Hukum Pertumbuhan Ekonomi dan Ilusi Keadilan HAM
Penulis: Irfan Hidayat
Hampir setahun yang lalu, tepatnya
pada bulan Oktober 2019, Presiden RI Joko Widodo menyampaikan pidato tentang
pertumbuhan sektor ekonomi nasional dalam acara pelantikannya. Dalam pidato
tersebut, presiden menyampaikan bahwa Omnibus Law, yang merupakan regulasi dari
penggabungan aturan tentang cipta lapangan kerja, pemberdayaan UMKM, dan UU
perpajakan itu, harus disegerakan oleh DPR untuk meningkatkan perekonomian
negara.
Dengan dalih pertumbuhan ekonomi
tersebut, program pembangunan nasional semakin digencarkan oleh pemerintah.
Infrastruktur negara seperti bandara, jalan tol, dan lain-lain dibangun dengan
cara cepat di beberapa tempat. Selain itu, pertambangan-pertambangan di banyak
daerah juga digencarkan. Baik itu di pulau-pulau besar seperti Kalimantan, Jawa,
Sumatera, Sulawesi, ataupun pulau-pulau kecil lainnya seperti pulau Gebe,
Halmahera Utara, dan masih banyak pulau kecil lainnya yang digali dan dikeruk
untuk diambil hasil buminya.
Jaringan Advokasi Tambang Nasional
(Jatamnas) mencatat, hingga akhir tahun 2019 ada 55 pulau dari 13.000 pulau
kecil yang tersebar di Maluku Utara, Sulawesi, Kalimantan Utara, dan Sumatera
yang sedang mengalami eksploitasi dari pertambangan. Lebih parahnya lagi,
dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pertambangan tersebut sering kali
dibiarkan begitu saja, tanpa adanya perhatian dari pemerintah maupun pihak
perusahaan.
Untuk memperlancar semua itu,
pemerintah hendak melakukan peluncuran aturan perundang-undangan dalam wujud
Omnibus Law tadi. Omnibus Law merupakan produk hukum pemerintah sebagai wujud
dari diktat hukum pertumbuhan ekonomi dalam upaya menumbuhkan sektor ekonomi
nasional. Hal itu menjadi perhatian utama negara mengingat banyaknya sumber
daya alam yang tersedia di kepulauan Indonesia, sehingga potensi pertumbuhan
ekonomi dari pertambangan dinilai akan semakin maksimal.
Pelanggaran HAM dalam Hukum
Pertumbuhan Ekonomi
Negara yang terhegemoni oleh moda
produksi kapitalisme seperti Indonesia, akan menghalalkan segala cara untuk
mencari atau meraup keuntungan sebesar-besarnya, sebagai cara untuk menyatakan
agregasi produksi dalam proses kapitalisme (Bosman Batubara: 2020). Sehingga,
ekspansi pertambangan di gencarkan ke seluruh wilayah yang berpotensi
mengandung sumber daya alam. Dampaknya ialah, banyak kerusakan lingkungan serta
ekosistem yang sangat parah.
Selain kerusakan lingkungan dan
ekosistem, ekspansi pertambangan dan pembangunan yang membabi buta juga sering
menimbulkan pelanggaran HAM terhadap warga sekitar tambang atau proyek
tersebut. Pelanggaran HAM itu, sering terjadi ketika warga atau masyarakat
melakukan penolakan terhadap keberadaan tambang yang dinilai akan merusak
lingkungan sekitar. Atau juga terhadap masyarakat yang enggan menjual tanahnya,
seringkali mendapatkan tindakan kekerasan oleh oknum aparat keamanan bahkan
preman bayaran.
Bisa disimak dalam kasus penolakan
pabrik semen di pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, yang dilakukan oleh masyarakat
dan para petani. Masyarakat menolak keberadaan pabrik tersebut karena akan
memberi dampak buruk terhadap lingkungan. Yang artinya, hak masyarakat untuk
mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat tidak akan didapatkan oleh
masyarakat.
Parahnya, warga yang melakukan
penolakan dengan cara demonstrasi, sering kali mendapatkan perlakuan kekerasan
oleh aparat keamanan bahkan preman bayaran perusahaan tambang tersebut.
Sehingga, pelanggaran HAM pun semakin bertambah, mengingat banyaknya hak-hak
masyarakat yang dilanggar.
Peristiwa yang tak kalah miris ialah
penggusuran lahan yang dilakukan oleh PT Angkasa Pura I (AP I), terhadap rumah
dan tanah warga masyarakan Palihan, Temon, Kulonprogo. Warga yang menolak
menjual tanahnya kepada AP I untuk dijadikan bandara, mendapat tekanan dan
pemaksaan dalam bentuk kekerasan oleh pihak keamanan. Parahnya, AP I tetap
melakukan pengambilan lahan secara paksa, dengan melakukan penggusuran terhadap
lahan dan warga yang menolak pindah atau menjual tanahnya.
Kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut,
hanyalah sebagian kecil dari banyaknya kasus pelanggaran HAM yang disebabkan
oleh gencarnya aktivitas pengrusakan alam oleh pertambangan, maupun mega proyek
yang mengatasnamakan pembangunan nasional. Karena dengan dalih pertumbuhan
ekonomi, izin-izin pembangunan dan pertambangan selalu saja berjalan lancar,
seoalah-olah mengesampingkan dampak lingkungan dan hak asasi manusia.
Belum berhenti sampai di situ, lubang
galian bekas tambang yang tidak direklamasi, sering kali memakan korban jiwa.
