Wahhabi tidak Melulu Soal Teologis Semata
Sejak awal mula, kita selalu dibiasakan untuk menganggap bahwa surga dan kebenaran itu ialah milik orang baik saja. Orang yang tidak baik atau belum baik, rasanya kurang pantas untuk membicarakan surga dan jalan untuk menuju ke sana. Hingga, dari pandangan sempit semacam itu, kita menjadi orang yang akhirnya lebih takut mengambil risiko. Ketimbang benar-benar memperjuangkan yang seharusnya diperjuangkan. Misalnya saja, tentang suatu kebenaran. Kebenaran yang sebenarnya dibuat-buat agar terlihat benar.
Tahan, jangan dulu. Saya tahu, anda tidak akan terima
dengan judul tulisan ini. Pun saya tahu anda akan sangat tertarik untuk
mengkritik tulisan ini. Tapi saya minta tahan dulu keinginan tersebut. Izinkan
saya terlebih dulu menjelaskan maksud tulisan ini. Oleh sebab itu, saya akan
berikan kesempatan dan sangat mempersilahkan untuk mengkritik tulisan ini.
Bahkan dengan caci-maki sekalipun. Namun, syaratnya adalah anda harus selesai
dan tuntas membaca tulisan ini sampai akhir. Bisa? Oke, mari kita lanjut.
Sudah kita ketahui bersama, semakin ke sini, bertambah
banyak yang mendaku diri sebagai pewaris Ahlussunnah Wal Jamaah. Betul, tidak?
Pertanyaannya, kenapa identitas tersebut semaikin diperebutkan? Apakah
identitas tersebut juga yang akhirnya menjamin umat Islam masuk surga? Dan
apakah sesempit itu kita memandang tujuan beragama dan hidup? Yang ukurannya
harus selalu membawa-bawa surga-neraka. Padahal, masih banyak urusan lain yang
seharusnya bisa kita bicarakan, bukan?
Maksud saya begini, banyak hal di dunia ini yang
sejatinya belum diketahui kebenaran pastinya. Namun seolah-olah, dianggap bahwa
hal tersebut tadi, sudah pasti benar begitu adanya. Secara tidak langsung, ada
upaya-upaya yang dilakukan secara sengaja, agar sesuatu yang belum jelas
aslinya tadi, bisa disebut sudah final. Atau dengan bahasa kerennya, disebut
sebagai pembelokan sejarah. Dalam tulisan ini, saya akan lebih banyak
menyinggung ihwal penyimpangan-penyimpangan ini.
Bicara soal penyimpangan, dalam beragama pun jika kita tidak
hati-hati, akan tergelincir karena penyimpangan ini. Bisa karena penyimpangan
yang sengaja dibuat atau terbentuk karena ketidaksengajaan. Lamun yang jelas,
ketelitian memang sangat diperlukan jika sudah berbicara tentang bab agama. Seperti
yang sudah disebutkan di judul tulisan ini, saya akan mengulas bagaimana
Wahhabi akhirnya mengklaim diri sebagai pewaris Ahlussunnah Wal Jamaah. Dengan
berdasarkan buku yang berjudul Sejarah Lengkap Wahhabi, karya Nur Khalik
Ridwan.
Buku yang ditulis oleh seorang alumni pesantren ini,
sangat menarik untuk kita bincangkan bahkan menjadi bahan pertimbangan bagi
lingkaran di luar pesantren itu sendiri (hlm 7). Begitulah kira-kira sepengal
kalimat kata pengantar yang ada di dalam buku ini. Saya rasa memang tidak
berlebihan penilaian tersebut tentang buku ini. Tidak saja memakai bahasa yang
ringan dan mudah dimengerti, buku ini begitu dahsyat membedah dan menelanjangi
rahasia Wahhabi sampai ke bagian terkecilnya, yang hari ini belum banyak
diketahui oleh publik.
Dengan mengumpulkan data dari beragam sumber, baik
literatur berbahasa Arab yaitu kitab, sampai kepada literatur yang paling
modern, terbukti penulisnya sangat mahir dalam hal mengkomparasikan data-data
yang ada. Maka layak jika buku ini disebut sebagai buku induk yang paling mudah
dipahami, untuk mengenal lebih jauh dan mendalam tentang Wahhabi beserta
printilannnya.
Yang menarik dari buku ini, di awal sudah langsung
menjelaskan secara detail dan rigid silsilah keluarga pendiri
Wahhabi dan perihal tindak-tanduknya semasa masih belajar. Melalui penjelasan
di awal ini, kita akan langsung tahu bahwa pendiri Wahhabi, yaitu Muhammad bin
Abdul Wahhab, pada nyatanya juga manusia biasa. Yang tidak luput dari celah
kesalahan semasa hidupnya. Hal inilah yang nantinya tidak akan kita temui dan
dikemukakan oleh para pendukung Wahhabi.
Jawabannya sudah jelas, jika mengingat posisi Muhammad
bin Abdul Wahhab yang sangat diagungkan oleh para pengikutnya. Tentu saja ialah
supaya tidak ada yang meragukan kapabilitas dari seorang Muhammad bin Abdul
Wahhab. Ditambah lagi, hal ini sekaligus juga bisa dianggap sebuah upaya yang
sengaja dilakukan, agar di kemudian hari orang-orang yang dipengaruhi oleh
ajaran Wahhabi, tidak lagi mengkritisi kekurangan-kekurangan yang melekat dari
seorang Muhammad bin Abdul Wahab.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, yang menjadi
kekeliruan pengikut Wahhabi selama ini, “Mereka menafikan sama sekali adanya
kontradiksi hubungan dalam keluarga Muhammad bin Abdul Wahhab (hlm 47). Dan
menganggap bahwa hubungan pendiri Wahhabi dengan keluarganya baik-baik saja.
