Mahasiswa Mengab(a)di
Penulis: Amidia Amanza
Suasana kampus cukup sepi kala Biyan baru
saja memasuki pekarangan yang tampak sangat tidak asing baginya. Maklum, selama
hampir tujuh tahun ia telah mondar-mandir sebagai mahasiswa sastra dan menjadi
salah satu di antara sekian banyak sesepuh kampus. Sebenarnya, Biyan tak lagi
mempunyai mata kuliah yang harus diambil, hanya saja ia terlalu asyik dengan kegiatan
sehari-harin yang menyebabkan skripsinya harus terlantar.
“Kamu harus bisa selesaikan bab
selanjutnya dalam waktu satu bulan” ujar dosen pembimbing kepada Biyan. “itu
jika kamu mau segera hengkang dari kampus ini dengan cara yang baik” sambung
dosen tersebut. “Saya usahakan, pak” jawab Biyan singkat. “memang harus kamu
usahakan, jika tidak mau dibinasakan” sang dosen berlalu dengan senyum tanpa
arti di wajahnya.
Ada banyak faktor mengapa seorang
mahasiswa dapat terlambat menyelesaikan studinya. Namun, pada masa sekarang hal
itu bukanlah menjadi sebuah aib jika selesai tidak tepat waktu, terkadang selesai
di waktu yang tepat juga merupakan sebuah prestasi tersendiri. Begitu pun
dengan Biyan, ia termasuk mahasiswa yang cukup aktif di luar kelas dan hal
tersebut tidak menjadi masalah jika bisa disesuaikan. Kenyataan memang tak
semudah yang diucapkan, yang menjalani tidak sama dengan yang hanya melihat.
“Kopi satu, buk” pinta Biyan pada pemilik
warung. “tunggu sebentar ya nak, Biyan” jawab buk Neni. “Baik, buk” ujar Biyan
lalu mencari tempat duduk. Buk Neni merupakan seorang pemilik warung yang
merangkap menjadi ibu bagi mahasiswa yang sering ke warungnya. Kadang ia tak
segan untuk membolehkan mahasiswa membayar ketika telah mendapatkan kiriman
dari orang tua.
“Tumben nak, Biyan datang ke kampus pagi sekali” buk Neni menggoda Biyan sambil memberikan kopinya. “Eh, itu buk, biasa” jawab Biyan cengengesan. “Semangat” buk Neni mengepal kedua tangannya menyemangati. “Terima kasih, buk” Biyan berkata lalu tersenyum bimbang.
***
Terdapat tiga orang makhluk astral di
Fakultas Sastra, salah satu dari mereka adalah Biyan Ankara. Ketiga orang
tersebut merupakan penghuni terakhir dari tahun angkatan mereka. Sepertinya
siapa yang bertahan paling lama maka ia yang menang adalah filosofi hidup yang
mereka jalani. “Sekre yuk” ajak Agra kepada dua dedengkot lainnya. “Bentar
lagi, ah” jawab Geri yang sedang memetik gitar tua yang dibalut lakban.
“Biyan?” tanya Agra memastikan. “Duluan aja, nanti nyusul, lagian di sana
banyak maba” jawab Biyan cuek. “Memang liat mereka tujuannya” jawab Agra yang
dibarengi dengan menata rambutnya. Kedua manusia yang dicap tidak berguna
lainnya saling bertukar pandang lalu menggelengkan kepala.
‘’Kamu tahu kan tahun ini kesempatan
terakhir kita, Yan??” tanya Geri membuka pembicaraan. “Iya, terus?” sahut Biyan
singkat.
“Kamu menyesal gak selesai kuliah dengan
waktu selama ini?” Geri kini berbicara dengan suara lirih. “Hufft.., tumben
nanya begituan, Ger?. Kalau aku gak ada penyesalan sih, kita kan bergerak
dengan waktu kita sendiri, jadi jangan hukum diri kita dengan mengatakan kalau
kita terlambat” sambung Biyan.
“Iya, sih” balas Geri kembali menegakkan
kepalanya yang tertunduk. “Udah, kita kan masih punya kesempatan, untuk
sekarang gimana kalau kita pergi ngopi?” ajak Biyan. “ Ayok, gas” Geri menyahut
ajakan kawan seperjuangannya itu.
Biyan dan Geri sudah dari dua tahun yang
lalu menyiapkan kuliahnya di dalam kelas. Hanya saja mereka memiliki
kesibukannya masing-masing di luar kegiatan yang berhubungan dengan kuliahnya.
Biyan harus bekerja paruh waktu untuk membiayai kuliahnya, karena ayahnya tidak
lagi bersedia membiayai karena keterlambatannya. Geri mempunyai toko milik
orang tuanya yang harus dijaga sembari ia kuliah. Dan Agra yang murni karena
kecerobohannya sehingga mempunyai banyak mata kuliah yang harus dia ulang, yang
menjadi penyebab terbesar keterlambatannya menyelesaikan studi.
“Kapan kamu bakal wisuda sih, Yan?” Ratih
menanyakan suatu hal yang sangat sakral pada Biyan. “Sebentar lagi, do’ain aja”
jawab Biyan sambil memainkan rokoknya.
“Jangan sampai aku jadi dosen kamu dan
harus kamu panggil ibu dosen” ledek Ratih pada kawan seangkatannya itu. “Kalau
memang harus gitu, lalu apa salahnya?’’ tanya manusia bernama Biyan itu dengan
polosnya. “Issh..anak ini!” ujar Ratih kesal.
