang 20 tahun terakhir, hanya sedikit
intelektual yang mengkaji konsep ini secara mendalam. Richard Robison, Vedi R.
Hadiz, dan Jeffrey Winters adalah sedikit dari para intelektual tersebut.
Ketiganya dianggap sebagai intelektual paling otoritatif dalam membahas
oligarki di Indonesia.
Richard Robison bersama Vedi R. Hadiz, menulis buku berjudul Reorganising Power in Indonesia: The
Politics of Oligarchy in an Age of Markets yang terbit tahun 2004. Dalam
buku tersebut, keduanya memberi kerangka analisis terhadap ekonomi-politik
Indonesia pasca-Orde Baru.
Kedua sarjana ini menyatakan bahwa, sekalipun Indonesia
lepas dari jerat otoritarianisme, ia tidak bisa lepas dari jerat oligarki yang
sudah ditenun dalam struktur politik Indonesia sejak lama. Oligarki yang hidup
dalam pemerintahan otoriter, dalam masa demokrasi menjelma menjadi oligarki
politik uang, di mana jaringan patronase dan pengalokasian kekuasaan dan
kekayaan publik mendapatkan ruang baru, yakni dalam partai politik dan parlemen
(hlm. 232).
Pijakan utama teori oligarki Robison dan Hadiz,
dibasiskan pada relasi ekonomi-politik yang mendasari menguatnya peran oligark
dalam menginvasi dunia politik dan menjadikannya sebagai wilayah produksi
kekuasaan—selain kekuasaan atas modal (hlm.179).
Sedangkan Jeffrey Winters, melalui bukunya yang berjudul Oligarchy (2011), mendudukkan secara
akurat apa yang sebenarnya dimaksud dengan oligarki dalam suatu proses politik.
Bagi Winters, oligarki perlu dipahami secara spesifik sebagai politik yang
dijalankan oleh kalangan kaya, yakni sang oligark, untuk mempertahankan
kekayaan mereka secara aktif melalui kekuasaan negara (hlm. 4).
Di sini terlihat, bahwa meskipun sama-sama mengkaji oligarki, tesis Robison dan Hadiz memiliki
perbedaan dengan tesis yang dikembangkan oleh Winters. Tesis oligarki Winters menitikberatkan pada individu atau
elite ekonomi super kaya dalam mempengaruhi kekuasaan politik untuk melindungi,
mempertahankan dan mengakumulasikan kekayaannya.
Sedangkan oligarki dalam pandangan Robison dan Hadiz, lebih dipahami
sebagai supremasi hubungan-hubungan sosial (kekuasaan) yang dilandasi
kepentingan akumulasi kekayaan privat, dan upaya mempertahankannya dalam
membentuk dan memengaruhi bagaimana institusi-institusi publik bekerja serta
bagaimana aktor-aktor bertindak. Dengan kata lain, oligarki dominan bukan
karena para konglomerat kapitalis berhasil menguasai seluruh sendi kehidupan
dengan uangnya, melainkan karena bentuk relasi sosial kapitalis (oligarkis)
adalah yang dominan (hlm.xv).
Perbedaan pokok amatan antara tesis oligarki Robison dan Hadiz dengan
Winters adalah sebagian bahasan yang termuat dalam buku Oligarki: Teori dan Kritik (2020) terbitan Marjin Kiri. Buku ini
adalah buku kajian terbaru tentang oligarki, yang berisi pembacaan situasi
politik Indonesia kontemporer. Buku ini melengkapi kajian trio pakar oligarki
seperti yang telah diulas di atas, maupun karya lain macam Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens
and the Digital Revolution (2017) tulisan Ross Tapsell, yang
melihat oligarki dalam persinggungannya dengan media massa.
Oligarki: Teori dan Kritik berisi kumpulan tulisan para intelektual Indonesia dari
berbagai perspektif teoritis berbeda mengenai oligarki. Buku ini selain
menghadirkan gambaran teoritis tentang perbedaan tesis oligarki antara Robison
dan Hadiz dengan tesis Winters, lebih jauh dari pada itu, buku ini juga memberi
dimensi kritik terhadap dua tesis dominan dalam kajian oligarki tersebut.
