Apa Itu Sebenarnya Islam? Apakah Islam Itu hanya Sebatas KTP?
Penulis: Fachruddin Tanjung
Ketika kita dilahirkan di dunia ini, mungkin kita sudah terlahir
dalam keadaan Islam. Tetapi, pernahkah kita mencoba memahami makna Islam yang
sebanarnya? Nah, inilah yang harus kita ulas, dan harus kita cari pengertianya. Maka dari itu, saya akan
mencoba menjabarkannya.
Saya di sini akan mengangkat sebuah cerita, yang mana ketika saya berjalan
ke Indomaret yang ada di Medan, Sumatera Utara. Ada
sekelompok orang yang sedang berdebat tentang Islam yang sebenarnya. Ada
seoarang bapak Nasrani yang mengatakan bahwasanya, orang Islam sekarang ini,
yang masuk Islam, memiliki niat tertentu. Yang mana Islam dijadikan sebagai alat
untuk bisa mencari pekerjaan dan sebagainya.
Tambahnya, ia pernah bertemu orang yang
mengaku Islam, tetapi tidak pernah dilihatnya orang tersebut masuk ke masjid
untuk melaksanakan sholat. Maka, apakah itu bisa dikatakan Islam? Lebih baik
seperti saya ini, saya orang Nasrani, tetapi saya tahu apa hakikat saya diciptakan
di dunia ini. Saya tidak mempermainkan agama saya, dan tidak pula saya jadikan sebuah
alat untuk hal tertentu. Banyak orang yang katanya Islam, di KTP-nya Islam, tapi
ia tidak taat sama agamanya, maka apa itu sebenarnya Islam?
Tulisan saya ini akan mengulas
itu semua, minimal untuk membuka pola pikir kita tentang Islam, dan mengulik jawaban dari pertanyaan tadi, yaitu apa pengertian
Islam?
Islam secara
Pengertian
Al-Islam secara etimologis berarti الا نقياد (tunduk) , maka kata “Islam” berasal dari kata
Salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk Aslama, yang
artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Dari
kata Aslama itulah, terbentuk kata
Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan
diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya . Di dalam Al-Qur’an, kata
bermakna Islam yang terambil dari akar kata s-l-m disebut sebanyak 73 kali,
baik dalam bentuk fi’il (kata kerja), mashdar (kata dasar/asal), maupun isim
fa’il (kata sifat/pelaku).
Adapun secara terminologis (istilah, maknawi), dapat
dikatakan Islam adalah agama wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan. Yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai
utusan-Nya yang terakhir, dan berlaku bagi seluruh manusia, di mana pun dan kapan pun, dan ajarannya
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Dengan kata lain, Islam sendiri bisa dianggap wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya, untuk
disampaikan kepada segenap umat manusia sepanjang masa dan setiap persada.
Suatu sistem keyakinan dan tata ketentuan yang mengatur segala peri kehidupan dan penghidupan asasi
manusia dalam pelbagai hubungan: mulai dengan Tuhan, sesama manusia, dan
alam atau
lingkungan, serta hal-hal lainnya.
Dalam menganut Islam sendiri, tentunya kita bertujuan untuk mengharap keridhaan Allah, rahmat bagi
segenap alam, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Pada garis besarnya, Islam sendiri terdiri atas akidah, syariat dan
akhlak. Sumber pengetahuan berasal dari kitab suci Al-Quran, yang merupakan
kodifikasi wahyu Allah SWT sebagai penyempurna wahyu-wahyu sebelumnya yang
ditafsirkan oleh Sunah Rasulullah Saw.
Terminologi Islam secara bahasa (secara lafaz), memiliki
beberapa makna. Makna-makna tersebut ada kaitannya dengan sumber kata dari
"Islam" itu sendiri. Islam terdiri dari huruf dasar (dalam bahasa Arab):
"Sin", "Lam", dan "Mim". Beberapa kata dalam
bahasa Arab yang memiliki huruf dasar yang sama dengan "Islam", memiliki
kaitan makna dengan Islam.
Dari situlah kita bisa mengetahui makna Islam secara bahasa. Jadi,
makna-makna Islam secara bahasa antara lain: Al-istislam
(berserah diri), As-salamah (suci bersih), As-Salam (selamat dan sejahtera), As-Silmu (perdamaian),
dan Sullam (tangga, bertahap, atau taddaruj).
Dengan hal tersebut dapat kita maknai bahwasanya, Islam ialah
agama yang diturunkan oleh Allah SWT, kepada nabi Muhammad SAW yang yang
bersifat tauhid dan kebenaran. Yang mana kita diperintahkan untuk tunduk dan melaksanakan segala
apa yang diperintahkanNya dan apa yang dilarangNya.
Ketika kita sudah bisa memaknai apa yang dimaksud dengan secara
jelas bahwasanya umat Muslim harus menganut ajaran Islam secara totalitas (Qs.
al-Baqarah/2: 208), tidak boleh menduakannya dengan menganut kepercayaan di
luar Islam (Qs. Ali Imrân/3: 85) dan tidak boleh ada keraguan terhadap al-Qur’an
(Qs. al-Baqarah/2: 2).
Wajah Islam
yang Sebenarnya
Bukti kepercayaan umat Muslim terhadap ajarannya, adalah selalu
berlaku sopan-santun, penuh kedamaian, lemah-lembut dan tidak saling menganiaya
(Qs. Yûsuf/12: 23), baik antar-agama, antar-manusia,
kelompok, etnis dan suku dan tidak menggunakan kekerasan dan menjustifikasi
watak kekerasannya dengan dalil-dalil al-Qur’an.
