Gratifikasi dan Institusionalisasi Lembaga Pengadilan
Penulis: Irfan Hidayat
Di masa
pandemi ini, publik dikejutkan dengan berita penangkapan Pinangki Sirna
Malasari (Jaksa Pinangki) oleh pihak Kejaksaan Agung. Jaksa berparas cantik
yang semula menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada
Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan itu, dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf
b UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sebab diduga telah menerima suap dari
buronan kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra. Kejadian
ini menjadi tamparan, sekaligus memperingatkan adanya ketidakstabilan sistem
dan kehidupan hukum Indonesia.
Jika
mengadopsi pendapat Friedmann (1984), ketidakstabilan hukum ini merupakan
akibat dari ketidakberdayaan sistem hukum untuk mengarahkan suatu efektifitas
pada struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum serta lembaga peradilan. Apabila
sudah begini, maka yang terjadi adalah ketidakteraturan yang berdampak pada
munculnya penyakit-penyakit negara hukum, salah satunya ialah gratifikasi.
Denny
Indrayana (2008) menjelaskan, bahwa penegak hukum yang melakukan tindakan
gratifikasi merupakan kejahatan maha luar biasa yang akan berdampak pada
kehancuran hukum di Indonesia. Tindakan jaksa yang korup, bisa menyebabkan
ketidakterlembagaannya sistem peradilan, tergerusnya cita-cita dasar hukum, dan
hilangnya kepercayaan publik.
Tentu,
kejadian yang menimpa Jaksa Pinangki tersebut semakin menegaskan pemikiran
Denny Indrayana, dalam bukunya yang berjudul Negeri Para Mafioso: Hukum di
Sarang Koruptor, terutama terkait dengan intitusionalisasi lembaga
pengadilan yang sangat buruk. Penulis menyoroti “institusionalisasi”, sebab ia
merupakan roh atau hati dari suatu lembaga pengadilan. Jika roh atau hati ini
buruk, maka buruk pula aktivitas pengadilan yang dilakukan.
Integritas
Dalam
Kunjungan peserta Rapat Kerja Nasional Ombudsman RI, serta audiensi terkait
pelayanan publik di lingkungan Perpustakaan Nasional RI, yang diselenggarakan
oleh Ombudsman RI di Perpustakaan Nasional (2012), Ombudsman menyatakan bahwa
buruknya penegakan hukum di Indonesia disebabkan maraknya tindakan mal-administrasi
dalam proses penegakan hukum. Baik itu oleh kepolisian, kejaksaan, peradilan,
dan lembaga permasyarakatan, sehingga integritas lembaga peradilan menjadi buruk.
Bisa
disimak dalam kasus yang menimpa Jaksa Pinangki terkait suap perkara kasus
Djoko Tjandra. Rentetan fakta yang ada, menampakkan suatu kondisi bahwa Jaksa
Pinangki selaku Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II, telah menerima gratifikasi
berbentuk uang suap dari Djoko Tjandra sekitar 500.000 dollar Amerika Serikat,
yang dilakukan ketika ia melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin.
Yohanes
Suhardin (2009) menjelaskan bahwa, gratifikasi yang diterima lembaga peradilan
ini sering terjadi ketika perangkat peradilan belum independen dan imparsial.
Sehingga, penegakan hukum yang dilakukan menjadi inkonsisten dan diskriminatif
dan jauh dari titik satisfactory.
Di
samping itu, penyakit hukum pemberantasan korupsi itu terdapat di dalam diri
institusi lembaga peradilan itu sendiri, seperti yang sudah dijelaskan Denny
Indrayana (2008). Apabila hal ini tidak segera dibenahi oleh para elite penegak
hukum, maka bisa saja berdampak pada hilangnya kepercayaan publik terhadap
lembaga-lembaga peradilan termasuk Kejaksaan Agung.
