Antara Kematian dan Hidup yang Abadi
Wawancara adalah
proses di mana dua individu atau lebih berinteraksi membincang suatu topik dan
fokus pada tujuan yang sama. Kebanyakan wawancara memang terkesan membosankan
dan tidak begitu menarik untuk diikuti. Stigma tersebut tampaknya tidak hanya
berlaku bagi sebagian orang yang tidak punya tujuan sama sekali, atau hanya sekadar
menjadi pembaca hasil dari sebuah wawancara. Bahkan, tidak jarang orang yang
punya kepentingan terhadap sebuah wawancara—misalnya saja orang yang sedang mencari
data—akan mengalami apa yang sudah saya singgung barusan.
Namun, apa
jadinya bila sebuah wawancara mampu menarik perhatian banyak orang? Tentu ada
sesuatu di baliknya bukan? Hal itulah yang sekiranya menjadi tujuan besar dan
ide pokok sebuah buku yang isinya penuh dengan hasil wawancara. Selain memang
untuk menampik stigma di atas, buku semacam ini tentu saja bertujuan dan
berfungsi untuk memecah misteri yang selama ini masih menyimpan banyak rahasia
di dalamnya.
Buku yang saya
maksud berjudul Taruhan Mewujudkan Tulisan: Proses Kreatif Sebelas Penulis
Perempuan Terkemuka Dunia. Buku ini menjadi buku wawancara pertama yang
saya baca dan berhasil saya selesaikan. Sebenarnya dari judul buku ini saja,
sudah kelihatan ke mana arah tulisan saya ini. Tentunya saya juga tidak akan
bicara panjang lebar mengenai isi di dalamnya, dan akan lebih fokus kepada efek
setelah saya membaca buku ini.
Jujur, saya
tidak bisa untuk tidak memuji buku ini. Terlebih karena buku ini seperti
menyajikan bahan setengah matang yang bisa saya olah nantinya. Apalagi kalau
kita berkaca pada kecenderungan manusia sekarang, yang lebih senang menghadapi
hidangan yang telah masak, ditambah dengan embel-embel cepat sajinya. Oleh sebab
itu pula, buku ini menjadi semacam pengingat bahwa proses (menulis) yang
menyakitkan itu akan berbuah hasil yang sepadan. Walaupun tidak pasti selalu demikian,
tetapi yang jelas hal itu tidak bisa untuk kita pungkiri, bukan?
Layaknya sebuah
kehidupan, menulis adalah laku keseharian yang tidak semua orang mampu memahami
makna di baliknya. Jika ditanya, apakah saya pernah membayangkan untuk bisa
menulis dan mampu menuliskan sesuatu tentang apa yang saya alami atau yang saya
lihat, maka saya akan menjawab tidak pernah sama sekali. Meskipun pada dasarnya
saya tidak layak dan tidak pantas sama sekali disebut sebagai seorang penulis,
setidaknya saya merasa senang dan tidak menyesal sama sekali telah mengenal
dunia tulis-menulis.
Sekalipun saya
belum maksimal dalam menulis, dan jauh dari kata maksimal, saya tentu saja menikmatinya.
Saya pun mengakui bahwa menulis punya pengaruh besar tehadap hidup saya sampai
sekarang ini. Dari menulis pula saya belajar banyak hal dan bisa banyak kenal
orang. Saya juga tidak ingin mengatakan bahwa saya orang yang lebih beruntung
karena bisa menulis. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa menulis itu bisa
menjadi sesuatu yang menyenangkan, dan mampu menyegarkan serta mengunci ingatan
yang sempat redup.
Bagi orang
seperti saya, yang hanya sedikit memahami kaidah-kaidah yang ada di dalam dunia
tulis-menulis, tentu akan terkesan congkak dan tidak tahu diri ketika berbicara
lebih lanjut persoalan menulis. Akan tetapi, sebagai seseorang yang terus
mencari jawaban dari hidup yang sedang dijalaninya, rasanya menjadi sah-sah
saja kalau saya turut memberikan pendapat terhadap dunia yang sudah menjadi
bagian dari diri saya sekarang. Bukankah setiap jawaban memang ditujukan untuk
pertanyaan, yang
Sama halnya
dengan masa depan yang penuh teka-teki, kita tidak akan pernah tahu nasib dari
tulisan yang pernah kita buat. Banyak contohnya, misalnya saja Pramoedya Ananta
Toer, yang sebagian besar karyanya diberangus dan tak jelas nasibnya. Yang ketika
ditanya pendapatnya tentang hal tersebut, Pram hanya menjawab bahwa itu adalah
bagian dari kehidupan. Ia menganggap karyanya yang hilang tersebut seperti
anaknya sendiri yang berumur pendek.
