Konsep Negara Kesejahteraan dan Bantuan Sosial di Masa Pandemik
Penulis: Atiqurrahman
Secara garis besar,
negara Indonesia memang memiliki komitmen yang sangat kuat dalam mewujudkan
kesejahteraan warganya. Ini terlihat jelas dari ideologinya yang menjadi dasar
pemikiran negara Indonesia, yakni pancasila dan UUD 1945.
Di mana keduanya terdapat
suatu keberpihakan terhadap kaum yang lemah dan tidak mampu, dan menentang segala
bentuk ketidakadilan. Dalam UUD 1945 misalnya, disebutkan bahwa tujuan penting dalam
bernegara, tiada lain untuk melindungi segenap bangsa, mensejahterakan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut andil dalam menertibkan dunia.
Selain itu, negara
juga secara eksplisit menyatakan bahwa, keberadaan fakir miskin dan anak
terlantar akan dipeliharanya, seperti yang termaktuf dalam pasal 34 ayat 1. Hal
ini mengindikasikan negara akan
memberikan jaminan dan memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain,
negara hadir sebagai pelindung utama bagi warganya yang notabene kurang beruntung
itu, dengan segala perangkat kekuasaan yang melekat dalam dirinya.
Oleh karenanya,
negara Indonesia bisa disebut sebagai “negara kesejahteraan” (walfare state). Di mana negara memiliki
tanggung jawab dalam menjamin kesejahteraan warganya, dengan memenuhi hak-hak
dasarnya, dan peduli terhadap persoalaan-persoalaan yang menimpa warganya.
Negara Indonesia sebagai
“negara kesejahteraan” tentunya mempunyai aturan hukum sebagai batu pijakan,
atau pedoman mengenai konsepsi kesejahteraan
warganya. Ini dipertegas dengan lahirnya
UU No 11 tentang Kesejahteraan Sosial
tahun 2009.
Di mana UU ini berisi
soal bagaimana masyarakat bisa hidup layak, dengan terpenuhinya segala
kebutuhan sosialnya, serta tentang upaya-upaya penyelenggaraan kesejahteraan
sosial yang dilakukan oleh negara maupun pihak-pihak lainnya.
Setidaknya, ada
empat orientasi dalam upaya penyelenggeraan kesejahteraan sosial menurut UU
Kesos ini. Pertama, rehabilitasi
sosial. Yaitu memulihkan dan mengembangkan kemampaun seseorang yang mengalami
disfungsi sosial, agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan wajar.
Kedua, jaminan sosial. Yakni memberikan jaminan
bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Seperti anak yatim, fakir
miskin, lanjut usia terlantar, disabilitas mental dan fisik, dan lain-lainnya
agar kebutuhan dasar hidupnya terpenuhi.
Ketiga, pemberdayaan sosial. Yaitu memberdayakan seseorang, keluarga, kelompok, dan masyarakat
yang mengalami masalah kesejahteraan sosial, agar mampu memenuhi kebutuhannya
secara mandiri.
Keempat, perlindungan sosial. Ialah mencegah dan
menangani resiko dari goncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga,
kelompok dan masyarakat, agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai
dengan kebutuhan dasarnya..
Dengan demikian,
wajar bila negara menggelontorkan puluhan hingga ratusan trilyun setiap
tahunnya, guna mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial warganya melalui
berbagai jenis program. Baik yang sudah dilakukan, atau yang masih dalam tahap
perencanaan.
Tahun 2021
misalnya, negara sedang mengganggarkan 92,82 trilyun melalui Kementrian Sosial,
sebagai upaya memperkuat perlindungan sosial untuk warganya dalam menghadapi pandemik
ini. Di mana berbagai macam bantuan sosial yang sebelumnya sudah dijalankan akan
terus dilanjutkan. Sebab, pandemik ini telah berdampak pada pendapatan ekonomi
seseorang yang kehilangan mata pencahariannya.
