Tentang Garis Demarkasi antara Sains dan Filsafat dan Kematian Metafisika
Monday, June 8, 2020
Edit
Penulis: Fitzerald Kennedy Sitorus
Beberapa hari belakangan ini, kita
membaca di halaman Facebook
lalu lintas pertukaran pikiran yang bersemangat mengenai sains. Picu yang
melatuk diskusi ini adalah pernyataan Mas GM, mengenai permasalahan-permasalahan
sains dalam sebuah seminar online yang berjudul “Berkhidmat kepada Sains”.
Pertanyaan ini kemudian ditanggapi oleh AS Laksana. Kemudian sejumlah tulisan
tanggapan lainnya bermunculan meramaikan pertukaran pikiran tersebut.
Sebelum seminar tersebut, perbedaan
pendapat tentang hubungan antara sains dan filsafat atau metafisika serta agama
juga sebenarnya telah terjadi dalam sebuah diskusi online pada 16 Mei 2020
lalu. Perbedaan pendapat tersebut melibatkan Nirwan Arsuka dan Hamid Basyaib di
satu sisi,
dan Mas GM, Romo Lili dan saya sendiri di sisi lain.
Secara singkat, Nirwan dan Hamid
berada pada posisi yang mengagungkan sains dan menganggap filsafat dan agama
tidak relevan lagi. Sementara
Mas GM, Romo Lili dan saya berpendapat bahwa sekalipun sains memang
menghasilkan kemajuan yang luar biasa dan berjasa besar bagi umat manusia, bukan berarti filsafat dan agama
menjadi tidak relevan.
Hal menarik dari
pernyataan-pernyataan dan tulisan-tulisan yang muncul dalam pertukaran pikiran
ini adalah munculnya klaim yang mengagungkan sains sedemikian rupa, dan menganggapnya sebagai
satu-satunya cara untuk memperoleh deskripsi yang paling baik mengenai
realitas. Klaim ini kemudian diikuti dengan pernyataan bahwa bidang-bidang
lainnya, seperti filsafat atau metafisika dan teologi, menjadi tidak relevan
karena tidak mampu menghasilkan pengetahuan yang ketepatan dan kepastiannya
sama dengan sains.
Klaim irrelevansi filsafat atau
metafisika dan agama ini sama dengan frase populer yang mengatakan bahwa
sekarang filsafat atau metafisika, dan juga agama, telah mati. Dengan
keunggulan metodenya dan dengan cerita kesuksesannya, kita dapat mengandalkan diri
semata-mata pada sains. Bahkan sudah pantas pula kalau sains menyombongkan
diri, demikian tulisan Nirwan Arsuka di Facebook.
Tapi, di sisi lain, ada juga tulisan
yang melihat sains dengan lebih realistis. Posisi ini mengatakan bahwa sains
memang menghasilkan banyak kemajuan dan memberikan sumbangan yang sangat besar
bagi umat manusia, namun ini tidak berarti bahwa sains tidak mengandung
kelemahan atau keterbatasan. Sains bukanlah segala-galanya. Sains hanyalah
salah satu cara dalam menyingkapkan
realitas. Dan oleh karena itu, kita masih tetap membutuhkan filsafat,
metafisika, agama, dan lain-lain.
Di tengah-tengah keriuhan
pembicaraan yang diwarnai dengan klaim-klaim tersebut saya melihat ada hal yang
masih luput dari perhatian, dan itu membuat pertukaran pikiran ini belum begitu
produktif. Yang luput itu adalah belum jelasnya batas-batas antara sains,
filsafat atau metafisika
dan agama. Seandainya batas-batas ini jelas,
maka menurut saya kita tidak lagi menganggap sains sedemikian hebat atau agung. Sedemikian agungnya, sehingga ia
dianggap pantas membuat metafisika dan agama menjadi tidak relevan.
Seandainya batas-batas ini jelas,
maka kita akan sadar bahwa, dengan segala keberhasilan dan kesuksesannya yang
memang tidak dapat disangkal, sains tetaplah sains, ia tidak mungkin melampaui
hakikatnya sekalipun ia sedemikian gemilang; dan sejalan dengan itu filsafat
tetaplah filsafat, dan agama tetaplah agama. Masing-masing memiliki wilayah,
metode, epistemologi dan tugasnya sendiri-sendiri.
