Datang Lalu Menghilang
Penulis: Khaerul Anwar
Rinai itu
menggenang, memaksa berpaling pandang
Menghadapmu yang
turun menjelmakan hujan
Air
di daun itu mulai menguap. Sudah lama rupanya. Sehabis hujan tadi pagi, kini
menjelmakan siang yang terik namun teduh. Tanah itu masih belum kering. Masih
ada yang menggenang. Di beranda, aroma tanah itu tercium. Sangat harum. Bau dua
cangkir kopi dengan pisang goreng yang tergeletak di hadapanku pun kalah.
Aku
ceritakan tentangmu kepada temanku. Tentang bagaimana kamu datang lalu
menghilang. Seperti hujan pagi ini, ketika awan tiba-tiba mendung memunggungi
matahari dengan air yang turun dengan tetes demi tetes yang cepat silih
berganti. Sehabis itu mendung itu hilang bergantikan awan putih yang pawai
berdampingan. Tentu sang mentari pun ikut menjadi pemandu. Kamu harusnya
seperti itu, bukan sebaliknya.
Aku
kira dia hanya ragu saja, kata temanku. Kalau ragu kenapa tidak sekalian saja
hilang lalu mati, tanpa harus menyapa kembali di awal bulan. Bukankah itu
sangat tidak berperasaan? Korek api dan rokok memangkas ceritaku tentangmu
barang sejenak. Asapnya melayang melewati ranting pohon. Sangat estetik ketika
terpapar sinar matahari. Memaksa mata mengikuti. Sedang ini, satu pasang mata
menyoroti menunggu apa ucapanku selanjutnya.
Dua gelas kosong
Satu di antaranya
telah penuh
Tanah
terjal di gunung itu menjadi saksi. Saat senyummu merekah memandangiku yang
penuh peluh. Semacam semangat, dari seorang yang kuangan-angankan sebagai
pendamping hidupku. Kamu menyeka keringat. Aku tahu kamu lelah, menanjakkan
kaki yang asing bagimu; penuh kerikil, tanah tidak rata, dan harus menyunggi
beban. Bukankah itu yang kamu idam-idamkan saat aku mengajakmu. Melepas penat
dari hidup yang tak bersandar padamu. Menjelajahi alam yang hijau nan tenang,
membuatku tak mau pulang, ucapmu barusan. Tapi keringat itu jujur menetes
melewati pipi dan mengalir ke dagu dalam bisu. “Butuh istirahat?”, tanyaku.
Kamu mengangguk.
Ini
pendakian keduaku denganmu. Setelah bulan lalu di gunung daerah Wonosobo, yang
di mana kau tertidur begitu pulasnya di atas motor. Bersandar di bahuku dengan
helm mungilmu itu. Kucengkeram tanganmu erat. Aku tak mau kulitmu lecet sedikit
pun. Perjalanan itu membuat tanganku tak mau melepaskannya barang sejenak.
Kucoba atur spion hanya untuk melihat wajah pulasmu. Bukan sebuah kecerobohan
karena tak bisa memandang ke belakang, tetapi kesempatan yang harus dilakukan.
Begitulah caraku bekerja untuk mencintaimu.
Setelah
meneguk air dari botol dan beristirahat barang sejenak, kita mulai berjalan
lagi. Sekarang berbeda kamu di depan dan aku mengikutimu dari belakang.
Setidaknya aku tidak hanya menjulurkan tangan kepadamu, melainkan aku juga siap
mendekapmu saat kau mulai goyah. Menuntun saja tak cukup. Sebagai lelaki aku
juga punya tanggung jawab untuk menjaga dari apa pun yang membuatmu menangis.
Karena tangismu akan kubendung dengan tanganku, agar kedua tanganmu bebas
memelukku.
Tenda
sudah didirikan, setelah perjalanan panjang dan keringat bercucuran. Wajahmu
tersenyum puas. Aku pura-pura tak melihat. Naif memang. Aku terlalu malu untuk
melihat senyum itu. Senyum yang hanya bisa kulihat ketika berada di tempat yang
jauh dari kerumunan, tepatnya senyum intim yang jarang sekali kamu umbar di hadapan para lelaki hidung
belang. Segera aku keluarkan beberapa makanan untuk dimasak. Kamu mendekat dan
menawarkan bantuan. Aku berkata kepadamu untuk istrahat saja dulu. Lalu dengan
seenak saja tanganmu merampasnya dengan senyum manis itu. Biar aku saja, aku
wanita. Kamu bisa membantu kalau mau, katanya sembari berlalu. Tak sadar aku
tersenyum melihatnya begitu kukuh. Semoga senyummu bukan hanya di sini saja,
ucapku lirih.
