Selagi Menjadi Hamba tidak Ada yang Benar
Penulis: Alfiya Alfan
Di dunia ini, kita hampir punya keresahan yang sama tentang banyak hal
dalam hidup dan kehidupan. Maka tidak menjadi istimewa sebuah suka-duka,
seperti yang dibahasakan dalam bait puisinya WS. Rendra.
Lalu, untuk apa meresahkan segala yang terjadi pada diri? Toh, segalanya sudah berada dalam
regulasi Tuhan. Bukankah lebih baik kita tambah mendalami rasa syukur dan
penghambaan kita kepada sang Kholiq?.
Ayolah, jangan terlalu serius menyikapi hal-hal yang seolah merugikan diri.
Padahal tak ada segala sesuatu yang mampu merugikan diri selain hilangnya rasa
cinta kepada Tuhan.
Apa pun alasannya, merasa teraniaya dengan perilaku orang terhadap kita,
bukanlah sikap yang baik dalam mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan kepada
kita. Walaupun alasannya adalah memberikan edukasi terhadap orang lain agar
tidak melakukan hal sama dalam kondisi dan objek lain.
Dengan kita memosisikan sebagai yang teraniaya, sejak saat itu pula, kita
tanpa menyadari telah meletakkan orang lain di posisi sebagai pelaku kejahatan.
Lalu, apakah yang demikian laku bersosial?
Apalagi di era globalisasi seperti sekarang ini, tentu kehati-hatian kita
beraktivitas media sosial seharusnya lebih awas. Sebab, efek negatif yang bisa
ditimbulkan sama besarnya dengan nilai positif yang menyertainya.
Maka dari itu, amatlah penting kita sanggup memfilter bahasa yang hendak
kita keluarkan. Supaya tidak menimbulkan syakwasangka yang tidak sejalan dengan
kehendak kita pra-melontarkan kata kepada khalayak ramai.
Sebab, media sosial sebagai produk globalisasi yang kita hadapi saat ini,
tidak bisa dianggap enteng peranannya dalam kehdiupan masyarakat. Karena kita
sudah tahu efek dan nilai baiknya, selayaknya kita menghadirkan nilai posisitif
yang tidak memiliki potensi lain, sehingga tidak mudah dijadikan alat memenuhi
eskpektasi publik utamanya dalam kejahatan.
Bila efek buruk yang justru terjadi, kebanyakan dari kita mengambil langkah
terakhir dengan mengembalikan segala urusan kepada Tuhan. Sementara laku kita
sepanjang hari, hanya memberikan peluang kepada orang lain untuk menemukan cela
dari lemahnya kita sebagai manusia.
Sikap semacam ini tentu perlu dikaji ulang. Sebenarnya, Tuhan itu bertugas
sebagai pemberi laknat atau Tuhan tempat kita berpasrah akan segala sesuatu?
Logika sederhanya begini, jika tidak menginginkan hal-hal terburuk dari
media sosial, maka hentikan sejak saat ini melakukan aktifitas dalam dunia
medsos. Kembalikan marwah diskusi dan berpendapat soal sesuatu ke warung kopi,
atau tempat-tempat lain yang tidak terekspos media sosial. Yang setidaknya memiliki
dampak sama dalam hal konstruksi pemahaman dan keilmuan itu sendiri.
Jika demikian, saya yakin tidak akan mudah bagi kita menjadikan Tuhan
sebagai alibi dalam menyelesaikan urusan-perkara yang kita lakukan karena
kelemahan kita sebagai manusia. Perhatikan kembali apa dan seperti apa kita
memamfaatkan media sosial. Sehingga, kita tidak buru-buru menyimpulkan dan
menyalahkan orang lain.
Tentu hal ini tidak mudah diterima. Sebab manusia dengan ego kebenaran yang
selalu dikedepankan, sering kali merasa paling benar terhadap semua urusan
hidup dan kehidupan yang dijalaninya. Padahal hanya Tuhan yang benar, selagi
masih menjadi hamba tidak ada yang benar di alam ini.
0 Response to "Selagi Menjadi Hamba tidak Ada yang Benar"
Post a Comment