Tulisan ini berusaha memperlihatkan
garis demarkasi antara sains, filsafat atau metafisika. Upaya itu saya lakukan
dengan memperlihatkan karakter-karakter keduanya. Di sini yang saya maksud
dengan sains adalah semua jenis ilmu pengetahuan, dan secara lebih khusus ilmu
pengetahuan alam. Saya juga tidak membedakan secara ketat antara filsafat dan
metafisika, sekalipun di dalam diskursus filsafat, kedua disiplin itu harus
dibedakan.
Obyek Material dan Obyek Formal
Untuk memperlihatkan demarkasi
tersebut, saya akan mulai dengan apa yang dalam filsafat ilmu disebut obyek
formal dan obyek material ilmu. Apakah yang membedakan sebuah ilmu dari ilmu
lainnya? Apa yang membedakan ilmu kedokteran dari ilmu psikologi dan dari ilmu
anatomi? Ketiga ilmu ini sama-sama meneliti tubuh manusia. Tapi mengapa mereka
berbeda sebagai ilmu? Apa yang membedakan ilmu ekonomi dan ilmu politik?
Keduanya sama-sama meneliti masyarakat, tapi mengapa mereka berbeda?
Setiap ilmu memiliki obyek material
dan obyek formal. Obyek material adalah obyek yang diteliti oleh ilmu tersebut. Sementara obyek formal adalah sudut
pandang atau perspektif yang digunakan oleh ilmu itu dalam meneliti obyek
materialnya. Obyek material ilmu-ilmu itu bisa
sama, tapi obyek formalnya pasti berbeda.
Ilmu kedokteran, ilmu psikologi, dan
ilmu anatomi memiliki obyek material yang sama, yakni tubuh manusia, namun
mereka memiliki obyek formal yang berbeda dalam meneliti tubuh manusia. Ilmu
kedokteran meneliti sistem-sistem mekanis dalam tubuh manusia, ilmu psikologi
meneliti kejiwaan, ilmu anatonomi meneliti struktur tubuh manusia.
Masyarakat juga merupakan obyek
material bagi banyak ilmu. Ilmu politik melihat masyarakat dari perspektif
penataan kehidupan bersama, ilmu ekonomi melihatnya dari perspektif cara-cara
masyarakat memenuhi kebutuhan hidup mereka, ilmu kriminologi melihat fenomena
kejahatan dalam masyarakat, dan lain-lain. Jadi, obyek formal itulah yang
membedakan sebuah ilmu dari ilmu lainnya.
Metode yang digunakan oleh setiap
ilmu kemudian tergantung dari obyek formal ini. Nah, sekarang apakah obyek
material dan obyek formal sains dan filsafat?
Sains
Obyek material sains atau ilmu alam
adalah dunia pengalaman empiris, sementara obyek formalnya adalah keterukuran
obyek-obyek empiris tersebut. Sains meneliti alam dengan tujuan agar
fenomena-fenomena alam itu dapat dikontrol, dijelaskan, dikendalikan atau
diprediksi. Dan untuk itu, sains berusaha mencari hukum-hukum yang dapat
menjelaskan fenomena-fenomena alam yang diteliti. Upaya mencari hukum tersebut
dilakukan melalui metode eksperimen, observasi, percobaan, perumusan teori dan
pengujian kembali teori tersebut ke dunia pengalaman empiris itu sendiri.
Berdasarkan karakter di atas, kita
dapat menentukan beberapa ciri yang terdapat dalam semua ilmu, yang
membedakannya dari filsafat.
Pertama, sains itu bersifat empiris,
artinya, obyeknya adalah bagian tertentu dari dunia pengalaman empiris (empirische
Erfahrungswelt). Empiris artinya berada di dalam ruang dan waktu. Kata “bagian tertentu” ini perlu digarisbawahi. Bagian
tertentu berarti bahwa yang diteliti hanyalah salah satu aspek dari dunia
pengalaman empiris itu.
Misalnya, mengenai virus, mengenai
gravitasi, mengenai gempa bumi, planet-planet, dan lain-lain. Bahkan penelitian
mengenai planet pun harus terfokus pada aspek tertentu dari planet tersebut,
misalnya strukturnya, dan bukan keseluruhan hal ikhwal mengenai planet
tersebut. Ilmu pengetahuan tidak mampu meneliti keseluruhan totalitas dunia
pengalaman empiris yang sedemikian luas.
Keterbatasan sains ini diakui oleh
para raksasa sains itu sendiri. Teori Relativitas Khusus Einstein (1905)
memperlihatkan bahwa,
tidak ada konsep mengenai keseluruhan (das Ganze) yang dapat dioperasionalkan, karena tidak ada sistem referensi
yang serba mencakup dan sempurna; yang ada hanya relasi-relasi dalam sebuah
sistem yang otonom.
