Perang, Loyalitas, dan Kedaulatan
Identitas Buku
Judul: Di Kaki Langit Gurun Sinai
Penulis: Hassenein Heikal
Penerjemah: Mahbub Djunaidi
Penerbit: Nyala
Cetakan: Januari, 2018
Tebal: xxvii+466
“Mahbub Djunaidi memang sudah tiada. Namun karyanya tetap
abadi bersama kita. Raganya boleh saja sudah mati, tetapi jiwanya menolak untuk
wafat dan terus hidup melalui karya-karyanya.”
Mahbub sangat pantas disebut sebagai penulis serba bisa.
Dari sekian banyak karyanya, tidak sedikit yang sangat mengena bagi para
pembaca. Kepiawaian Mahbub dalam menulis memang tidak dapat diragukan lagi, dan
sah-sah saja menganggap gaya menulisnya semacam mazhab tersendiri. Satir, sarkas,
tajam, dan melampaui pakem, seakan menjadi ciri khas Mahbub dalam menulis.
Tidak hanya itu, tulisan Mahbub secara keseluruhan sangat banyak yang memikat,
dan lincah bermain-main menerobos celah-celah ketabuan.
Hebatnya, ciri khas menulis yang seperti itu tidaklah
hilang ketika Mahbub menerjemahkan suatu karya. Misalnya saja saat buku Orwell
yang berjudul Animal Farm diterjemahkan olehnya. Buku yang punya daya
ledak besar itu, ditambah dan dimodifikasi oleh Mahbub ketika dialihbahasakan
ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu lantas membuat buku ini bukan lagi meledak,
tapi juga menghancurkan musuh-musuh yang menjadi sasaran kritiknya.
Melihat hal tersebut, bisa saja kalau kita ingin
menyebutnya sebagai bakat yang sudah ada pada diri Mahbub. Akan tetapi, saya
rasa Mahbub tidaklah bisa dinilai sesederhana itu. Apalagi kalau kita tahu
pengalamannya yang malang melintang di banyak tempat. Tekad yang kuat dan sukar
tergoyahkan, bagi saya juga menjadi hal penentu buat Mahbub ketika menulis.
Prinsip kejujuran dan tidak memilih berlindung dalam rangka mencari aman yang
sering dicontohkan Mahbub, menjadi hal yang selayaknya bisa ditiru oleh penulis
sekarang ini.
Baru-baru ini, saya berhasil mengkhatamkan salah satu
karya yang diterjemahkan oleh Mahbub. Sebuah buku yang lahir dari seseorang
yang punya profesi sama dengan Mahbub. Sebuah
karya yang memuat biografi politik orang-orang Mesir dan Timur Tengah. Mulai
dari biografi politik penulisnya sendiri, sampai dengan orang-orang penting
yang ada di sana. Sebut saja Gamal Abdel Nasser, Anwar Sadat, Raja Faisal, dan
Ghaddafi. Sependapat dengan apa yang disampaikan oleh KH. Saifudin Zuhri, membaca
buku ini membuat kita melihat dua orang dalam satu tubuh.
Buku karya Hassanein Haikal ini, tidak hanya membuat saya
berpikir keras membayangkan kondisi yang ada di Timur Tengah pada waktu itu.
Lebih jauhnya, buku ini membuat saya ternganga dan tak habis sangka soal
kejamnya politik global. Walaupun begitu, Mahbub tetap membuat kita bergembira
ketika membacanya, sembari meningkatkan kapasitas pengetahuan kita soal kondisi
dunia. Dari terjemahan Mahbub pula, kita dapat memposisikan diri dan seperti
terlibat atau menyaksikan langsung kejadian perang yang sedang berkecamuk.
Dari tujuh bab di buku ini, saya kembali menyepakati
pendapat KH. Saifudin Zuhri, yang mengatakan kalau inti buku terletak pada dua
bab terakhir. Akan tetapi, lima bab sebelumnya juga tidak dapat kita acuhkan
begitu saja. Sebab, melalui lima bab awal pulalah saya dapat mengenal
kepribadian Nasser, Sadat, dan Ghadafi secara lebih dekat. Anehnya, setelah
membaca buku ini, saya malah merasa lebih kenal orang-orang tadi, ketimbang
presiden saya yang sekarang.
Dari yang sudah saya dapat tadi, saya simpulkan sebagai sebuah
keunggulan Heikal serta Mahbub, ketika mengenalkan seseorang secara mendetail
tanpa bernada menggurui. Jujur saja, melalui buku ini saya pribadi menjadi
sangat tertarik, dan berharap bisa mencontoh Heikal dan Mahbub pada saat
menulis otobiografi. Buku ini juga serasa menampar wajah saya, setelah
menyadari betapa dangkalnya pengetahuan yang saya miliki selama ini. Karena
buku ini pula, saya merasa kalau harus meningkatkan pemahaman saya soal politik
dunia dewasa ini.
Apa yang Sebenarnya Dicari dari Perang?
