Bayangkan jika Mahasiswa Mayoritas Pragmatis
Mahasiswa adalah tokoh penting dalam suatu pembangunan negara.
Tanpa adanya peran mahasiswa, negara kita mungkin akan tambah rusak dan bobrok.
Sebab, kesewenangan dan kekuasan akan
liar membabi buta, penindasan yang terstruktur akan merajalela, itulah
kemungkinan yang akan terjadi.
Dampaknya adalah, mereka yang tak punya kuasa akan tertindas. Atau bisa dikatakan
yang paling dirugikan tanpa adanya bantuan. Mereka bisa dari siapa saja, tanpa menutup
kemungkinan. Akhirnya, nilai-nilai
kemanusian dan kebenaran menjadi rekayasa kepentingan milik sang penguasa.
Karena yang kaya makin berkuasa, dan yang miskin semakin menderita. Seperti hukum rimba tanpa ada yang merubahnya dan
yang mengcounternya.
Ketika mahasiswa yang merupakan komunitas yang dianggap lebih maju secara intelektual, dan mereka tak
merespon permasalahan kesenjangan sosial-politik di masyarakat, lantas siapa
yang memegang kontrol kekuasaan arus masyarakat? Tentunya adalah
orang yang punya kuasa, dan dengan begitu mereka bisa bebas melakukan apa saja.
Karena tak ada yang mengawasi dan mengawal kinerja mereka.
Apa yang bisa dilakukan oleh orang yang punya kuasa? Perlu
diketahui, ‘kekuasaan’ merupakan salah satu kemampuan yang mampu mempengaruhi dunia. Lantaran dengan kekuasaan seseorang atau
kelompok tertentu bisa mengakses berbagai jaringan,
pengetahuan, teknologi, dan massa dengan lebih mudah daripada yang lainnya.
Andai kata berbagai privilege tadi digunakan
untuk memperkaya diri, maka, memobilisasi arus massa akan lebih mudah untuk melancarkan sebuah kepentingan. Hal ini bisa
melahirkan produk-produk sistem penindasan yang struktural.
Seperti, produk hukum yang tidak bisa menjerat kepentingannya.
Alhasil, hukum menjadi timpang dengan slogan tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Selain itu apa? Produk budaya, KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), sebuah budaya yang
membodohkan yang menghalalkan segala cara demi uang. Dengan demikian,
semua kepentingan itu bisa diatur kalau ada uangnya.
Kalau produk budaya masih belum cukup, produk sosial. Ciptakan
masyarakat yang apatis dengan urusan politik. Biar urusan panggung politik diwakilkan
oleh elite-elite yang terpercaya dan kaum teknokrat. Giring masyarakat jangan sampai berpikir kritis, sibukkan mereka
dengan kebutuhan hidupnya. Batasi akses mereka dalam ikut campur politik.
Jadi, bagaimana jika mahasiswa yang sebagai ujung tombak negara
sekaligus penerus bangsa di era sekarang ini, tak melek akan realitas sosial dan politik?
Perlu sahabat ketahui, realitas yang kita hadapi ini bukanlah sesuatu yang
tidak bebas nilai dan bebas kepentingan. Karena realitas sosial terus bergerak maju mengkonstruksi
kehidupan.
Realitas sosial bukanlah suatu bawaan dari Tuhan, tapi
bentukan dari satu individu ke manusia yang lain. Ia membawa kepentingan,
harapan, dan cita-cita dalam pergerakannya. Realitas sosial bisa pula dikatakan
sebagai gelanggang pertarungan ideologi dan budaya.
Mahasiswa Now
Tidak kuat saya membayangkan, bagaimana jika mahasiswa tertidur pada saat dunia
sedang pelik dengan penuh masalah. Seperti mahasiswa yang tidak lagi kritis
melihat kinerja pemerintah. Atau mahasiswa yang tak lagi peduli terhadap
problematika masyarakat.
Inilah yang mungkin sedang terjadi dalam dilema idealis mahasiswa
saat ini. Karena apa? Tantangan mahasiswa saat kini amatlah kompleks. Banyak
benturan dengan realitas pribadi ketika mahasiswa harus memperjuangkan idealisnya.
Pertama, desakan ekonomi. Ini adalah masalah krusial sebelum terjun
dalam berjuang. Karena kita tahu, bahwa semua kehidupan saat ini telah serba
materi. Maka, ekonomilah yang menjadi tolak ukurnya.