Benang
Kusut Bantuan Sosial
Sepanjang tahun
2020, setidaknya ada beberapa kebijakan program bantuan sosial yang sudah dilaksanakan
oleh negara. Sebagian besar—jika tidak bisa disebut seluruhnya—memiliki jumlah anggaran
yang cukup fantastis. Yakni kurang-lebih
sekitar 120an trilyun rupiah.
Dan negara
mengeluarkan berbagai program bantuan sosial ini, tentu tidak hanya sebatas
bagaimana kebutuhan dasar warganya terpenuhi selama masa pademik berlangsung,
atau hanya soal bagaimana roda perekonomian bisa tumbuh kembali.
Melainkan, dan
jauh lebih penting dari itu, negara sedang menjalankan mandatnya. Yaitu untuk melindungi
dan melayani seluruh warganya sesuai dengan amanah konstitusi yang ada. Dengan
adanya bantuan sosial ini, tiada lain merupakan bentuk praksis dari konsepsi negara
kesejahteraan Indonesia.
Adapun jenis-jenis
program bantuan sosial di antaranya adalah, Bantuan Sosial Tunai (BST), Program
keluarga Haarapan (PKH), Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD), Listrik
Gratis, Kartu Prakerja, Bantuan Sembako (BPNT), Bantuan Usaha Mikro, Kecil dan
Menegah (UMKM), dan Subsidi Gaji Karyawan.
Dalam laporan Menteri
Keuangan, berbagai jenis bantuan sosial tersebut sudah terserap 82%. Dengan kata
lain, hampir seluruh masyarakat di Indonesia sudah menerima dan menikmatinya. Misalnya,
bantuan sembako sudah tersalurkan sebesar 33,98 trilyun dengan 19,14 penerima,
PKH tersalurkan 36,71 trilyun dengan 10 juta penerima, kartu prakerja sudah
terealisasikan sebesar 19,89 trilyun kepada 5,59 juta peserta, bantuan UMKM
tersalurkan 84 trlitun dengan 1,2 juta penerima dan BLT DD tersalurkan 13,70
trilyun kepada 7,55 juta penerima.[1]
Namun, kebijakan berbagai
program bantuan sosial ini, kadang kala tidaklah berjalan sebagaimana mestinya.
Melainkan terdapat benang kusut yang muncul secara berserakan. Akibatnya,
muncul gesekan atau perseteruan antar masyarakat yang tidak bisa terhindarkan
lagi
Penyebabnya
setidaknya ada tiga hal; pertama, soal teknis. Yaitu ketidaktepatan pemerintah pusat hingga desa dalam
menyalurkan program bantuan sosialnya. Hal ini bisa berupa data yang belum
diperbarui dan belum terintegrasi dengan baik, minimnya sosialisasi kepada
publik, dan lain sebagainya.
Kedua,
soal sistemik. Yaitu di mana dalam penyaluran program bantuan sosial ini tidak transparan dan akuntabel. Sehingga, masyarakat
tidak mengetahui dan memahami bagaimana mekanisme bantuan sosial tersebut disalurkan.
Contohnya praktek suap yang dilakukan Mentri Juliari Batubara dalam proses penunjukkan
vendor (lembaga penyedia bahan baku atau jasa), yang sarat dengan kolusi dan
nepotis. Sehingga ia mendapatkan keuntungan 17 milyar, dan berakhir dalam
jeruji besi KPK.
Ketiga, sebagian pejabat kita masih bermental korup.
Jabatan publik hanya dijadikan kesempatan untuk memperkaya diri. Sehingga fenomena
korupsi terus saja terjadi, dan pelakunya pun beragam. Mulai dari tingkat menteri
hingga kepala desa. Tak ayal kemudian, kita seringkali menyaksikan para pejebat
memakai rompi oranye dengan tangan terborgol, sambil tersenyum basi memasuki
kantor antirasuah.
[1] Berita
Online, Veni Suryanto, Penyerapan
Anggaran Program Perlindungan Sosial Sudah Mencapai 82%, di Kontan.co.id.
0 Response to "Konsep Negara Kesejahteraan dan Bantuan Sosial di Masa Pandemik"
Post a Comment