Prinsip Ketidakpastian Heisenberg
(1927) bahkan mengatakan bahwa kita tidak mungkin memperoleh pengetahuan yang
lengkap mengenai sebuah system. Sebab keterfokusan pada dimensi yang satu telah menyebabkan
pengetahuan pada dimensi yang lain menjadi tidak mungkin.
Teorema Ketidaksempurnaan Gödel
(1931) juga mengatakan hal yang kurang lebih sama. Yakni bahwa isi kebenaran
sistem-sistem formal tidak pernah dapat seluruhnya ditangkap. Teorema Gödel ini
telah memvonis ketidakmungkinan mencapai sebuah sains universal yang dapat
menjelaskan seluruh semesta dengan model matematika (mathesis universalis).
“Ilmu pengetahuan tidak mungkin dapat
memahami sebuah totalitas; semua pengetahuan selalu limitatif, terbatas” (Philosophie und Wissenschaft, Hg.
Willi Oelmüller, 1988, hal. 120 dst).
Kedua, sains itu secara tematis
reduktif. Artinya obyek itu dilihat atau diteliti dari sudut pandang tertentu
(objek formal) yang terbatas, sedangkan sudut pandang lainnya diabaikan.
Sosiologi misalnya melihat manusia dari sudut pandang keberadaannya dengan
dengan manusia lain, dan mengabaikan aspek-aspek psikologis, mental atau
ekonomis dari manusia-manusia tersebut.
Sama halnya, sekalipun dewasa ini penelitian
mengenai neuron-neuron di dalam otak sudah sedemikian maju, hal itu tidak dapat
menjelaskan keseluruhan fenomena kesadaran (consciousness); fenomena mental
tidak dapat diindentikkan sepenuhnya dengan realitas fisikal-natural.
Ketiga, sains itu secara metodis
abstrak. Artinya, sains hanya meneliti obyek sejauh itu diizinkan oleh metode
yang digunakannya; metode itu mengabaikan (mengabstrasikan) bidang-bidang lain
yang berada di luar cakupannya. Ini karena sebelum sains meneliti obyeknya, ia
harus lebih dulu menentukan metode penelitiannya.
Bila kita misalnya meneliti kejiwaan
manusia dengan metode psikoanalisis, maka kita memberikan perhatian pada
dimensi-dimensi bawah sadar yang terdapat dalam diri orang tersebut, dan tidak
memperhatikan aspek-aspek lain dari kejiwaannya. Atau bila kita menganalisis
masyarakat dengan metode Marxis, maka kita memusatkan perhatian pada faktor-faktor
ekonomis atau pertentangan atau perbedaan kelas dalam masyarakat itu, dan mengabaikan faktor-faktor
lainnya.
Ungkapan “secara metodis abstrak” dan “secara tematis reduktif“ di atas
dapat diperjelas dengan contoh ilmu alam itu sendiri. Ilmu-ilmu alam dapat
mencapai kemajuan luar biasa pada zaman modern berkat penerapan metode baru,
yakni matematisasi fenomena alam. Artinya, fenomena alam ditangani secara
matematis.
Dengan metode ini, para saintis
berusaha mengkonversi dimensi-dimensi kualitatif menjadi kuantitatif, sehingga
dapat diukur. Misalnya, panas adalah sebuah dimensi kualitatif. Dalam ilmu alam
modern, panas diukur secara kuantitatif melalui termometer dan kemudian dapat
diungkapkan dalam bentuk angka-angka. Panas, yang tadinya kualitatif, menjadi
kuantitatif.
Ini sesuai dengan prinsip G. Galileo
(1564-1642) yang mengatakan: “semua yang dapat diukur, diukur secara kuantitatif, dan apa
yang belum dapat diukur, diusahakan untuk dapat diukur”.
Metode matematisasi obyek material
ini membawa jenis observasi dan pengujian eksperimental yang baru: ilmu
pengetahuan modern hanya mengenal alam dari sudut ke-dapat-diukur-annya (die
Meßbarkeit, measurability); alam dilihat dalam bentuk yang telah selalu
diukur. Inilah maksudnya bahwa sains melihat alam secara abstrak dalam bentuk
yang telah direduksi secara metodis ke dalam sebuah model matematika. Alam
dilihat dalam bentuk angka-angka.