Hingga kadang, ada suatu kewajaran dalam idealis mahasiswa. Bahwa idealis pun bisa juga digadaikan dengan
nominal. Kita seakan tak berdaya dan dipaksa tunduk dengan serba keterbatasan
oleh uang. Maka saya tak heran, jika ada mahasiswa yang suka cari proyek-proyekan
di pemerintahan.
Mereka lebih suka menyoroti anggaran yang bisa mendatangkan sebuah kerja sama. Daripada mengoreksi produk kerja-kerja pemerintahan. Biasanya,
pelakunya adalah aktivis dari mahasiswa. Karena mereka mempunyai organisasi
yang berbasis massa. Dengan massa, mereka bisa memudahkan dan melanggengkan
kepentingan elite penguasa.
Mereka berpikir sepraktis-praktisnya agar tak menimbulkan banyak
masalah dan menjadi beban pemerintah. Karena, prinsip-prinsip idealis kebenaran
hanya akan jadi duri dalam tubuhnya, tanpa ada keuntungan. Lebih baik, menjalin
hubungan sinergi dengan mutualis simbiosis yang saling menguntungkan dengan
pemerintah. Toh, kalau mengkritik pemerintah terus kan tidak ada manfaatnya.
Ironis melihatnya, tapi inilah yang sering terjadi di negara kita
ini. Slogan "aktivis berani mati tapi takut lapar" mungkin itulah
realitanya. Ya mengutip kata Tan Malaka, “idealisme adalah kemewahan terakhir
yang hanya dimiliki oleh pemuda.” Tapi idealis itu hanyalah kemewahan berpikir dan tak dapat
mengenyangkan perut yang sedang lapar.
Intinya, sulit bagi mahasiswa bisa berjuang dengan
idealisme yang tanpa menghasilkan uang. Apalagi biaya kuliah dan kebutuhan
hidup yang masih menggantung dan butuh dicarikan solusinya. Hal inilah yang kadang jadi hambatan
untuk diselesaikan terlebih dahulu.
Kedua, jaminan masa depan. Apakah ada jaminan sukses ketika mahasiswa
murni berjuang untuk rakyat? Tidak ada kepastian jaminan, yang ada hanyalah kepentingan. Untuk
itu, perjuangan idealis mahasiswa terkadang terbentur akan keadaan dan situasi
yang memberikan pilihan tentang realitasnya sendiri.
Jika kuliah dianggap salah satu
bentuk jaminan masa depan untuk pekerjaan, tak ayal jika idealisnya orang kuliah
yang baik adalah dapat ijasah, dapat pekerjaan, dan dapat pasangan. Lengkap
sudah tahapan masa depan yang cerah, karena kehidupan pada umumnya seperti itu.
Mereka terbawa berpikir sama seperti anjuran pemerintah saat tahun 1960-an,
bahwa mahasiswa hanyalah fokus study oriented saja, tanpa perlu banyak ikut campur urusan politik negara.
Apakah ini menjadi bentuk perubahan zaman atau kemunduran
pendidikan? Karena saya banyak menemui mahasiswa sekarang yang abai terhadap
perubahan sosial-politik. Entah itu "aktivis mahasiswa" atau
"mahasiswa akademis". Mereka lebih asyik berada dalam zona nyaman
dunianya sendiri untuk merangkai masa depannya. Kalau pun ada, itu termasuk
mahasiswa yang langka.
Hari ini, kita memang sedang dilanda wabah penyakit Covid. Semua
aktivitas dibatasi, dan banyak yang terkena dampaknya. Mulai dari pekerjaan, pendidikan, dan banyak hal lain mulai beradaptasi dengan model online. Di tengah situasi seperti ini, harapan saya semoga
pergerakan mahasiswa tetap berani membongkar dan mengcounter
kebusukan elite penguasa
Pasalnya, setiap sikap yang diambil mahasiswa sedikit-banyak menentukan perubahan sosial di sekitarnya. Meski diam sekalipun tanpa menegaskan posisi, mereka telah terlibat menentukan perubahan masyarakatnya. Bahwa realitas sosial selalu bergerak dinamis maju untuk mengkontruksi masa depan.
Bisa ditemui di Facebook: punkrock_alvin@yahoo.co.id, Instagram: catatan_fahlevi
0 Response to "Bayangkan jika Mahasiswa Mayoritas Pragmatis"
Post a Comment