Topeng, Kesepian, dan Kekecewaan
Identitas buku
Judul: Semusim,
dan Semusim lagi
Penulis: Andina
Dwifatma
Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama
Tahun: April,
2013
Halaman: 232
Menjadi sebuah
keniscayaan, dalam fase peralihan seorang remaja menuju dewasa awal, banyak
kejadian membingungkan yang akan ditemui. Serangkaian peristiwa tersebut, ada
kalanya bermanfaat untuk bekal di kemudian hari. Akan tetapi, ada juga yang
malah menjebak dan merubah total rencana yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Tentu, tidak akan menjadi masalah apabila kita sudah bersiap diri sedari awal.
Yang menjadi masalah ialah, jika kita tidak pernah menyadari segala kemungkinan
yang akan terjadi.
Terbilang
sangat lumrah, fase remaja adalah fase labilnya seorang manusia. Manusia yang
paling hati-hati sekalipun, setidaknya pernah mengalami yang namanya kelabilan,
meskipun hanya sekali dalam seumur hidupnya. Hal ini tampaknya adalah fase yang
wajib kita lalui, dan bisa jadi sangat sulit untuk kita lupakan nantinya.
Sebagai seorang mahluk dan individu yang pasti punya kekurangan, alangkah
eloknya jika kita selalu belajar dari pengalaman, bukan? Terlebih jika
pengalaman yang didapat bukanlah pengalaman menyenangkan dalam kacamata
pribadi.
Apa jadinya,
jika ada sebuah novel yang membedah pengalaman pahit dengan cara yang amat
tidak biasa? Seperti meletakkan manisnya kehidupan di depan, lalu dibanting
untuk menghadapi yang namanya kenyataan. Semacam jebakan yang menyesatkan,
tetapi mencerahkan pada akhirnya. Begitulah setidaknya sedikit yang saya pahami
dari novel karya Andina Dwifatma. Novel yang berjudul Semusim dan Semusim
lagi ini, bagi saya adalah novel yang menyuguhkan realitas yang tidak
sekadar alternatif, tetapi juga berusaha melampaui kerelatifannya.
Novel ini,
secara garis besarnya mengisahkan seorang gadis remaja, yang baru lulus SMA dan
hendak melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Kisah yang tertuang dalam
novel ini, adalah waktu di mana sang gadis menghabiskan waktu liburannya. Sang gadis
yang menjadi tokoh utama, seakan mengajak kita menelusuri segala keunikan yang
ada di dunia. Mulai dari sejarah kopi, hubungan keluarga, sampai rasa kesepian
yang teramat akut. Dari sang gadis lah pada akhirnya kita bisa belajar, tentang
kekecewaan yang terakumulasi dan yang terpendam begitu lama bisa meledak kapan
saja.
Bagi saya, novel
ini seperti buku panduan, yang secara utuh membedah fase peralihan kehidupan seseorang.
Andina menempatkan banyak realitas yang kontradiktifi di dalamnya, tetapi semua
realitas tersebut masih dalam taraf yang masuk akal. Secara tidak langsung,
kisah sang gadis bisa digolongkan sebagai Quarter Life Crisis.
Sebagaimana
yang kita ketahui bersama, Quarter Life Crisis adalah fase gamangnya
seseorang menuju usia seperemat abad. Dalam fase ini, akan muncul
ketakutan-ketakutan yang entah dari mana—bisa dari trauma, guncangan, tekanan
jiwa, dan tekanan mental—dan anehnya datangnya juga secara tiba-tiba. Buku ini
juga semacam alat terapi yang menyegarkan. Dari semua kisah tokoh yang ada di
dalamnya, membuat kita percaya bahwa segalanya tidak akan pernah baik-baik
saja. Akan selalu ada gesekan dan benturan dari setiap individu, termasuk dalam
keluarga sekalipun.
Novel ini
adalah karya dari seseorang yang sangat luas dan dalam pengetahuannya. Hal ini
terbukti dengan banyaknya unsur yang dimasukkan oleh Andina dalam novelnya ini.
