Beras Jimpitan
Penulis: Diniar N. Fadilah
Tangan Distam memegang sudut gerobaknya dengan lemas. Ia berusaha menenangkan diri sebisanya. Jika saja tempatnya berjualan bukanlah tempat yang ramai, ia pasti akan memekik sekuat tenaga. Distam lalu berjongkok, sambil tertunduk. Pikirannya melayang pada masa lalu ; pada masa-masa indah saat ia masih belia dan masih hidup di desa.
“Yang ikhlas,le. Kita
semua juga merasa kehilangan. Doakan saja supaya Mbok Kasam tenang di alam
sana.” Suara ibunda Distam mengalun lembut dari ponsel yang
ditaruh di sakunya. Suara yang biasanya sangat sakti dan mampu menenangkan hati
Distam dalam segala keadaan, termasuk saat Distam dan dagangannya digaruk
aparat. Suara itu kini kehilangan kesaktiannya.
“Tapi ini semua sangat konyol, bu. Aku
yang akan bertanggung jawab. Aku akan bertanggung jawab, bu. Sampaikan pada
ayah aku yang akan bertanggung jawab pada Haji Ayat. Aku yang akan membayar
kain kafan itu,” kata Distam setengah terisak.
Jam baru menunjukan pukul
setengah tujuh malam. Distam sudah selesai mengemas barang dagangannya dan siap
mendorong gerobak birunya ke belakang pasar. Pedagang lain hanya diam sambil
menatap dengan pandangan bertanya-tanya. Warno, pria yang juga berdagang di
samping gerobak Distam mengacungkan jari telunjuk tepat di depan mulutnya.
Isyarat menyuruh yang lain diam dan tak banyak tanya.
“Tak apa, Tam. Biar nanti
kudorong sekalian dengan gerobakku.”
‘Terimakasih, No.”
Distam melangkah dengan
gontai, meninggalkan pelataran pasar yang semakin ramai.
Fikirannya terlanjur kalut dan dadanya sesak, penuh dengan kesedihan mendalam.
Sampai di ujung persimpangan, Distam mempercepat langkahnya. Ia khawatir akan
tertinggal bus. Ya, Distam akan pulang. Hati kecilnya berharap Mbok Kasam
dimakamkan nanti saat Distam sudah sampai di kampung halaman, meskipun ia paham
betul ia bukan siapa-siapa.
------
Tak banyak yang tau
asul-usul Mbok Kasam. Saat Distam bertanya, ayah Distam sendiri selalu menjawab kalau Mbok Kasam
sudah tinggal di gubuk reot di belakang rumahnya sejak ayahnya muda.
“Suaminya seorang
pejuang. Mbok Kasam istri yang baik, maka dia selalu turut gerilya. Berpindah
dari satu desa ke desa yang lain, walaupun tak ikut memanggul senjata. Suatu
hari suaminya tertembak tentara kompeni dan tewas seketika. Suaminya dimakamkan
seadanya dan meninggalkan Mbok Kasam sendirian. Tidak ada sanak saudara,” jelas
ayah Distam suatu hari saat ditanya di mana keluarga Mbok
Kasam. Distam hanya mengangguk seakan mengerti. Sejujurnya ia tidak peduli
siapa dan dari mana asal Mbok Kasam. Distam hanya peduli pada aneka
makanan sederhana buatan Mbok Kasam yang selalu menggugah selera.
Distam paling suka pada
olahan nasi aking yang digoreng renyah kemudian dibumbui menggunakan cabai
rawit, bawang, dan garam. Tentu saja Mbok Kasam mendapatkan sisa nasi dari uluran
tangan tetangga sekitarnya. Tak jarang Distam sengaja tak makan agar ada sisa
nasi untuk diberikan pada Mbok Kasam.
Mbok Kasam sendiri hampir tak pernah makan nasi. Mbok Kasam lebih sering
mengkonsumsi gaplek; olahan dari
ketela pohon yang dikeringkan. Sebidang tanah sempit di samping rumhanya yang
sejujurnya lebih pantas disebut gubuk ditanami ketela pohon. Selain lebih
murah, gaplek juga lebih sehat dan
enak, katanya.
Seluruh anak-anak di
kampung Distam, baik laki-laki maupun perempuan yang kebetulan bertugas untuk
menarik beras jimpitan pasti akan
mampir ke gubuk Mbok Kasam. Mereka paham betul tak akan mendapat segenggam beras jimpitan dari gubuk reot Mbok Kasam itu.