Tapi, jangan lupa, alam itu sendiri
bukan model matematika, bukan model angka-angka. Alam itu sangat kompleks. Tapi
justru dengan itulah ilmu pengetahuan modern dapat berkembang dengan luar
biasa, menghasilkan banyak temuan baru, yakni ketika ia melihat alam secara
abstrak dalam model matematika (Anno Anzenbacher, Einführung in die
Philosophie, 1981, hal 22-26).
Jadi, keterbatasan ilmu itu bukanlah
sebuah kelemahan; justru itu adalah adalah kekuatannya. Dan justru karena sains
terbatas dalam mendeskripsikan realitas, maka kita juga harus menerima kompetensi bidang-bidang
(ilmu pengetahuan) lainnya dalam melakukan hal yang sama.
Sejarah kemudian memperlihatkan
bahwa cerita sukses ilmu-ilmu alam ini juga mempengaruhi bidang ilmu lainnya.
Metode kuantitatif ilmu alam kemudian diterapkan untuk ilmu-ilmu lainnya,
termasuk ilmu sosial dan ilmu humaniora.
Keberhasilan itu juga membuat sains
menjadi sedemikian percaya diri, seakan-akan ia berhak untuk berjalan sendiri,
dengan logikanya sendiri, dengan mengabaikan konteks sosial di mana ia berdiri.
Sains menjadi tercerabut dari dunia kehidupan (Lebenswelt). Ini kemudian
menjadi latar belakang munculnya kritik terhadap sains, antara lain dari
seorang ahli matematika dan filsuf, yakni Edmund Husserl. Ini juga disinggung
oleh Mas GM dalam tulisannya.
Kritik Husserl terhadap Sains
Anehnya, krisis sains itu bersumber
justru dari hal yang memberikan dia keunggulan. Sains berkembang karena bantuan
matematika, terutama geometri.
Di atas kita sudah melihat bagaimana
Galileo menekankan bahwa segala sesuatu harus dapat diukur. Galileo meyakini
bahwa satu-satunya jenis kepastian yang bisa diandalkan dan dipercaya
sepenuhnya hanyalah matematika. Karena itu, ia memisahkan secara definitif
antara ilmu fisika dan filsafat; dan sejalan dengan pemisahan itu, ia juga
memisahkan secara tegas antara kualitas-kualitas obyektif-primer dan kualitas
subyektif-sekunder. Yang penting hanyalah kuantitas primier seperti ukuran,
bentuk, bilangan dan kecepatan, sementara kualitas sekunder seperti warna,
suara, bau tidak relevan.
Galileo juga menolak otoritas apapun
sebagai kriteria kebenaran, selain observasi, eksperimen dan rasio matematis.
Galileo yakin bahwa kompleksitas alam nyata yang berubah-ubah dan kontradiktif
bisa dipahami berdasarkan hukum fisika-matematik yang sederhana. Tanpa
matematika, orang akan terlunta-lunta dalam labirin gelap, katanya.
Menurut Galileo, geometri
memungkinkan manusia mengatasi relativitas interpretasi subyektif yang sangat
mendasar dalam dunia empiris. Dengan geometri kita memperoleh kebenaran yang
identik, mutlak dan dapat diterima oleh setiap orang yang mengerti dan dapat
menggunakan metode tersebut. Sejalan
dengan konsep Plato mengenai adanya dunia ideal, Galileo mengatakan bahwa
matematika akan membebaskan pikiran dari sensasi, dan mengakrabkannya dengan
dunia pikiran murni serta membawa jiwa ke dalam ketinggian dunia idea.
Geometri adalah pengetahuan mengenai
hal-hal yang abadi. Dan kebenaran geometri itu sah secara absolut untuk semua
manusia, untuk semua zaman, semua orang, dan bukan hanya menyangkut hal-hal
faktual historis, tapi juga bagi segala sesuatu yang bisa dipahami. (lihat
“Asal-Usul Gemoteri” dalam die Krisis der europäischen Wissenschaften und
die transzendentale Phänomenologie, hal. 18 dst)
Ilmu berkembang karena bantuan
matematika atau lebih tepat geometri. Dengan geometri, maka sains melakukan
geometrisasi dunia kehidupan, semua diukur dalam kategori-kategori matematis.
Namun kolaborasi antara sains, matematika dan geometri ini kemudian menimbulkan
transformasi lebih jauh lagi, yang disebut Husserl dengan aritmetisasi
geometri.
