Menjawab Kegundahan Juventino
Sepertinya saya harus mengangkat kembali tulisan lama (dengan beberapa perbaikan). Mengingat, banyaknya fans Juve yang gundah melihat Mario Mandzukic, pemain asal Kroasia yang digelari pejuang dan memiliki tempat tersendiri di hati ultras ini, baru saja merampungkan kepindahannya ke tim rival, Easy milan.
Pada dasarnya,
kepergian pemain bintang atau transfer antar pemain ke tim rival, bukanlah hal
baru. Sejarah mencatat, di musim 2001/2002, saat Lippi kembali diminta
menukangi Juventus setelah petulangan singkatnya di Inter Milan. Beliau
mengatakan kepada manajemen Juventus untuk merombak skuad yang ada.
Syahdan,
Zinedine Zidane, Filippo Inzaghi, dan Edwin Van Der Sar dilepas. Dan sebagai
gantinya, Pavel Nedved, Gianlugi Buffon, dan Lilian Thuram didatangkan.
Saat itu saya
marah. sangat marah! pemain sekaliber Zidane yang sukses mengantarkan negaranya
meraih piala dunia dan piala Eropa—yang bahkan tak bisa dicapai Platini—dan
membawa Juventus dua kali ke final UCL, meski kalah di partai final, kok
bisa-bisanya dilepas.
Jangan lupakan
juga nama besar Inzaghi. Striker yang dikenal haus gol dan sempat mendapat
julukan Super Pippo Super Juve ini, harus dilepas ke tim rival AC Milan.
Bersama Del Piero dan Zidane, kolaborasi tridente tersebut menjadi momok yang
menakutkan, baik di kancah sepakbola Eropa maupun di level Italia.
Jujur saja,
saat itu saya tak mengerti apa yang ada di kepala Moggi dan juga Lippi sampai
harus melepas pemain bertitel bintang!
Namun secara
perlahan, kemarahan saya mulai sirna saat Scudetto kembali hadir ke Turin, yang
pada dua musim sebelumnya berada dalam genggaman klub ibu kota.
Dari situ, saya
menyadari bahwa banyak faktor yang turut menentukan kesuksesan sebuah klub. Dan
dengan sedikit pengetahuan, saya akan mencoba mengupasnya satu persatu:
Pertama, saya
akan mulai dari ketajaman mata pelatih dalam melihat potensi seorang pemain.
Siapa yang tak kenal Lippi? Di saat banyak orang memuja Trappatoni, bagi saya
pelatih terhebat yang pernah dimilik juventus adalah Marcello Lippi.
Semenjak
menukangi Juventus, pelatih yang tak pernah lepas dari cerutu ini seperti
dipilih oleh surga. Tim yang diasuhnya selalu dibawanya ke jalur juara, baik di
level klub maupun di level timnas. Bahkan klub terakhir yang ia latih,
Guangzhou Evergrande, dibawanya menjadi juara liga championsnya Asia. Yang
menarik, Lippi cuma gagal saat melatih Inter Milan, hahaha.
Kembali ke soal
kejelian pelatih. Di dalam pertandingan, di samping taktik dan strategi,
penempatan posisi seorang pemain akan sangat menentukan bagaimana cara ia
bermain. Dan Lippi sungguh tepat ketika menempatkan seorang Pavel Nedved di
tengah lapangan. Dibekali stamina yang seolah tak pernah habis, rasanya tak ada
sejengkal rumput yang tak diinjak olehnya. Ditambah tendangan geledek dengan
akurasi mengagumkan, menjadi salah satu inti kekuatan Juve kala itu.
Saya tak akan
bilang bahwa Pavel bermain jelek saat di Lazio. Saya cuma bilang, dengan
kemampuan yang dimilikinya, rasanya akan sangat mubadzir ketika hanya bermain
di sisi lapangan dengan ruang gerak yang terbatas.
Dalam kasus
lain, berkat kejelian Conte dalam melihat bakat seorang pemain. Conte yang
melatih Juventus kala itu, sampai harus berjudi dengan berani mencadangkan
Marchisio yang dikenal sebagai pangeran Turin, demi tersedianya ruang untuk
Paul Pogba, bocah yang kala itu tak banyak orang tahu akan sosoknya.
Dan lihat?? Dia
memenangkannya! Melalui tangan dingin seorang Conte, Pogba yang didatangkan
secara gratis dari Manchester United, menjelma menjadi manusia dengan harga di
atas 100 juta euro.
Dari sini, coba
kita bandingkan dengan Ancelotti yang menyia-nyiakan bakat besar Thierry Henry
atau Zaccheroni yang gagal menangani Diego Ribas.
Henry yang oleh
Ancelotti diposisikan sebagai pemain sayap, dianggap gagal mengeluarkan
kemampuan terbaiknya. Arsene Wengerlah yang mengerti, bahwa Henry akan lebih
maksimal ketika di tempatkan sebagai goal getter.
Kedua, juru
transfer yang jeli dalam merekrut pemain yang dibutuhkan oleh tim. Kala itu,
Juve punya Luciano Moggi yang sangat ahli dalam merekrut pemain yang dibutuhkan
oleh tim.
Setiap kali
periode bursa transfer, Moggi selalu menjadi mata badai. Baik media dan klub-klub
rival selalu mengikuti apa yang disabdakan sang maha guru. Seolah sudah menjadi
jaminan, apa yang dibidik Moggi adalah pemain berkualitas.
Hal ini
dimanfaatkan betul oleh Moggi untuk mengecoh para rivalnya. Setiap kali jendela
transfer dibuka, dia sengaja berkoar di media akan mengincar pemain A, padahal
yang dia incar Pemain B.