Mereka datang untuk hal lain; olahan nasi aking yang digoreng renyah dan
dibumbui dengan cabai rawit, bawang, dan garam. Jika Mbok Kasam kehabisan nasi
aking, ia akan memarut ketela pohon untuk dijadikan lemet dan diberikan pada semua anak yang kebetulan bertugas menarik
beras jimpitan pada hari itu. Atau
apa saja yang membuat anak-anak kampung Distam lebih bersemangat berkeliling
menarik beras jimpitan.
“Aku tak bisa turut setor
beras jimpitan. Tapi aku janji akan
membuatkan makanan yang lezat untuk cah ayu dan cah bagus yang semangat menarik beras jimpitan,” kata Mbok Kasam pada suatu hari. Dan omongan Mbok Kasam
terbukti sangat ampuh. Tidak hanya anak-anak, orang dewasa pun akan senang hati
mampir ke gubuk reot Mbok Kasam saat kebagian tugas untuk menarik beras jimpitan. Mereka paham betul tak akan
mendapat segenggam beras jimpitan dari
gubuk reot Mbok Kasam itu. Mereka datang untuk alasan yang sama; olahan nasi
aking yang digoreng renyah dan dibumbui dengan cabai rawit, bawang, dan garam.
Ah, beras jimpitan. Upaya gotong royong terhebat
yang paling sering diselewengkan. Tak pernah ada yang tau berapa banyak
perolehan pastinya. Warga kampung hanya patuh pada perintah dan yang mereka tau
dari penjualan beras jimpitan itu
pula pihak kampung membeli kain kafan saat ada yang meninggal.
------
Sama seperti suaminya, Mbok
Kasam dikebumikan dalam hening yang diiringi hujan gerimis. Tanpa tembakan
salvo dan sanak saudara tentunya. Tak ada yang peduli pada kenyataan bahwa Mbok
Kasam dan suaminya juga kawan-kawannya pernah berjuang demi sesuatu yang
disebut tanah air bersama. Tapi tetap banyak warga kampung yang turut
mengiringi. Bagaimanapun juga, Mbok Kasam akan selalu punya tempat khusus di
sudut hati Distam dan warga kampung lainnya.
Distam berjongkok di
pusara Mbok Kasam. Tangan kanannya memegang nisan tanpa nama yang tertancap di
atas tanah basah. Sungguh ia berusaha agar tak ada bulir bening air yang jatuh
dari kedua matanya. Tapi bagaimanapun juga, Distam sedikit lega hatinya
menyaksikan jenazah Mbok Kasam tertutup kain kafan dengan layak.
Distam merasakan ada
tangan yang mengguncang pundaknya perlahan. Jika saja tidak sedang dalam
suasana berkabung, Distam sudah pasti akan menghajar si empunya tangan.
“Yang sabar ya, Tam. Semua
yang hidup pasti akan mengalami kematian. Sungguh aku sangat ingin membantu
Mbok Kasam. Tapi sebagai ketua RT aku harus bersikap bijak.” Suara Pak RT
terdengar sengaja dibuat lirih dan itu membuat Distam semakin muak.
“Terimakasih untuk
simpatinya, pak. Tapi apa betul pihak RT tak punya dana sepeser pun untuk
membeli selembar kain kafan?” sambil tetap memegang nisan tanpa nama, Distam
menatap Pak RT dengan tatapan tajam penuh kebencian yang menusuk.
“Penjualan beras jimpitan sudah terpakai untuk
berpartisipasi dalam acara pelantikan Pak Camat kemarin, Tam. Lagipula, semasa
hidup Mbok Kasam tak pernah ikut urun
beras jimpitan. Sungguh aku sangat ingin membantu Mbok Kasam.
Tapi sebagai ketua RT aku harus bersikap bijak dan adil.”
Tangan Distam yang
tadinya digunakan untuk memegang nisan tanpa nama dilepas kemudian menggenggam
erat siap menghantam. Suara ibunda Distam mengalun lembut mencegah Distam.
Seperti biasa, suara itu sangat sakti dan mampu menenangkan hati Distam dalam
segala keadaan, termasuk saat Distam dan dagangannya digaruk aparat.
Cilacap, 13 September 2020 (02.33).
‘
Posting Komentar