Dengan kolaborasi tersebut, segala
proses kerja geometri tidak lagi dilakukan secara geometris (melalui
konsep-konsep spasio-temporal), melainkan secara aritmetis, yakni dengan
simbol-simbol matematis. Bila sebelumnya terjadi proses geometrisasi dunia
kehidupan, kini meningkat menjadi aritmetisasi geometri, bahkan aritmetisasi
dunia kehidupan.
Bila dalam geometri, misalnya, bumi
digambarkan sebagai benda bulat (dan kebulatan bumi di sini tentu sangat ideal,
sesuai dengan ide tentang kebulatan bumi), dengan aritmetisasi geometri, bumi
cukup digambarkan dalam angka-angka. Tinggi sebuah gunung tak perlu lagi
digambarkan, cukup dikatakan dalam angka. Benda panas tidak lagi dilihat
sebagai benda panas, melainkan cukup dalam skala sekian derajat, suara diukur
dengan satuan tertentu. Ini tak lain dari aritmatisasi dunia kehidupan.
Singkatnya, semua kualitas subyektif atau
mental dimatematisasi dan direduksi ke dalam simbol-simbol numerik. Formalisasi
universal inilah yang mengakibatkan sains terasing dari dunia dan yang kelak
mengakibatkan hilangnya makna kehidupan (Sinnentleerung). Sains
mereduksi dunia kehidupan ke dalam angka-angka, dan tercerabut dari dunia
kehidupan. Inilah krisis yang dimaksud oleh Husserl. (Die Krisis, hal.
45)
Di sini saya tidak berbicara
mengenai kritik filsuf Martin Heidegger terhadap sains dan ilmu pengetahuan.
Cukuplah dikatakan bahwa sekarang ini tak ada lagi bagian dunia kehidupan
sekarang yang tidak dipengaruhi atau ditentukan oleh sains dan teknologi. Dulu
teknisisasi dunia kehidupan itu berlangsung melalui sains (Technisierung
durch Wissen), tapi sekarang yang terjadi adalah teknisisasi sains itu
sendiri (Technisierung des Wissen selber). Artinya, sains berkembang
sedemikian rupa untuk melayani kepentingan teknologi; sains menjadi pelayan
teknologi, dan bukan lagi melayani manusia. (Philosophie und Wissenschaft,
hal. 65).
Filsafat
Bagaimana dengan filsafat? Berbeda
dari sains, filsafat tidak bersifat empiris, tidak reduktif secara tematis dan
juga tidak abstrak secara metodologis. Filsafat memang bertolak dari pengalaman
empiris, tapi ia justru menantang dan melampaui pengalaman empiris. Filsafat
juga bertolak dari akal sehat tapi ia bergerak melampaui akal sehat.
Pengetahuan akal sehat adalah
pengetahuan yang kebenarannya kita terima begitu saja, tanpa dibuktikan dan
tanpa dipertanyakan, berdasarkan kebiasaan atau pengalaman sehari-hari.
Filsafat menyadari bahwa pengetahuan akal sehat itu sering tidak sehat.
Obyek material filsafat adalah
keseluruhan kenyataan, bukan hanya bagian tertentu dari kenyataan, sebagaimana
sains. Filsafat mempertanyakan dan menjadikan apa saja sebagai bahan
refleksinya. Heidegger berfilsafat tentang alat-alat. Hegel dan Kant
berfilsafat tentang Tuhan (Filsafat Ketuhanan). Semua hal dapat menjadi obyek
refleksi filsafat. Bahkan ketiadaan (nothingness) itu sendiri.
Leibniz, Heidegger dan Hegel
misalnya merefleksikan ketiadaan dengan mendalam. Di Kyoto, Jepang, bahkan ada
Kyoto School of Nothingness. Mereka meneliti segala hal mengenai ketiadaan,
termasuk struktur ketiadaan itu sendiri. Dan ini kemudian menimbulkan
pertanyaan khas filsafat: kalau ketiadaan memiliki struktur, dan bahkan dapat
diteliti, apakah ketiadaan itu masih ketiadaan? Apa itu ketiadaan. Tapi ya
itulah kekhasan filsafat, sesuai dengan obyek materialnya.
Apa obyek formal filsafat? Tidak
lain dari sudut pandang yang sedalam-dalam dan seradikal-radikalnya. Filsafat
merefleksikan obyek materialnya secara sangat mendalam dan radikal. Jadi, kalau
sains bertolak dan berhenti pada pengalaman empiris, filsafat bertolak dari
pengalaman empiris dan melampaui pengalaman empiris itu. Filsafat tidak puas hanya
di permukaan, ia ingin mencapai struktur terdasar dari sesuatu (ontologi).
