Menolak Lupa atau Menolak Fakta?
Penulis: Mohammad Zainur Riza Fahlevi
Kita memang menolak lupa. Tapi apakah kita mengetahui akar masalahnya? Kita memang menolak lupa. Tapi bagaimana faktanya? Kita di tengah memori dan kenyataan semu, bahwa sejarah adalah milik pemenang sang kuasa
Beberapa hari lalu, yang
bertepatan dengan momentum kematian Munir kemarin,
mendadak mencuit kembali. Ah, postingan di status WhaatsAppku berderet
memuat postingan Munir. Berdendang narasi kata lawan untuk penindasan. Hmm, ya begitulah,
sejarah memang selalu menjadi sensasi yang harus dikorek-korek
kembali.
Jika belum tuntas, harus
dituntaskan sesuai kejelasan dan kebenaran sejati. Kejelasan ini tak boleh
dipelintir atau dimutilasi. Karena kejelasan, ini tentang menyangkut hak asasi
manusia yang harus dihargai dan dihormati sesuai kodrat manusiawi.
Begitu pun kebenaran. Ia tak boleh dikotori dan dibumbui dengan motif yang terselubung,
yang tersembunyi. Jika benar, katakan benar, tak perlu ditambah embel-embel
yang dibuat seolah seksi dan menarik. Jika salah katakan salah, tak usah
ditutupi dengan alibi, sebab kejujuran itu adalah salah satu sikap kebenaran
yang murni.
Yup, begitulah ironi sejarah kalau
bicara sejarah. Karena pelaku dan korban sejarah memuat versinya sendiri. Belum
lagi pihak ketiga, entah itu penyimak atau penulis sejarah. Interpretasinya pasti sesuai kacamata
objektifnya pribadi. Maka, terkadang keberpihakan sejarah memang selalu
digunakan untuk memperjuangkan kebenarannya.
Huft, sebenarnya
pusing bicara kebenaran sejarah secara konkrit tanpa keperpihakan. Karena, kita
yang tak tahu apa yang terjadi, lalu ingin mengetahui maka kita akan mencari
berdasarkan kategori-kategori yang ada. Kemudian hal itu, diolah dan diramu
sesuai kesimpulan yang didapatkannya. Akhirnya
menjadi sebuah kebenaran sejarah baru atau kesimpulan baru atas suatu
peristiwa. Oleh itu, biasanya penulis sejarah akan selalu ada titik
keperpihakannya, tak bisa loss netral.
Sebab, kalau tanpa keberpihakan, maka kenyataan dan kebenaran akan
diterima sesuai yang ada. Bahwa alam kehidupan manusia akan terus bergerak mengalir
mencari keseimbangannya sendiri. Ia akan terus bergerak menerima yang ada dan
melanjutkan kehidupannya sendiri.
Dan akhirnya, kalau sejarah itu
menjadi luka, maka biarkanlah itu menjadi luka. Meskipun telah diobati, luka
tetaplah menjadi luka. Dan luka akan tetap membawa derita, lara, pedih, dan
nestapa. Ia masih tersakiti namun tegap berdiri untuk melangkah menjalani
aktivitasnya kembali. Dan luka itu tetap ada, tanpa bisa merdeka dari masa
lalunya.
Refleksi Kembali
Lah ini, kita menyoal kembali
tentang tragedi sejarah yang masih problematis, layaknya sebuah kehidupan yang
penuh teka-teki dan penuh misteri. Apa yang kini menjadi kepentingan dan
keberpihakan kita dalam sejarah tersebut? Menolak lupa ataukah menolak fakta,
tapi pada realitasnya kehidupan tetap sama. Bahwa ini adalah bentuk realitas
yang telah tercipta dari sejarah pertarungannya manusia.