Mulai dari teori penciptaan atau asal-usul, kritiknya terhadap Orde Baru, teori
hegemoni, unsur sejarah, sampai dengan kristenitas. “Itu adalah hari yang tidak
akan kulupakan seumur hidup, hari yang akan menjadi awal dari rangkaian
kejadian yang mengubahku menjadi seseorang yang sangat berbeda. Seakan hari itu
aku masuk ke mesin dan keluar menjadi bentuk yang sama sekali lain” (hlm. 10).
Sang gadis
dalam novel ini, yang awalnya berniat menjadi ahli sejarah di kemudian hari,
tampaknya harus menunda keinginannya tersebut. Lantaran ada kejadian di luar
prakiraannya pribadi dan orang-orang di sekelilingnya. Lebih tepatnya lagi jika
disebut sebagai rangkaian peristiwa tak terduga dan tidak diharapkan, yang
memaksa sang gadis harus memikirkan ulang tujuan hidupnya. Pesan yang
disampaikan Andina ini, sepertinya tersirat, tetapi sangat tepat untuk
menyadarkan, dan kemungkinan sangat jarang sebagian besar orang akan memahaminya.
Seperti ahli
sejarah pada umumnya, sang gadis tokoh utama di sini, menjadi orang yang selalu
ingin tahu asal-usul sesuatu. Tidak hanya hal-hal besar semata, akan tetapi
sampai hal terkecil pun juga dicari tahu olehnya. Kebiasannya ini bisa kita
simpulkan sebagai sesuatu yang istimewa untuk anak pada umumnya, dan menjadikan
sang gadis sebagai orang yang expert pengetahuannya dibanding anak-anak
seumurannya.
Kritik sang
gadis terhadap Orde Baru tampaknya juga sepele dalam kacamata awam, yaitu hanya
pada urusan rambut. Akan tetapi, siapa yang menyangka kalau urusan rambut ini
juga tanda superiornya Orde Baru pada waktu itu. Secara tidak langsung, Andina
juga menghajar tegas hegemoni yang dilancarkan oleh Orde Baru, yang menjadikan
lambang kerapian, keteraturan, dan kepatuhan adalah kehendak umum. Sebab, sulit
untuk menampik bahwa, sifat alamiah manusia itu tidak suka dikekang dan
dilarang sampai sedemikian rupa.
Tidak berhenti
sampai di situ, saya pribadi merasa beruntung telah menyelesaikan melahap buku
ini, dan merasa agak kesal setelah sadar kalau saya cukup telat mengetahui dan
membacanya. Seperti yang sudah saya singgung di atas, buku ini tidak sekadar
menceritakan kecerdasan remaja perempuan semata. Lebih dari itu, buku ini
sangat membantu pengetahuan musik saya yang sangat minim. Melalui buku ini pula
saya merasa dekat dan merasa paham kenapa Bob Dylan setenar itu, terlebih
karena kepeduliannya terhadap kemanusiaan.
Selanjutnya,
bisa dibilang kalau buku ini juga sedikit merubah cara pandang saya terhadap
puisi. Yang awalnya belum ingin menyelami puisi karena tingkat kesulitannya,
beralih menjadi harus segera melahap buku puisi yang mampu menggetarkan jiwa. Terakhir,
buku ini semacam ensiklopedi tentang buku pula. Buku ini menyimpan begitu
banyak referensi buku yang saya rasa wajib untuk dibaca. Hal ini juga
menandakan kalau Andina adalah pembaca gila jika meminjam istilah Seno Gumira
Ajidarma.
Saya pribadi
sangat menganjurkan buku ini dibaca oleh siapa pun. Alasannya sangat simpel,
lantaran buku ini adalah buku yang mengajak kita membuka topeng (identitas),
yang kemungkinan besar kita sendiri tidak mengetahuinya. Buku ini juga
menegaskan apa yang pernah saya bincangkan dengan seseorang, bahwa pada
dasarnya manusia itu memiliki tiga topeng (identitas). Ketiga topeng ini akan
selalu ada, karena persoalan identias bukan sebatas rahasia pribadi, namun juga
menjadi kekuatan tersendiri bagi kita untuk menjalani hidup yang absurd ini.
0 Response to "Topeng, Kesepian, dan Kekecewaan"
Post a Comment