“Kamu tahu gak apa bedanya kamu sama aku?’’
tanya Biyan pada Ratih. “Dalam hal apa dulu?” Ratih penasaran. “Selama kamu
kuliah, apa aja yang kamu dapatkan?” Biyan melanjutkan pertanyaannya. “Banyak,
sih. Aku sampai lupa” jawab Ratih lalu tertawa. “Aku bangga dengan tamat lama”
celetuk Biyan. “Kenapa?” tanya Ratih singkat. “Aku masih bisa sekadar menjadi
calon sarjana dan calon pengangguran” jawab Biyan. Dan jawaban itu membuat
Ratih harus mengiyakan tanpa suara.
Kuliah adalah suatu proses untuk
berkembang dan mempelajari banyak hal. Fakta bahwa banyaknya pengangguran yang
berasal dari lulusan perguruan tinggi telah menjadi momok yang menakutkan.
Sehingga tidak sedikit yang memilih untuk kuliah dengan waktu yang relatif
cepat dibandingkan dengan harus bersantai-santai, dan ada juga yang mengambil
pilihan sebaliknya, lalu akhirnya harus memakan waktu yang lama untuk menyelesaikan
kuliahnya.
***
Hari ini seperti biasa Biyan datang ke
kampus untuk menemui dosen pembimbingnya. Biyan harus rajin untuk menemui dosen
agar ia dapat segera menuntaskan skripsinya. Para dosen banyak yang antusias
menerima mahasiswanya tetapi juga ada yang terkesan mempersulit mahasiswa untuk
konsultasi dengannya. Namun, itu semua pasti memiliki alasan tertentu untuk
dilakukan.
“Baik, ini sudah bisa untuk disidangkan”
ujar dosen tersebut lalu tersenyum kepada Biyan. “Terima kasih banyak, pak”
jawab Biyan singkat.
“Untung saja kamu tidak seperti kawanmu
yang satu lagi, ia terancam dikeluarkan dari kampus” beritahu dosen itu kepada
Biyan. “Kawan saya, pak?” Tanya Biyan memastikan. “Iya, kawan kamu yang
bimbingan dengan pak Santoso” terang dosen itu pada Biyan. Mendengar penuturan
dosen tersebut membuat Biyan tak bersuara lalu meminta izin untuk pergi.
Selama ini Agra tak pernah menyinggung
permasalahan kuliahnya pada Biyan dan Geri. Sontak saja informasi yang baru
didengar oleh Biyan dari dosen pembimbingnya membuat ia terkejut akan hal itu.
Biyan mencari Agra di tempat-tempat yang biasa ia kunjungi bersama untuk
menanyakan langsung kebenaran informasi tersebut pada yang bersangkutan.
“Kalian lihat Agra, gak?” Tanya Biyan pada
sekelompok mahasiswa baru yang sedang berkumpul. “Gak ada bang” jawab salah
satu dari mahasiswa tersebut. “Ooh oke, nanti kalau dia ke sini bilang dicari
sama Biyan”, Biyan meninggalkan pesan kepada para juniornya itu. “Baik, bang”
jawab para mahasiswa baru serentak bak paduan suara.
Biyan menghubungi Agra melalui gawainya
namun tak memberi hasil yang ia harapkan. Ia lalu memutuskan untuk pergi ke kos
Agra sambil berharap dapat menemui ia di sana. Tanpa pikir panjang Biyan memacu
sepeda motornya menuju kos Agra.
Seperti yang diharapkan oleh Biyan,
akhirnya ia menemukan kawan yang dicarinya itu. “Tadi pak Adam memberitahu aku
kalau kamu terancam dikeluarkan”, terang Biyan menjelaskan maksud
kedatangannya. “ Oh itu, kamu udah dengar?” jawab Agra dengan santai. “Agra!”
bentak Biyan. “Ini menyangkut masa depan kamu, gak bisa dianggap enteng kayak
gini”, sambung Biyan meninggikan nada bicaranya. “Tenang aja, aku bakal terima
apa pun keputusannya nanti” ujar Agra. “ Lagian walaupun aku harus jadi alumni
jalur DO, setidaknya aku pernah menjadi mahasiswa di kampus ini” lanjut Agra
menerangkan. “Tapi kan kamu..” bantah Biyan pada Agra. Belum usai Biyan
berbicara Agra langsung memotong apa yang akan dibicarakan kawannya itu. “Udah
santai aja, kan keputusan belum keluar, aku masih punya sedikit harapan” sahut
Agra lalu tersenyum. Biyan hanya bisa menghela nafas panjang sembari melihat
sahabatnya itu.
“Eh iya, Biyan” celetuk Agra membuyarkan
lamunan Biyan. “Hemm iya” Biyan tersadar dari lamunan panjangnya. “ Kamu tahu
gak?” tanya Agra. “Apa?” Biyan balik bertanya. “Kita seharusnya bukan mahasiswa
abadi seperti kata orang” jawab Agra. “ Lalu?” tanya Agra penasaran. “Kita
adalah mahasiswa yang mengabdi lebih lama pada kampus” terang Agra yang diikuti
oleh gelak tawa kedua manusia itu. “Jadi anggap saja kita sedang mengabdi bukan
mengabadikan diri” sambung Agra. Biyan hanya tersenyum mendengar apa yang
dikatakan oleh Agra.
***
Biodata Penulis
Posting Komentar