Filsafat juga tidak reduktif dari
segi tema. Sebelumnya telah dikatakan bahwa filsafat selalu berusaha memahami
segala sesuatu secara mendalam dan total. Oleh karena itu, filsafat selalu
mencari jawaban hingga ke wilayah non-empiris.
Tidak seperti sains yang mau tidak
mau terbatas pada pengalaman empiris, filsafat itu tidak pernah puas hanya
dengan mengetahui aspek tertentu saja, melainkan harus keseluruhan dari aspek
yang diteliti itu, termasuk syarat-syarat kemungkinannya. Itu yang membuat
filsafat menjadi ilmu yang mendalam dan menyeluruh. Karena itu, filsuf Jerman
Karl Jasper pernah berkata secara agak paradoksal bahwa filsafat memiliki die
Spezialität des Allgemeinen, artinya, bahwa spesialisasi filsafat adalah
yang umum.
Filsafat juga tidak abstrak secara
metodologis. Kalau sains hanya meneliti apa yang dimungkinkan oleh metode yang
digunakannya, tidak demikian halnya dengan filsafat. Bagi sains, metode itu
seperti alat yang digunakan untuk menganalisis obyek yang ditelitinya; alat itu
membatasi apa yang diteliti dan bagaimana penelitian itu berlangsung.
Sebaliknya, filsafat tidak asbtrak
karena ia tidak mengandaikan metode. Filsafat langsung merefleksikan secara rasional
obyek yang ditelitinya dan kemudian menentukan metode yang digunakan untuk
menganalisis obyek itu. Yang lebih berperan dalam filsafat adalah kekuatan
argumentasi. Justru karena filsafat tidak dibatasi oleh metode maka ia dapat
melahirkan metode-metode refleksi yang baru, misalnya fenomenologi, kritisisme
(Kant) atau dialektika. Metode-metode ini kemudian sering dipinjam oleh sains.
(Tentu dalam refleksi filosofis yang biasa, orang dapat mengikuti metode
tertentu).
Contoh-contoh Pertanyaan Sains:
Berapakah gigi beruang es? Dalam
kondisi bagaimana tembaga melebur? Siapakah penemu benua Australia? Seberapa
cepatkah benda padat jatuh? Seberapa berbahayakah tenaga atom? Bagaimana cara
meraih kekuasaan politik? Zat apakah yang dikandung oleh jamur? Apakah bahasa
Indonesia termasuk rumpun bahasa Melayu? Berapakah diameter bumi? Bagaimana
virus corona berkembang biak? Dst.
Contoh-contoh Pertanyaan Filsafat:
Mengapa ada Ada (Sein) dan
bukan Ketiadaan (Nichts)? Apakah itu pengetahuan? Apa itu kebenaran? Apa
itu manusia? Apakah kebebasan memungkinkan determinasi-diri? Apakah manusia
bebas? Apa itu yang baik secara etis? Apakah sejarah mempunyai makna dan
tujuan? Apa itu keindahan? Apakah manusia memiliki jiwa? Apakah Tuhan
bereksistensi? Ke mana saya setelah mati? Mengapa harus saya yang kena
covid-19? Apakah makna hidupku? Apa itu hidup yang baik? Apa itu adil?
Bagaimana aku harus hidup? Dst.
Pertanyaan-pertanyaan filsafat ini
tentu tidak dapat dijawab oleh sains. Sebab pertanyaan itu sendiri tidak menyangkut pengalaman
dunia empiris. Tapi jangan katakan bahwa pertanyaan itu tidak sah. Pertanyaan
itu sah karena menyangkut makna kehidupan atau realitas ultim kehidupan itu
sendiri. Sains, justru karena mereka bersifat khusus dan empiris, tidak dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai makna eksistensial manusia itu
sendiri. Dan tidak ada sains atau ilmu pengetahuan yang mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan eksistensial demikian.
Bagaimana hubungan sains dan
filsafat?
Kemajuan sains tidak jarang membawa
mereka pada sebuah titik di mana mereka terbentur pada masalah-masalah yang
tidak dapat dijawabnya sendiri. Ada banyak contoh mengenai hal ini.