Direktorat
Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam buku saku Memahami
Gratifikasi, menjelaskan bahwa pemberian gratifikasi yang diterima oleh
penyelenggara negara adalah salah satu sumber penyebab timbulnya konflik
kepentingan. Konflik kepentingan yang ditimbulkan dari pemberian gratifikasi
antara lain adalah vasted interest dan kewajiban timbal balik atas
sebuah pemberian. Sehingga, independensi penyelenggara dapat terganggu. Selain
itu, penerimaan gratifikasi dapat digunakan sedemikian rupa untuk mengaburkan
terjadinya tindak pidana korupsi.
Bisa
disimak dalam kasus Djoko Tjandra, oknum aparat kepolisian bahkan Kejaksaan
Agung terindikasi terlibat dalam melindungi atau membantu pelaku melarikan diri
serta bebas dari hukum. Lebih parahnya lagi, Kejaksaan Agung sempat hendak
mengeluarkan aturan Pedoman Kejagung No. 7 Tahun 2020, tentang pemanggilan
hingga penahan jaksa yang diduga terlibat tindak pidana hanya dapat dilakukan
atas seizin Jaksa Agung.
Peraturan
tersebut dicabut kembali oleh Jaksa Agung melalui Keputusan Jaksa Agung RI No.
163 Tahun 2020 tanggal 11 Agustus 2020. Peraturan tersebut dicabut karena
banyak menuai polemik dari masyarakat, serta menimbulkan sinisme publik karena
dikeluarkan ketika Jaksa Pinangki terdeteksi ikut andil dalam kasus Djoko
Tjandra.
Menurut
Hibnu Nugroho (2019), gratifikasi sering terjadi ketika terdapat hubungan kerja
atau kedinasan antara pemberi atau pejabat yang menerima. Atau semata-mata
karena keterkaitan dengan jabatan atau kedudukan pejabat tersebut. Dalam arena
negara hukum yang menempatkan lembaga peradilan sebagai penentu bersalah atau
tidaknya seseorang atas perbuatan yang dilakukannya, penerimaan gratifikasi
oleh pejabat lembaga peradilan dapat berlangsung sedemikian rupa antar elite
penegak hukum dengan berbagai kelompok kepentingan.
Penerimaan
gratifikasi ini, bisa menjadi tindak pidana korupsi ketika digunakan untuk
tujuan kepentingan seseorangg untuk melindungi pelaku dari jerat hukum di
pengadilan atas kejahatan yang dilakukan. Akibatnya, putusan pengadilan yang
dihasilkan sering kali tidak sesuai dengan pelanggaran atau kejahatan yang
dilakukan.
Oleh
karena itu, lubang-lubang yang memungkinkan kemunculan penerimaan gratifikasi
harus segera disumbat dengan suatu usaha institusionalisasi lembaga peradilan
yang mengedepankan kejujuran, profesionalitas, dan akuntabilitas untuk
menciptakan lembaga peradilan yang berintegritas. Para elite hukum, terutrama
aparat kepolisian dan Jaksa Agung, harus didorong untuk lebih serius dalam
setiap penanganan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia.
Upaya
tersebut bisa diawali dengan mengharuskan semua perangkat hukum, khususnya para
hakim untuk memperhatikan kode etik dan perilaku hakim sedunia, serta
berperilaku sesuai dengan kode etik aparat peradilan dan ketentuan
perundang-undangan. Integritas lembaga peradilan, harus ditingkatkan dengan
cara menempatkan kepentingan bangsa dan masyarakat di atas kepentingan pribadi,
kelompok, maupun golongan.
Sebab,
dari sanalah suatu perangkat hukum bisa dinilai memiliki integritas dalam
berperilaku, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara hukum senantiasa sesuai
dengan nilai-nilai hukum, keyakinan, dan prinsip sebagai penegak hukum.
Institusionalisasi lembaga peradilan tersebut harus dibangun secara serempak
oleh hakim, jaksa, dan advokat agar komponen yang terlibat dalam sistem
tersebut menjadi lebih baik.
Akhirnya
sebagai penutup, tampaknya kita perlu merenungkan kembali sepenggal tulisan dari
Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Rumah Kaca sebagai berikut: “Kalau
ahli hukum tak merasa tersinggung karena pelanggaran hukum, sebaiknya dia
menjadi tukang sapu jalanan!”
Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga. Bisa ditemui di Twitter: @IrfanProfesor
1 komentar