Padahal, ada hubungan yang kurang harmonis—jika tidak bisa disebut sebuah
kebencian—yang timbul lantaran sikap pendiri Wahhabi ini. Bahkan, Ayah dan
saudara kandung Muhammad bin Abdul Wahhab, pun sebenarnya meragukan kapabilitas
pendiri Wahhabi ini.
Tidak hanya itu, di bagian awal kita langsung bisa
menemukan kolaborasi yang dilakukan pendiri Wahhabi dengan pemilik kekuasan
wilayah waktu itu. Yang pada akhirnya membuat ajaran dan paham Wahhabi bisa
terus bertahan sampai hari ini. Ya, tidak lain dan tidak bukan kolaborasi
tersebut ialah dengan Muhammad bin Saud, yang anak-cucu keturunannya menjadi
raja Arab Saudi sekarang. Buku ini, selanjutnya bisa disebut sebagai buku yang menyusuri
banyak misteri tentang Wahhabi yang belum terungkap.
Hal yang paling menggugah minat saya dari buku ini, salah
satunya ialah soal konflik yang terjadi selama basis Wahhabi mulai dibangun,
sampai ketika menjadi penyokong sebuah imperium. Mulai dari konflik dengan
suku-suku kecil dan badui yang berada di tanah Arab, sampai konflik yang
terjadi dengan kerajaan Turki Ustmani atau Kekaisaran Ottoman.
Mengkaji soal Wahhabi memang tidak bisa hanya berangkat
dari pemahaman teologis. Karena pada nyatanya, lahirnya Wahhabi yang kita kenal
sekarang ini, juga tidak terlepas dari campur tangan banyak kepentingan.
Bahkan, fakta yang mencenangakan dalam buku ini, terlihat jelas peran yang
dimainkan oleh beberapa orang atau kelompok untuk menyokong supaya gerakan
Wahhabi bisa tetap ada.
Dengan kata lain, sejak awal mula kelahirannya, ajaran
Wahhabi bukan lahir dari kepentingan teologis semata. Ada banyak kepentingan
teologis yang terdapat di dalamnya. Maka akan menjadi sebuah kekeliruan, jika
menyebut lahirnya Wahhabi adalah berawal dari kehendak banyak orang. Akan
tetapi, lebih tepatnya Wahhabi itu lahir dari kepentingan sebagian kecil orang
saja. Dengan salah satu tujuannya yang juga tidak terlepas dari soal ekonomi
dan politik global.
Fakta kalau adanya campur tangan Inggris yang membidani
kelahirannya, sampai ke fakta yang membuktikan bahwa Amerika juga turut mempertahankan
Wahhabi, adalah realitas yang sesungguhnya ditolak oleh pengikut Wahhabi hari
ini. Padahal, dari sekian banyaknya literatur yang ada, telah membuktikan bahwa
Arab Saudi yang akrab dengan sebutan negara Petrodollar, menjalin kerja sama
yang mesra dengan negaranya orang-orang kafir dalam kaca mata penngikut
Wahhabi.
Poin penting yang bisa dicatat di sini, buku ini kembali
menegaskan sekian banyak data yang terus ditolak oleh pengikut Wahhabi.
Misalnya saja, kenyataan kalau anak cucunya Muhammad bin Saud banyak berkonflik
lantaran kekuasaan dan jabatan. Selanjutnya soal kebiasaan di Timur Tengah yang
sua konflik dan perang. Ditambah lagi, adanya mosi yang sudah meragukan
kemurnian Arab Saudi sebagai negara penganut paham Wahhabi yang asli. Hal ini
bisa kita lihat dari adanya konflk antara orang-orang Wahabi yang berpihak kepada
pemerintahan Arab Saudi, dengan orang-orang
pinggiran seperti kelompok Al-Qaeda dan semacamnya.
Perdebatan yang banyak menyedot perhatian publik ini,
selanjutnya tentu tidak bisa begitu saja diabaikan oleh orang-orang Wahhabi
sendiri. Terbukti dengan gencarnya web-web yang mengkampanyekan hal yang
berkebalikan dari fakta-fakta di atas. Situasi tersebut, membuktikan kalau
pengikut Wahhabi berupaya mengkampanyekan kebohongan secara terus-menerus.
Sebagaimana kebohongan-kebohongan yang sering disampaikan, apalagi dengan cara
yang masif, tidak menutup kemungkinan kalau hal tersebut lantas dianggap
sebagais sebuah kebenaran, bukan?
Kesimpulannya, kita tidak bisa mengabaikan kondisi
geopolitik yang terjadi ketika ingin memahami Wahhabi lebih jauh. Adanya upaya
bagi-bagi kue—bisa kue kekayaan, kue jabatan, kue pamor atau reputasi—adalah
bentuk nyata bahwa bicara soal Wahhabi tidak terbatas pada pemahaman teologis
semata. Namun juga banyak hal yang harus kita ketahui seluk-beluknya. Bahkan
sampai ke akar-akar Wahhabi yang terkecil. Karena, adanya sebuah kemenangan,
pasti akan selalu menuntut adanya sebuah kekalahan, bukan?
Data Buku
Judul: Sejarah Lengkap Wahhabi: Perjalanan Panjang
Sejarah, Doktrin, Amaliyah dan Pergulatannya;
Penulis: Nur Khalik Ridwan
Penerbit: IRCiSoD
Cetakan: Maret, 2020
0 Response to "Wahhabi tidak Melulu Soal Teologis Semata"
Post a Comment