Seperti yang diungkapkan Muhammad Abduh—guru Muhammad Rasyid Ridha—ketika menjelaskan kata
amâniyya dalam Qs. al-Baqarah/2: 786 dengan menggunakan makna
“pengelamunan-pengelamunan.” Pengelamunan adalah proses pembacaan atas kitab
suci yang tidak dipangku dengan hidayah, tidak mampu mengerti makna dari
bacaannya, segala sesuatu yang dinyatakannya bukan sesuai kehendak-Nya
melainkan kehendak nafsunya.
Misalnya, rekaman sejarah terkait terbunuhnya khalifah Ali bin Abi
Thalib oleh Abdurrahman bin Muljam. Pembunuhan itu terjadi setelah terjadi
dialog panjang antara pihak Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Khawarij.
Dengan hal itu dapat kita lihat saat ini kondisi umat Muslim saat
ini (secara keseluruhan), belum mampu— untuk tidak mengatakan tidak mampu—membawa agamanya
dengan baik dan benar. Ketidakmampuan itu menjadi salah satu penghalang
hadirnya Islam dengan penuh kesejukan dan kedamaian. Benar adanya, apa yang
dikatakan oleh Muhammad Abduh bahwa ketinggian “ajaran Islam tertutup oleh
perilaku umat Muslim” sendiri (Al-Islâm mahjûbun bil-Muslimîn).
Bahkan, Muhammad Iqbal menyatakan bahwa kemunduran kaum Muslimin bukanlah
disebabkan ajaran agamanya, tetapi kesalahan terletak pada diri masing-masing
pribadinya. Mereka keliru dalam memahami ajaran agama lantaran kejumudannya.
Kadang kala, apa yang
diamalkan bertolak belakang dengan sumber aslinya. Pemahaman yang keliru akan
melahirkan tindakan yang keliru pula.
Ironisnya, kebanyakan dari umat Islam sekarang, cenderung lebih mempertahankan pemikirannya dengan cara apa pun, tanpa melihat dari sisi yang lain. Ini menjadi sebuah kejumudan dalam beragama dan sedang dialami umat Muslim.
Dari sinilah awal mulanya tindakan kekerasan atas nama agama lahir. Kejumudan
dapat diobati oleh pendayagunaan akal secara maksimal. Mengolah pemikiran—hasil
olahan dan cernaan akal yang aktif—agar menjadi baik dan benar, salah satunya melalui
pendidikan.
Pendidikan yang ditempuh seseorang, baik formal, non-formal dan
informal, adalah kesatuan yang terpadu, untuk membentuk pribadi Muslim yang
mampu mengkontekstualisasikan ilmu pengetahuan yang didapatnya ke sebuah
lingkungan masyarakat. Al-Qur’an mempersilakan umat Muslim untuk mengembangkan
ilmu dan mendayagunakan akal dengan semampunya.
Namun harus disadari, umat Muslim dikenal sebagai ummatan
wasathan (umat pertengahan)—meminjam gagasan M. Quraish Shihab—umat yang tidak
larut dalam spritualisme tetapi juga tidak hanyut dalam alam materialisme.
Oleh karena itu yang harus
kita ketahui juga bahwasanya, keberagaman yang
kokoh adalah fitrah manusia (Qs. al-Rûm/30: 30). Pola beragama yang sejuk
menjadi fitrah manusia dan—meminjam gagasan Karen Armstrong—agama yang penuh
kasih sayang. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa umat Muslim mundur? Amir Sakib
Arsilan telah menulis kitab Limadza Taakhkhara al-Muslimûn wa Limâdza Taqaddama
Ghairuhum untuk menjawab problem-problem terkait kemunduran Islam dan
penghalangnya. Kemunduran umat Muslim, di samping faktor kejumudan berpikir,
juga dikarenakan kurang dewasa dalam beragama.
Tidak luput hanya itu saja, kita umat Islam yang
benar-benar harus paham, di dalam keberagaaman muslim, kita harus belajar dewasa dalam
beragama. Hal itulah
yang akan melahirkan perdamaian dan kerukunan lintas kelompok, agama,
etnis suku dan ras adalah dambaan Islam.
Cita-cita itu tidaklah utopis, kedatangan Islam pun untuk mewarnai
kehidupan di bumi, tidak seperti asumsi iblis tatkala Allah Swt ingin
menciptakan manusia (Qs. al-Baqarah/2: 30). Akan tetapi, tersisa
beberapa pertanyaan besar, apakah agama Islam masih relevan di abad teknologi
dan sains? Gagasan Islam Rahmatan lil Alamin yang diusung oleh KH. Hasyim
Muzadi, menjawab tantangan zaman dengan canggih dan brilian.
Karena pada hakikatnya ketika kita sudah mampu hal tersebut, maka
islam yang sebanarnya akan terpancar di wajah kita, dan hati yang ada di dalam diri kita
akan selalu disinari oleh NurNya Allah. Maka, kesimpulannya mari kita sama-sama kita ciptakan islam yang sebenarnya,
yang diajarkan oleh Rasul Muhammmad SAW untuk kita, karena hal tersebutlah yang
akan membawa diri kita akan indahnya agama Islam tersebut.
Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Islam UIN Sunan Kalijaga. Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Pondok Syahadat (RPS).
Posting Komentar