Perkembangan bioteknologi dan ilmu
genetika misalnya,
memungkinkan manusia melakukan cloning atas manusia. Tapi apakah cloning
itu dapat dibenarkan secara etis? Sampai sekarang ini masih menjadi bahan
perdebatan. Dan anehnya yang terlibat dalam perdebatan itu bukanlah para ahli
yang mengetahui ilmu cloning, melainkan para ahli bidang etika, filsafat
manusia dll. Ilmu cloning itu sendiri tidak dapat lagi menjawab
pertanyaan “apakah kloning manusia itu boleh?” karena hal itu sudah berada di
luar wilayah kompetensinya.
Kita juga melihat bahwa kemajuan
teknik informatika telah memungkinkan manusia menghasilkan inteligensi buatan.
Pikiran manusia bisa dibentuk sedemikian rupa sehingga ia misalnya menjadi
sangat cerdas atau sangat berani. Tapi apakah ini dapat dibenarkan? Apakah Anda
setuju kalau ilmu pengetahuan menciptakan manusia-manusia seperti robot? Ilmu
pengetahuan mampu melakukan itu, tapi apakah itu boleh, dan apakah itu perlu?
Pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh ilmu-ilmu tersebut.
Banyak sekali masalah etis yang
sangat serius yang diakibatkan oleh perkembangan ilmu yang sedemikian cepat dan
maju dewasa ini. Apakah cangkok jantung dengan menggunakan organ jantung hewan
tertentu misalnya dapat dibenarkan secara etis manusiawi?
Ilmu kedokteran mampu melakukan
euthanasia, tapi apakah itu dapat dibenarkan? Pertanyaan ini tidak dapat lagi dijawab oleh ilmu kedokteran
tu sendiri. Sekarang telah ada ilmu yang mampu melakukan campur tangan kepada
otak manusia, sehingga dengan mentrigger bagian tertentu dari otak, kita dapat
menciptakan manusia-manusia seperti yang kita inginkan, misalnya menjadi sangat
pintar, sangat religius, sangat rajin, sangat jahat atau sangat destruktif.
Apakah ini dapat dibenarkan? Kalaupun dapat dibenarkan, apakah itu perlu
dilakukan?
Di sinilah filsafat turun tangan
membantu menjawab masalah yang berada di luar kompetensi ilmu-ilmu khusus
tersebut. Ilmu-ilmu pengetahuan itu tidak dapat menjawab pertanyaan: apakah
kita dapat melakukan apa yang mampu kita lakukan? Sampai sejauh mana kita dapat
dan perlu melakukan apa yang mampu kita lakukan itu? Apa kriterianya?
Pertanyaan-pertanyaan ini yang kemudian menjadi kompetensi ilmu filsafat.
Filsafat juga memberi jawaban misalnya, mengenai kesahihan etis dari metode-metode yang digunakan
oleh ilmu tertentu. Filsafat juga berguna untuk memberikan penjelasan atas
implikasi-implikasi yang disebabkan oleh ilmu-ilmu itu. Tentu filsafat tidak
dapat sendirian. Ia juga harus bekerja sama dengan ilmu-ilmu lainnya itu.
Oleh karena itulah jamak terjadi,
seorang saintis yang tidak puas terhadap pendekatan ilmunya sendiri, kemudian
belajar filsafat, dan memperoleh wawasan yang lebih luas dan dapat melihat
ilmunya sendiri dengan lebih kritis. Saintis macam ini kemudian sering
menghasilkan gagasan inovatif dalam bidang ilmunya. Ke dalam kelompok saintis
ini kita dapat memasukkan Thomas Kuhn, Paul Feyerabend, Imre Lakatos, Karl R.
Popper, dan lain-lain.
Kematian Metafisika?
Dari uraian di atas kita bisa
menyimpulkan bahwa ternyata filsafat belum mati, dan tidak mungkin mati.
Sekalipun sains sudah sedemikian maju filsafat tetap memiliki alasan untuk hidup.
Sains tidak pernah dapat menggantikan tugas dan fungsi filsafat dan agama.
Hidup kita akan terlalu dangkal bila
semuanya dijelaskan dengan penjelasan empiris-ilmiah. Naturalisme tidak pernah
dapat memuaskan manusia. Manusia adalah mahluk yang selalu ingin tahu.
Pertanyaan-pertanyaan filosofis seperti di atas akan selalu dilontarkan oleh
manusia, sehebat apapun kemajuan yang telah dicapai oleh sains.
Sains mungkin dapat menjelaskan asal
usul alam semesta dengan teori Big Bang. Tapi siapa yang dapat menghentikan
akal budi manusia untuk tidak bertanya: sebelum Big Bang ada apa? Kalau sains
memberikan jawaban untuk itu, manusia juga akan bertanya: sebelum itu ada apa?