Misalkan menolak lupa, ini berarti
kita masih mengungkit dan mengingat informasi sejarah yang kita ketahui secara
literatur yang ada dulu. Tapi karena kurangnya kejelasan absolut dan konkrit,
sejarah merasa kurang afdol dan komplit untuk dijabarkan hasilnya. Walhasil, ia
menuntut kebenaran pengetahuannya untuk menjadi pelajaran baru dalam ingatan
sejarah manusia.
Jadi sejarah tragedi tersebut, menjadi
informasi yang masih bisa berkembang, meskipun sejarah itu sudah selesai lama.
Dan ketika itu terungkap ataupun tidak, ia akan menjadi pelajaran baru dalam
sejarah pertarungan manusia untuk menatap masa depan. Orang pun akan belajar
kembali dan mengoreksi atas sejarah tragedi tersebut. Karena bagaimanapun,
sejarah tragedi tersebut akan mempengaruhi berbagai aneka ragam pola pikir dan
kehidupan di kalangan masyarakat ke depannya.
Berbeda kalau ini menjadi menolak
fakta. Bahwa hingga sekarang kasus Munir masihlah mengambang kejelasannya untuk terungkap siapa
dalangnya. Maka ini penuh kecurigaan yang harus dicari dan diteliti. Hal ini
berbuntut yang tak sekedar ke dalam pertanyaan pembunuhan yang tak wajar atau
direncanakan.
Melainkan ini adalah tentang
kematian yang perlu kebenarannya secara komprehensif. Kenapa di bunuh, apa
salahnya, hingga manusia bisa tak punya nurani. Apa faktornya, mungkinkah
karena persaingan harta, tahta, atau wanita? Kan semua ini
masih meraba, menduga-duga, tentang motif, tentang sebab-akibatnya, dan
sebaginya. Artinya, Munir tak sekedar diracun saja. Ada sebuah penindasan struktural yang terjadi dalam sistem
kehidupan kita ini.
Dan nantinya, ini pun merambat ke
berbagai aspek. Mulai dari ekonomi, sosial, budaya, politik dan sebagainya. Bahwa kasus
kematian perlu pengadilan kembali agar tak terjadi dan terulang lagi. Arena
pertarungan kelas pun terbuka kembali. Bahwa ada fakta yang tak bisa diterima,
melainkan harus diperbaiki. Untuknya, lagu perlawanan akan selalu berkibar di mana pun penindasan
berada.
Sederhananya, kalau kita menolak
lupa, ini sebatas tentang kejelasan pengetahuan informasinya. Terlepas nanti
hasilnya seperti apa, ya begitulah yang terjadi. Sebab, banyak pembunuhan-pembunuhan
yang telah terjadi di Indonesia dengan motif-motif yang beragam. Dan begitulah faktanya,
bahwa kematian adalah peristiwa kehidupan yang hanya sekali seumur hidup.
Tapi kalau menolak fakta, ini tak
sekedar kejelasan dari berbagai fakta yang terkumpul. Tapi tentang arti keadilan manusia, yang memuat nilai dan sarat
maknanya. Bahwa ada manusia yang telah melanggar batas kemanusian manusia. Jika
tak diadili, maka ini akan menjadi sistem hukum manusia, layaknya hukum rimba.
Sedikit diskusi, intinya, mungkin
inilah realita yang terjadi. Bahwa kenyataannya, hak asasi manusia di Indonesia sudah
tak ada lagi. Kasus Munir, Widji Tukul, Salim Kancil dan sebagainya. Ini kasus pembunuhan dengan melibatkan skema
besar pertarungan kepentingan yang ada. Untup menutup tulisan ini, ada baiknya
mari kita berefleksi dengan kata widji thukul. 'Jika kita menghamba dengan
ketakutan, kita memperpanjang barisan perbudakan'.
Bisa ditemui di; Facebook: punkrock_alvin@yahoo.co.id, Instagram: catatan_fahlevi
0 Response to "Menolak Lupa atau Menolak Fakta?"
Post a Comment