Karya Heikal ini, menjadi sebuah karya yang memadai apabila
dijadikan rekomendasi untuk melihat perang secara lebih dekat. Menggunakan
sudut pandang orang pertama, membuat buku ini berbobot menganlisis sebuah
kondisi perang. Sebab, selain berisi analisis yang akurat terhadap aspek politik,
militer, budaya, dan agama, para tokoh yang ada di dalamnya serasa begitu
hidup. Mulai dari wibawanya seorang Nasser, cerdiknya Sadat, sampai temperamen
dan uniknya Ghadafi, dikupas tuntas oleh Heikal dalam buku ini.
Perang antara Mesir dan Israel yang terekam dalam buku
ini, membekaskan sebuah pelajaran berharga. Di saat harapan menuju perdamaian
abadi yang mulai tumbuh, kematian seorang Nasser membuat segalanya menjadi
berbeda. Mesir berkabung, dan muncul gejolak di banyak tempat. Begitu kuatnya
pengaruh dan wibawa yang dimiliki seorang Nasser, membentuk sebuah rantai kisah
yang mengharukan. Hal tersebut tak ayal membuat Mesir bimbang, dan menimbulkan
keraguan di banyak pihak.
Bergantinya kepemimpinan, alhasil juga merubah arah
politik dan perang yang sedang berlangsung. Dari yang awalnya mencari sebuah
kemenangan total, sedikit-banyak dirombak menyesuaikan kondisi Mesir yang
berada di posisi antara untung dan rugi. Ketika dalam posisi tersebut, kita
dengan jelas dapat melihat peran dari dua kekuatan besar yang menentukan, yang
secara diam-diam mengatur jalannya perang. Sehingga akhirnya kita bisa
bertanya, “apa sebenarnya yang bisa didapat dari perang yang sudah ditentukan
oleh pihak lain?”
Bercampurnya Loyalitas dan Kedaulatan
Melalui buku ini kita tidak hanya dapat menyaksikan
loyalitas dari bawahan Nasser semata, akan tetapi juga perihal loyalitas dari
negara-negara lain yang mendukung Mesir. Salah satu contohnya Libya, sebuah
negara yang baru mengalami revolusi waktu itu, dan menjadikan Ghadafi sebagai
pemimpinnya. Ghadafi, seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, adalah salah
seorang yang kagum teramat sangat pada diri seorang Nasser. Tindak-tanduknya,
lebih banyak mencontoh Nasser, dan disebut oleh Heikal sebagai orang yang
fanatik Nasser.
Namun, keluguan serta kepolosan yang dimiliki Ghadafi, malah
membuat namanya begitu dikenal oleh pemimpin negara lain. Sampai-sampai, ketika
ia sedang berada di New York, Ghadafi mendapat julukan Tarzan Kota, karena berawal
dari sifatnya tadi. Kekocakan Ghadafi tersebut, hanyalah salah satu contoh yang
bisa kita dapat di buku ini. Tentu masih banyak kekocakan lainnya yang para
pembaca perlu tahu.
Meskipun Ghadafi terkenal loyal kepada Nasser, hingga
dianggap ia menjurus memuja-muja Nasser, pada nyatanya Ghadafi adalah orang
yang amat berdaulat. Keinginannya untuk membantu Mesir tidak cuma berdasarkan
faktor kedekatan semata, akan tetapi juga melalui perhitungan yang hampir
akurat menurut saya. Kedaulatan Ghadafi akan sangat tergambar jelas ketika
Nasser wafat dan digantikan oleh Sadat. Dan dukungan yang diberikan Ghadafi pada
Mesir tidaklah menjadi kendor karenanya.
Bagi saya, amat sulit mencari pimpinan sebuah negara yang
seloyal dan berdaulat seperti Ghadafi. Tidak ada rumus hutang-budi dalam
kamusnya, dan yang ada hanyalah jalan terus apabila tujuan masih sama. Jelas,
tegas, dan terbuka semacam Ghadafi, menjadi
hal yang seharusnya bisa dicontoh oleh pemimpin negara kebanyakan. Jika tidak
berani menjelaskan, sulit kiranya untuk bisa tegas, dan sangat mungkin membuat
pemimpin yang semacam itu lebih suka menutup-nutupi sesuatu.
Buku ini tidak sekadar bercerita tentang artinya
perjuangan. Buku ini bagi saya menjadi simbol Mesir secara khusus dan Timur
Tengah pada umumnya. Penilaian saya ini tidak bermaksud mengucilkan Israel. Tetapi
penilaian tersebut adalah wakil yang jelas keberpihakan saya pada cita-cita
untuk merdeka bagi siapa pun dan negara mana pun. Secara spesifik, buku ini
adalah bacaan yang pas dibaca oleh orang-orang yang punya peran dan posisi
penting dalam suatu negara. Akan tetapi, buku ini juga layak dibaca oleh siapa
saja, selagi ia mendukung Hak Asasi Manusia itu harus diperjuangkan.