Pukul
tiga pagi aku membangunkanmu. Seraya berucap puncak itu menantimu. Kamu bangun
dengan keluh. Meyuruhku untuk menunggu dan bertanya apa saja yang dibawa. Aku
tersenyum pada dingin yang membuat murung. Serasa udara berubah hangat
mendengar kamu bertanya.
Aku
menuntunmu dalam gelap. Dalam jejak yang dijadikannya tanda bisu bahwa kita
pernah di sini. Puncak sudah kian dekat, sudah dua jam kaki ini berjalan.
Perutku sakit katamu setengah berbisik. Aku mencoba tenang, hakikatku menuntun
dan menjaga. Kupegang erat tanganmu, lalu tangan itu mencoba merangkul. “Sebentar
lagi kawanan awan akan menantimu, bukankah kau ingin disambutnya?”, ucapku
kepadamu. Wajahmu memerah. Air mata itu masih tersisa. Senyummu getir ke arahku.
Seolah berucap terima kasih. Aku hampir menitikkan air mata. Entah bahagia atau
perasaan lega. “Sama-sama”, kataku lirih hampir tak bersuara.
Jiwaku lebur dalam
air anggur
Mengutukmu yang tak
kunjung bangun
“Ah
kau harus meneleponya sesekali. Kalau cuma diam buat apa? Apa kau tak merasakan
jiwanya merindukanmu?”, tanya temanku dengan rokok yang menempel di belah
bibirnya. Bukan sesuatu yang mudah. Setelah pendakian itu kita jarang bersapa atau
sekedar mengirim pesan. Tak enak hati. Takutnya aku hanya mengganggu.
Burung-burung hantu melek ketika malam, begitu pula aku yang selalu bangun
terjegal oleh seonggok rindu kepadamu. Entah kamu juga sama sepertiku atau
malah sebaliknya. Acuh saja, seolah tak terjadi apa-apa.
Pikiranku
berkeliaran kemana-mana. Penuh jerit pertanyaan, sangkaan, dugaan, bahkan
tuduhan. Mungkin kamu sudah memiliki kekasih baru. Lalu aku sebagai pelarian
saja. Mungkin juga kamu tak menyukaiku. Sekedar memanfaatkan saja, kalau kamu
butuh hiburan. Bagaimana dengan tangan yang tak mau lepas kala turun dari
puncak itu. Sekedar butuh pertolongan atau hanya iba melihatku berpeluh. Semua
kata negatif terangkum dalam satu kepala yang utuh.
Kamu
menghilang begitu saja. Kalau bumi ini yang menelan, akan kucari kamu sampai
dapat. Tapi bagaimana bisa kamu tak tertelan dan masuk ke dalamnya? Atau kamu
hanya sembunyi di tempat sunyi, masih di atas bumi? Takut menghadapku dan
menerima kosekuensi atas perbuatanmu yang membuatku setengah gila. Hilangmu tak
wajar, ditenggelamkan air lalu mati, sayangnya orang yang mati itu akan
mengambang.
Benar
saja. Suatu malam kamu kembali dengan pesan singkat, dilanjutkan dengan
segudang curhat. Sejenak ada secercah senyum dalam hati. Kamu mencoba menolongku
dari lubang rindu yang kasar itu. Tak sabar aku ingin bertemu, kataku. Kamu
tidak menjawab.
Lambat laun daun
yang keruh jatuh
Menghadap tanah,
telah bersedia berbaur
“Ajaklah
dia untuk bertemu. Bukankah itu hal yang lumrah?”, kata temanku memberi saran. “Aku
pun berpikir demikian.” Sebagai seorang teman wajar saja mengajak kamu untuk
berbincang. Tetapi seperti bisikan setan di siang bolong. Apakah kamu mau
menemuiku? “Tentu saja ia akan meluangkan waktu, jangan khawatir begitu”, balas
temanku sembari pamit pulang dan meninggalkan batang rokok yang masih menyala
di asbak.
Aku
bersiap dengan kemeja rapiku. Sedikit parfum dan sedikit bilah pada rambut. Aku
mengirim pesan kepadanya; kutunggu di warung biasa, ada yang inginku
bicarakan. Aku segera menuju warung yang biasa aku dan kamu bertemu.
Setelah pesan es kopi, aku duduk termenung sendiri. Detik jam memaksaku untuk
terus gelisah.
Pukul
empat belas lebih lima. Kamu belum membalas. Kucoba melihat ponsel. Foto
profilmu tak nampak. Serta pesanku yang tak sampai.
2.8.2020
Hari
ini rindu datang menghampiri,
Posting Komentar