Efeknya jelas,
klub-klub lain akan mendapatkan pemain yang salah dan berharga mahal karena
terlanjur diblow-up oleh media. Kehebatan ini hanya secuil dari
kehebatan dia yang lain. Rasanya memang tak ada yang sejenius Moggi dalam
urusan transfer. Soal Calciopoli? Ah itu omong kosong!
Bersama Lippi,
Moggilaj yang memberi ruang lebih untuk Alessandro Del Piero, bocah berusia 19
tahun dengan mengorbankan Roberto Baggio, sang pahlawan Italia di piala dunia
1994 meski gagal menendang penalti di partai final.
Moggi juga yang
menjual Zidane dan Inzaghi lalu mendatangkan pemain seperti Nedved, Buffon dan
Thuram. Dan seperti yang kita tahu, minus Inzaghi dan Thuram, ke empat pemain
tersebut menjadi legenda di Juventus.
Ketiga, modal
utama Juventus untuk menang adalah nyala api semangat yang terus berkobar
sepanjang 90 menit permainan, dan kita mengenalnya dengan Lo Spirito atau
Grinta Juventus.
Dalam balutan
seragam hitam-putih, grinta menjadi sesuatu yang penting yang harus dimiliki
setiap pemain. Mereka harus tahu apa artinya menjadi bagian dari Juventus. Maka
tak salah jika seorang legenda Juventus, Platini, sampai bilang: "Saat kau
mengenakan kostum hitam putih, kau bahkan harus siap mati di atas
lapangan".
Sepanjang
sejarah saya menjadi Juventino, tercatat dua kali Juventus mengalami masa
transisi, yakni saat musim 1998-2001 dan 2006-2011. Di rentang musim itu, saya
melihat seperti bukan Juventus yang bermain. Tak lagi ada nyala grinta yang
berkobar di atas lapangan. Untunglah Lippi dan Conte kembali membawa Juventus
ke jalur yang benar. Mereka sanggup menularkan kembali semangat untuk terus
lapar dan haus akan kemenangan.
Sedikit
catatan, saat Lippi kembali melatih Juventus di musim 2001-2002, dia meminta
kepada pihak manajemen untuk merombak skuad yang ada. Dan untuk itu harus ada
yang dikorbankan antara Zidane dan Inzaghi, untuk mendatangkan pemain yang dibutuhkan.
Zidane meski
dia seorang Juventino, dia sangat ingin merasakan trophy UCL untuk melengkapi
koleksi gelarnya, sesuatu yang tak pernah didapatkannya saat di Juventus. Dan kebetulan.
Real Madrid yang sedang bernafsu mengoleksi pemain bintang, tertarik
mendapatkan servis dari seorang Zinedine Zidane.
Sedangkan
Inzaghi, yang protes kenapa dirinya yang masuk daftar jual dan bukan Del Piero
yang sedang menurun performanya, terlanjur marah dan minta dirinya dijual ke
tim rival AC Milan. Alasan yang paling memungkinkan Inzaghi tak mau pindah ke
luar Italia, bisa jadi untuk membuktikan kapasitas dirinya, dan menunjukkan
bahwa pihak Juve telah salah membuangnya.
Namun, di
samping alasan untuk penyegaran skuad, mungkin Lippi melihat tak ada lagi nyala
grinta dalam diri seorang Zidane dan Inzaghi ketika hatinya tak lagi berada di
Juventus. Dan lihat, tanpa Zidane dan Inzaghi, scudetto berhasil direbut
kembali. Dan di musim berikutnya Juventus, oleh Lippi, diantarkannya menapaki
Final UCL meski harus kalah oleh A.C Milan.
Suatu hari, Sir
Alex Ferguson menyuruh para pemain Manchester United untuk menonton video
rekaman pertandingan Juventus. Lalu, kira-kira dia bilang seperti ini: “Saya
suruh kalian menonton bukan untuk menganalisa taktik dan teknik mereka. Kalian
sudah memiliki itu semua. Saya menyuruh kalian untuk melihat dan resapi
bagaimana perjuangan mereka, semangat mereka, dan kebanggaan mereka saat
mengenakan seragam klub selama 90 menit bertarung di atas lapangan.”
Dari sini,
sebenarnya banyak faktor yang menentukan kesuksesan sebuah klub. Dan kita tak
perlu takut jika suatu saat nanti CR7, Dybala, atau siapapun pergi, selama itu
demi kepentingan Juventus.
Perlu
digarisbawahi, bukan berarti saya setuju ketika pemain yang memiliki kontribusi
penting harus dijual. Saya cuma ingin bilang, kemenangan yang besar,
membutuhkan pengorbanan yang besar pula.
Pemain boleh
datang dan pergi, formasi bisa berganti, namun ada tiga hal yang tak boleh
berubah, yaitu grinta, kecintaan, dan kebanggaan yang harus dimilik setiap
pemain terhadap Juventus. Dan sejarah menunjukkan, Juventus besar bukan karena
pemain. Justru sebaliknya, para pemain merasa besar dan terhormat karena
bermain dalam seragam hitam putih.
Maka tak salah
ketika Juventus dipaksa turun ke Serie B, dengan kebesaran jiwanya, Del Piero
bilang: “Juventus meminangku saat muda, dan sekarang giliran saya untuk
mengembalikan Juventus ke tempat semestinya.” Atau yang paling baru, ucapan
dari Paul Pogba: “Saya hanya manusia nol euro. Di saat tak ada klub yang
melirikku, Sang Nyonya mengulurkan tangannya dan memberikan saya kepercayaan
diri.”
***
Jatuh cinta kepada Juventus sejak '95.
Posting Komentar