Bukankah seorang
Pram seharusnya sedih atas nasib yang menimpa karya-karyanya? Tentu saja memang
Pram mengalami kesedihan tersebut, tetapi bedanya ia tidak berlarut-larut
meratapi hal tersebut. Kemungkinan besar itu juga bagian dari dirinya sebagai seorang
penulis kelas dunia yang tidak diragukan lagi kualitasnya. Ataukah Pram sendiri
punya cara dan siasat tertentu untuk menghadapi hal yang demikian? Saya juga kurang
tahu, dan belum mencari tahu sama sekali.
Terkait buku
yang saya maksud, dari sebelas penulis yang diwawancarai di sini, hampir
semuanya tidak pernah membayangkan menjadi seorang penulis, apalagai penulis
terkemuka. Kebanyakan dari mereka menjalani dunia menulis dengan apa adanya. Tidak
pernah berharap sesuatu yang muluk-muluk dan punya kepentingan lebih terhadap
dunia menulis. Kedengarannya memang tidak ideologis sama sekali, dan bagi saya
dalam hal (menulis) ini kita tidak selalu membutuhkan yang namanya ideologis
tersebut.
Ibarat seorang
petani yang setiap hari berangkat ke sawah, setiap waktu yang terbesit dalam
pikirannya adalah nasib dari sawah dan hasil padinya nanti. Bukan nasib siapa
yang akan memakan nasi dari sawah yang ia garap, dan dengan cara apa berasnya
didistribusikan. Ke mana saja perginya beras-beras tersebut, dan entah menjadi
halal atau tidak beras yang telah diolahnya, saya kira hampir semua petani
tidak memikirkannya. Sebab, semua sudah ada porsinya masing-masing, dan bukan
menjadi porsi petani memikirkan hal tersebut.
Begitu pula
kiranya dengan seorang penulis. Yang menilai bagus tidaknya tulisan tentu saja
bukan sang penulis sendiri, melainkan para pembaca karyanya. Pembaca karyanya
pun bisa lagi dibagi menjadi beberapa bagian. Semuanya itu tentu saja akan
menjadi beban tambahan apabila sang penulis sendiri yang memikirkan. Maka dari
itu, tepat kiranya kalau saya menyamakan penulis dengan petani, yang menekuni—apabila
menulis sukar disebut sebagai pekerjaan—dunianya dengan porsi yang sebagaimana harusnya.
Dengan kata lain secara alamiah atau natural.
Saya berpendapat
demikian tentu saja setelah membaca buku ini. Bukankah setiap kali kita membaca
sebuah karya yang memukau, lantas membuat kita menjadi penasaran? Buku ini
mencoba menjawab hal itu. Sekian wawancara yang terdapat dalam buku ini adalah
proses menggali atau mengulik bagaimana seorang penulis mampu menghadirkan
karya-karyanya ke dunia. Kendati tidak mendetail, buku ini sudah cukup
memberikan jawaban apa saja tantangan yang harus penulis lewati dan selesaikan
sampai menghasilkan sebuah karya.
Dari buku ini
pula, saya banyak belajar arti sabar dan menyerahkan sisanya pada waktu dan
keadaan. Etos kerja yang begitu kuat ditampilkan dalam buku ini, tentu saja
cukup menggugah semangat saya untuk menulis kembali. Hal yang sebaiknya
dilakukan setelah membaca buku ini, ialah menyelami dan menggeluti sekian
karya-karya yang mereka hasilkan. Sebab dari sanalah kita akan belajar lebih
jauh dan menghayati apa yang sudah mereka sampaikan dalam wawancara yang
terkumpul dalam buku ini.
Tidak hanya
itu, hampir semua penulis yang di wawancarai di buku ini, punya semacam
kesamaan dan menjadi semacam rahasia kunci mereka ketika menulis. Rahasianya yaitu
tetap menjadi diri sendiri dan apa adanya, tidak perlu mengharapkan hasil yang
sama dengan apa yang orang lain peroleh. Terakhir, ada satu kutipan yang paling
saya suka di buku ini, yang secara tidak langsung disampaikan oleh Katherine
Anne Porter. Isi kutipannya begini;
“Menulislah
seakan itu tulisan terakhirmu. Dan membacalah sekaan kamu akan hidup seribu
tahun lagi!”
Data Buku
Judul: Taruhan
Mewujudkan Tulisan: Proses Kreatif Sebelas Penulis Perempuan Terkemuka Dunia
Penerjemah: Max
Arifin
Editor:
Kurniasih
Penerbit: Jalasutra
Cetakan: Mei,
2006
Tebal: xx + 366
hlm
Posting Komentar