Kritik di sini, melampaui kritik yang dialamatkan para Indonesianis
terkemuka. Seperti termuat dalam buku Beyond Oligarchy: Wealth, Power, and Contemporary
Indonesian Politics (2014) suntingan Thomas B. Pepinsky, yang secara keliru menyamakan kedua tesis oligarki di
atas dalam satu dimensi, tanpa melihat pijakan ontologis yang mendasarinya.
Kritik yang dimaksud dalam buku ini adalah kritik yang secara telak memblejeti asumsi teoritis dua tesis
oligarki yang kini dominan di Indonesia, seperti yang ditulis oleh Robertus
Robert. Menurut Robert, sebagai teori yang berangkat dari basis ekonomi-politik Marxis,
tesis Robison dan Hadiz, tidak menyediakan suatu “model” keaktoran yang secara
konsisten dan koheren bisa dirujuk sebagai agen perubahan sosial di dalam
oligarki (hlm.177).
Padahal, teori Marxis, apapun rumpun kajiannya, selalu
menghadirkan aspek transformasi sosial dalam analisanya. Artinya, ada
kebolongan pada ranah emansipasi dari teori yang dikembangkan Robison dan Hadiz
tersebut. Problem ini juga terdapat
dalam tesis Winters yang dalam penjabarannya tidak menyediakan dimensi
perubahan sosial dari tesis yang dikembangkannya itu.
Selain kritik, tulisan yang ada di buku Oligarki:
Teori dan Kritik berhasil
menunjukan dimensi yang luput dikaji dari tesis oligarki model Robison dan
Hadiz, maupun Winters. Dimensi yang dimaksud adalah pengaruh aspek non-materiil dalam
oligarki seperti yang diulas oleh Geger Riyanto.
Menurut Geger, elaborasi Robison dan Hadiz perihal
oligarki, ujungnya memberi estimasi pesimistis bahwa proses-proses politik akan
sangat ditentukan oleh kepentingan sebagian kecil insan dalam meraih dan
mempertahankan sumber daya. Hal ini bagi Geger, mengerdilkan dimensi
non-materiil yang berpotensi menciptakan transformasi sosial, seperti termuat
dalam gagasan nasionalisme, populisme, dan korporatisme (hlm.193).
Buku ini relevan dibaca di tengah kenyataan kesenjangan
ekonomi di Indonesia yang dari tahun ke tahun makin melebar. Buku ini
setidaknya dapat memberi gambaran lain bahwa kesenjangan ekonomi Indonesia
bukan semata karena kemalasan orang-orang untuk bekerja atau karena
perekonomian dikuasai oleh orang kafir.
Melainkan karena memang ada struktur sosial yang membuat kesenjangan tersebut
terjadi. Struktur itulah yang dalam buku Oligarki: Teori dan Kritik, diulas panjang lebar oleh para intelektual terkemuka di
tanah air.
Walaupun bentuk buku ini adalah kumpulan tulisan, namun
berbagai uraian yang termuat di dalamnya terhubung secara satu kesatuan dalam
rangka melihat oligarki di Indonesia. Apa yang termuat di dalamnya dapat
menjadi pengantar bagi siapapun
untuk memahami dan menyingkap situasi ekonomi-politik Indonesia terkini,
sekaligus menyusun proyek emansipasi atas kondisi tersebut di masa kini dan
masa mendatang. Selain itu, berbagai pemikiran yang terdapat dalam buku ini
bisa menjadi alternatif dari dominannya pendekatan ekonomi-politik yang luput
membaca peran dan hubungan antara negara dengan para oligark.
Data buku
Judul Buku : Oligarki: Teori dan Kritik
Penulis : Abdil Mughis Mudhoffir dan Coen Husain
Pontoh (Editor)
Penerbit : Marjin Kiri
Jumlah Halaman : xxv+291 Halaman
Tahun Terbit : 2020
0 Response to "Oligarki, Emansipasi, dan Kesenjangan Ekonomi"
Post a Comment