Kebanyakan korban jiwa adalah anak-anak yang tenggelam di lubang bekas galian
tambang tersebut. Seperti yang terjadi di Kalimantan Timur (Kaltim). Menurut
catatan Komnas HAM, lubang-lubang galian bekas tambang batubara di Kaltim
sampai dengan pertengahan tahun 2016 saja, telah menelan 24 korban jiwa, yang
mana 22 di antaranya adalah anak-anak.
Dalam buku terbitan Komnas HAM, yang
berjudul Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Kasus Eks Lubang Tambang
Batubara di Kalimantan Timur (2016), Komnas HAM menemukan
sekurang-kurangnya empat bentuk pelanggaran HAM dalam peristiwa kematian 24
orang akibat tenggelam yang disebabkan tidak dilakukannya penutupan lubang
bekas galian tambang oleh perusahaan di Kaltim. Yaitu pelanggaran hak untuk
hidup, hak atas lingkungan yang sehat dan bersih, hak atas rasa aman, dan hak
untuk memperoleh keadilan.
Ilusi Keadilan HAM
Akibat hegemoni moda produksi
kapitalisme, sistem sosial masyarakat mengalami perubahan karena manuver
ideologi pembangunanisme atas nama hukum pertumbuhan ekonomi. Masyarakat
agraris sepeti Indonesia yang secara umum mandiri dalam pertanian, harus menerima
kehadiran pola konsumtif, bahkan sering kali bergeser menjadi buruh tambang
akibat ganasnya industrialisasi pertambangan. Artinya, ada pergeseran orientasi
dari ‘kebutuhan terhadap komoditas’ menjadi ‘kebutuhan terhadap akumulasi uang’
yang dialami oleh sebagian masyarakat.
Jika hal tersebut dibiarkan, maka
yang terjadi adalah masyarakat akan kehilangan kendali politiknya. Karena
pergeseran orientasi tadi, masalah-masalah lingkungan yang diakibatkan oleh
aktivitas pertambangan tidak lagi menjadi hal penting. Akibatnya, kerusakan
lingkungan oleh aktivitas tambang menjadi tidak lagi menjadi masalah bagi
sebagian masyarakat.
Semenjak hukum pertumbuhan ekonomi
menjadi diktat yang wajib diikuti oleh suatu negara, pengabaian terhadap HAM
dan diskriminalisasi serta marjinalisasi terhadap rakyat sering kali terjadi. Sehingga,
muncullah fenomena pemerataan penggusuran lahan dengan kekerasan negara yang
lebih mementingkan agenda investor daripada pemenuhan hak-hak dasar masyarakat.
Penggusuran kini menjadi agenda
rutin pemerintah dengan mengabaikan hak-hak rakyat untuk mendapatkan tempat
hidup yang layak. Kepentingan investasi menjadi hal paling penting untuk
mengejar pertumbuhan ekonomi. Sehingga, negara kini tidak lagi berorientasi
terhadap kesejahteraan rakyat, melainkan untuk segelintir kelompok tertentu.
Kondisi tersebut membenarkan pemikiran
Wilfred (2003), bahwa pertumbuhan ekonomi di tengah ideologi pasar memiliki
fungsi yang serupa dengan mesin. Di mana ketika mesin mengalami gangguan
kerusakan dalam proses berjalannya, maka gangguan tersebut harus dihilangkan.
Salah satu dari sekian banyak gangguan tersebut adalah keberadaan HAM di tengah
masyarakat. Yang menjadikan penegakan HAM merupakan ancaman dari sistem pasar
yang harus dihilangkan, karena akan berakibat buruk terhadap stabilitas pasar.
Oleh karena itu, hukum pertumbuhan
ekonomi idealnya harus dilakukan secara kompherensif. Hal tersebut bisa dimulai
dengan cara ekspansi pembangunan nasional maupun pertambangan harus
memperhatikan hak asasi manusia, memenuhi aspirasi dan partisipasi rakyat serta
keduanya tidak boleh bertentangan. Hukum pertumbuhan ekonomi sebaiknya
membangun kedaulatan ekonomi, kedaulatan pangan, dan pembangunan politik sosial
dan kebudayaan yang bertujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya, dengan
tanpa menghadirkan korban-korban baru dari rakyat Indonesia sendiri.
Negara harus mampu menjadi entitas
yang melindungi, memenuhi, memajukan, dan menegakkan HAM. Bukan malah sebaliknya
yang mendukung dan melindungi proses agregasi produksi, dengan cara
mengeluarkan peraturan yang mengesampingkan HAM seperti Omnibus Law. Jika hal
tersebut tidak segera dibenahi oleh pemerintah, maka keadlian HAM dalam hukum
pertumbuhan ekonomi hanya akan menjadi ilusi semata.
Setiap aturan atau kebijakan yang
dilahirkan dari semangat pembangunanisme merupakan aturan yang tidak
memanusiakan manusia. Hal itu menjadikan kekayaan atau keuntungan beredar
terpusat hanya pada pemegang arus utama
kendali kekuasaan dan para investor semata, sedangkan rakyat selalu menjadi
korban.
Sebagai penutup, sepertinya kita
harus merenungkan kembali sepenggal pemikiran dari John Locke dalam karyanya
yang berjudul Second Treatise (1689), bahwa negara dan pemerintahan
adalah institusi yang dijalankan oleh manusia atas dasar kemauan rakyatnya dan
hadir untuk menyeimbangkan setiap hak yang ada pada manusia sehingga tidak
mengganggu manusia yang lainnya.
Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga. Bisa ditemui di Twitter: @irfanProfesor
0 Response to "Hukum Pertumbuhan Ekonomi dan Ilusi Keadilan HAM"
Post a Comment