Manusia tidak akan pernah berhenti
menciptakan sistem-sistem metafisika yang membantunya memberikan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan ultim menyangkut eksistensinya. Karena itu Heidegger
benar ketika ia mengatakan bahwa selama manusia merupakan animal rationale, ia
sekaligus merupakan animal metaphysicum (as long as man remains the animal
rationale he is also the animal metaphysicum). (The Way Back into the
Ground of Metaphysics, hal. 209).
Benar, Habermas berbicara mengenai
postmetafisika. Namun, yang dimaksud Habermas dengan frase itu bukanlah bahwa
di masa depan tidak ada lagi metafisika. Ciri metafisika menurut Habermas
adalah pemikiran identitas, idealisme, paradigma filsafat kesadaran dan
prioritas teori atas praktik. Itulah yang sudah berlalu menurut Habermas.
Postmetafisika dalam pengertian Habermas adalah post-idealisme, post-platonisme.
Dengan kata lain, era sekarang tidak lagi mengakui adanya kebenaran tunggal,
seperti Ide Plato, yang mesti menjadi acuan bagi semua.
Metafisika, demikian Kant, adalah
hakikat manusia (Metaphysik als Naturanlage). Mengapa? Jawaban atas
pertanyaan ini diberikan Kant pada kalimat pertama bukunya, Kritik der
reinen Vernunft: karena manusia selalu dibebani oleh pertanyaan-pertanyaan
yang tidak dapat dihindari tapi yang sekaligus tidak dapat dijawab, karena
pertanyaan-pertanyaan itu telah melampaui pikiran kognitifnya, dan untuk itulah
manusia menciptakan sistem-sistem metafisika.
Saya pikir uraian di atas sudah
cukup memperlihatkan bahwa metafisika merupakan keniscayaan eksistensial bagi
manusia itu sendiri.
Kesimpulan
Sains itu terbatas. Itu sudah jelas.
Tapi itu bukan kelemahan, justru keterbatasan itulah kekuatan sains. Dengan
keterbatasan itu, sains dapat melakukan penelitian yang sedemikian mendalam
pada obyek tertentu sehingga dengan demikian kita memperoleh pengetahuan yang
mendalam mengenai obyek tersebut. Goethe pernah mengatakan, “barang siapa ingin menjadi besar, ia
harus mampu membatasi dirinya.”
Pembatasan diri ini bukan hanya
terjadi pada sains. Pada filsafat juga itu terjadi. Sekarang orang tidak lagi
berbicara mengenai filsafat sosial, misalnya, karena wilayah itu terlalu luas.
Filsafat sosial kemudian dibagi ke dalam wilayah lebih spesisik, misalnya
filsafat politik, filsafat ekonomi, dll.
Karena itu, menurut saya, sikap yang
mengagungkan bidang sendiri tidak akan membawa kita ke mana-mana. Uraian saya
di atas juga bukanlah sebuah pengagungan filsafat. Itu adalah sebuah upaya
untuk memperlihatkan garis demarkasi dan tugas serta fungsi kedua disiplin ilmu
tersebut.
Sainstisme, sebagaimana diusahakan
oleh para filsuf neopositivis Lingkaran Wina, adalah buah dari kebanggaan
berlebihan terhadap sains. Saintisme sama dengan naturalisme, menganggap
manusia semata-mata sama dengan realitas fisik, seperti batu atau pohon. Karena
itu, saintisme adalah fundamentalisme sains. Saintisme adalah dehumanisasi.
Saintisme adalah kedunguan.
Saya yakin, sebagaimana ilmu alam
maju karena berkolaborasi dengan matematika, kita juga akan maju melalui kerja
sama antar-ilmu. Inilah menurut saya salah satu kunci kemajuan ilmu pengetahuan
di negara-negara Eropa.
Saintis, filsuf, dan teolog duduk
bersama membicarakan tema Tuhan dan Big Bang. Para teolog dan saintis
berdiskusi mengenai bagaimana Tuhan bertindak di dunia ini. Rekaman atau teks
mengenai diskusi-diskusi seperti ini dapat dengan mudah kita temukan di Youtube
atau media-media sosial. Di Jerman, misalnya, filsuf Otfried Höffe termasuk
dalam anggota komisi ahli yang dibentuk oleh pemerintahan negara bagian NRW
untuk membantu pemerintah menangani dampak covid-19.
![]() |
Alumni Driyarkara dan Dosen Filsafat di Universitas Pelita Harapan (UPH) Karawaci, Tanggerang |