Nietzshe dan Kita
Penulis; Sandriyanie Omen
Friedrich Nietzshe (1884-1900) menadai kelahiran arus kesadaran titik balik
modernitas. Betapa kita melihat, menyaksikan, dan bergulat di dalamnya,
bagaimana proyek dan ambisi besar modernitas yang begitu memesona menawarkan
‘pencerahan’ telah memukul rata dekadensi dan kemunduran nalar segala dimensi
kehidupan umat manusia dan kebudayaan.
Aforisme Nietczhe sangatlah sederhana, saat ia membuka palu
godamnya dengan mengatakan, “Tuhan Telah Mati”, yang segera
kemudian orang-orang memicingkan matanya bahwa ia tak lebih sudah gila, atheis
dan anak-jadah haram pemikirannya untuk kita renungkan saat ini.
Aforisme "Tuhan Telah Mati”, tidak saja
mengundang sejumput pertanyaan, pernyataan dan penafsiran yang bervarian. Melainkan
mesti dilihat juga sebagai bentuk penghargaan atas kinerja intelektual Nietzche
untuk menjawab problem-problem kemanusian. Tentu, dengan catatan tebal sekali
lagi, hal itu tidak ada kaitan sama sekali bahwa ia telah melecehkan aspek
teologis manusia, atheis dan semacamnya.
Tuhan telah mati tak hendak mengafirmasi bahwa Tuhan itu tidak
ada atau mengalami ketiadaan. Tetapi lebih ditekankan bagaimana Tuhan—sebagaimana
entitas dzat Tuhan seturut sejarah peradaban manusia—telah digantikan,
disisihkan oleh ilmu pengetahun dan sains dari proyek pencerahan modernitas itu
sendiri. Dan kita adalah pelakunya. Kita telah membunuhnya.
Betapa ilmu pengetahuan dan sains modern telah merongrong
kebudayaan manusia dengan pola-pola mekanis. Keberlakuan objektivitas menjadi
hal yang mutlak. Segala apa dianggap ‘benar dan salah’ dibakukan sedemikan
rupa. Seperti kerja di labolatorium, mesinlah yang menentukan arah kehidupan
umat manusia.
Era positivistik yang dibawa oleh modernisme, meluluhlantakkan
bangunan epistemologis metafiska dan kearifan nilai sesuatu yang bersifat
adikodrati. Orang-orang modern lebih percaya kepada progresifitas dari “fakta
apa yang berhasil disuguhkan olehnya”.
Tradisi tutur-wicara,
amor fati yang telah
melekat di kebudayaan kita, misalnya, diganti dengan fenomena gadget. Keramaian lebih disukai
ketimbang kesenyapan, kesunyian. Mereka percaya kecepatan mengalahkan nilai
sesuatu yang dinikmati secara perlahan, seperti ritmis dari alunan keroncong
atau musik Jazz.
Sehingga kemudian, ekses yang tak lagi terhindarkan: moralitas
mengalami dekadensi yang akut. Konflik-konflik terbuka mengemuka, manusia
bertikai atas nama kemapanan dan kebenaran sains, juga agama. Terjebak pada
dogmatisme, sebagaimana analisa Nietztche melalui moralitas budak dan tuan. Pantaslah
jika ia berkata bahwa Tuhan telah mati.
Tapi ia tak berhenti di sini. Nihilisme merupakan pelukisan
Nietzche untuk mengatasi kondisi semacam ini. Oleh sebabnya, kebudayaan manusia
perlu melakukan upaya pembalikan nilai atau chaos dari apa yang dianggap selama ini
sebagai “kemapanan”.
Transvaluasi nilai, tentu saja, ditujukan kepada kemapanan sains
dan ilmu pengetahuan kita dewasa ini. Bagaimana kemudian langkah ilmu
pengetahuan keluar dari jaring-jaring mainstream yang lapuk diamini selama ini?
Sederhannya, kita perlu membunuh ‘zona nyaman’. Bukan hal mustahil, tapi memang
cukup sulit.
Arus modernitas—yang melulu positivistik itu, meski dibongkar—yang
menurut pandangan Michael Foucalt terdapat relasi kuasa, oposisi biner—segendang
sepenarian, membilah kembali bagaimana ilmu pengetahuan digiring secara taktis
untuk mendukung proyek besar kapitalisme.
Pemerintah dan pemodal punya andil besar dalam menciptakan
kemandegan intelektual dan kemerosotan moral melalui imaji dan fantasi akan
adanya tujuan yang ‘dianggap jelas’. Di tangan mereka,
ilmu pengetahuan tak penting lagi ada keperpihakan kepada orang-orang
tertindas, teralienasi dari kehidupan. bebas nilai, free of values. sekolah-kerja-mati,
begitulah yang hanya terlintas pada generasi saat ini. Tak ayal, produk-produk
kebijakan pendidikan di negeri ini acapkali menimbulkan ekses keberjarakan
antara teks dan realitas.
Dari Nietzche kita juga tahu, bahwa kebenaran adalah ilusi,
semacam vampir penghisap darah. Sebab apa yang ‘benar dan salah’ terkungkung
oleh dogmatisme agama yang begitu ketat. Agama pada akhirnya mengalami
ketersudutan pada ‘sesuatu di sebarang sana’, yang trasendental dan menegasikan
dimensi imanental.
Hal ini terlihat bagaimana agama-agama menciptakan fantasi agar
para pemeluknya ‘tetap berada di jalan yang benar sesuai panduan kitab suci’.
Pelembagaan agama lebih diprioritaskan ketimbang nilai-nilai spiritual-organik
dari masing-masing individu manusia. Tak heran, kita lebih tertarik melakukan
kebaikan jika memang ia sudah diatur oleh tuntutan-tuntutan itu.
Spketrum pemikiran Nietzche tentulah sangat luas; ia bak pelaut
yang terus berlayar mengarungi samudera dan tak gentar dengan hantaman ombak
dan terus rindu untuk menebar jalanya dari dan untuk segenerap arah. Ini menandaskan
sejatinya percikan filsafatnya adalah tentang kedirian, objektivitas-diri:
baginya, manusia sosok yang memiliki kemampuan untuk mengatasi diri, existenz.
Dengan demikian, menjadi Ubermensch
merupakan pintu agar kita beranjak keluar untuk, sekali lagi, tidak
sekadar berlabuh di satu pulau lalu berhenti, menikmati segala zona nyaman yang
ditawarkan dari zaman ke zaman, perlu kiranya berlayar menikmati samudera nun
begitu luas di sana.
Sebagaimana disitir melalui sabda Zarathustra, menjadi Ubermensch adalah mempertanyakan-ulang
segala kebenaran yang terlanjur kita enyam, baik dari agama maupun kebudayaan,
juga mengamputasi setiap bentuk kemapanan yang ditawarkan oleh dunia
kapitalisme, hingga saat kemudian kita mengalami kegetiran dalan hidup ini,
lantas kita hanya perlu berkata ‘Ya’. sebab sesekali Tuhan sangat senang untuk
menari. Bukankah begitu?
0 Response to "Nietzshe dan Kita"
Post a Comment