Pembobolan (Charles BUKOWSKI)
Sunday, June 14, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: Screenprism.com |
Ditranslasi oleh: Kusharditya Albi Hafiezal
Pada bagian luar
ruangan di lantai pertama. Aku menyandung sesuatu–aku pikir itu sebuah kaki
meja—dan aku nyaris terjatuh. Aku menabrak dan berpegangan pada meja untuk
mempertahankan diriku.
“Bagus,” kata
Harry, “bangunkan saja seluruh penghuni rumah, goblok.”
“Dengar,” kataku,
“apa yang akan kita dapatkan di sini?”
“Pelankan suaramu,
goblok!”
“Harry, apa perlu
kau terus mengucapkan kata goblok?”
“Kau ini siapa,
goblok, ahli bahasa? Kita di sini untuk uang dan perhiasan.”
Aku tidak menyukai
ini. Seperti sebuah kegilaan yang total. Harry memang sinting; ia telah keluar
masuk dari rumah sakit jiwa. Di sela-sela
kejadian itu ia menjalani hukuman, dan ia
menghabiskan tiga perempat usia dewasanya di sel penjara. Ia lah yang
membujukku. Aku tidak kuasa menolaknya.
“Negara sialan
ini,” katanya. “terlalu banyak orang kaya keparat yang sangat mudah mendapatkan
apapun.” Lalu Harry menggebrak sesuatu. “Sialan!” katanya.
“Halo? Apa itu?”
Kami mendengar suara seorang lelaki dari lantai atas.
“Kita dalam
masalah,” kataku. Aku dapat merasakan keringat mengucur dari kedua ketiakku.
“Tidak,” kata
Harry, “Dialah yang dalam masalah.”
“Halo,” kata
laki-laki di atas.
“Ada orang di
bawah?”
“Ayo,” kata Harry
padaku.
Ia mulai menaiki
tangga. Aku mengikutinya. Terdapat lorong, dan cahaya masuk dari salah satu
ruangan. Harry bergerak cepat dan tanpa suara. Lalu ia berlari masuk ke dalam
ruangan. Aku berada di belakangnya.Seorang laki-laki dan seorang perempuan
berada di ranjang terpisah.
Harry menodongkan
.38 Magnum miliknya ke arah si laki-laki. “Baiklah, kawan, kalau kau tidak mau
biji pelirmu meledak, lebih baik kau diam. Aku tidak main-main.”
Laki-laki itu
berumur sekitar 45 tahun, dengan wajah tegas dan seperti bangsawan. Kau dapat
melihat bahwa ia memiliki wajah itu dalam waktu yang lama. Istrinya berumur
sekitar 25 tahun, rambut pirang, panjang, sangat cantik. Ia seperti bintang
iklan.
“Pergi dari
rumahku!” kata si laki-laki.
“Hey,” kata Harry
padaku, “kau tahu siapa ini?”
“Tidak.”
“Ini Tom Maxson,
pembawa berita di Channel 7. Halo Tom.”
“Pergi dari
rumahku! SEKARANG!” Maxson menjerit.
Dia meraih dan
mengangkat telefon. “Operator—“
Harry dengan sigap
menggetoknya dengan bagian belakang .38 Magnum miliknya. Maxson terjatuh di
ranjang. Harry meletakkan gagang telepon itu kembali.
“Bajingan, kau
melukainya!” teriak si pirang. “Brengsek kau, pengecut!”
Ia mengenakan
daster berwarna hijau terang. Harry berjalan mendekatinya dan merusak salah
satu tali daster itu. Ia menggenggam salah satu payudara perempuan itu dan
mengeluarkannya. “Bagus bukan?” dia berkata padaku. Lalu dia menampar wajahnya
dengan keras.
“Perlakukan aku
dengan hormat, lonte!!” kata Harry. Lalu ia berjalan dan mengubah posisi Tom
Maxson agar ia terduduk. “Dan kau: aku sudah bilang, aku tidak main-main.”
Maxson menjawab. “Kau
punya pistol; hanya itulah yang kau punya.”
“Kau tolol. Hanya
itulah yang aku butuhkan. Sekarang, aku membutuhkan kerja sama darimu dan
lontemu, atau ini akan jadi lebih parah.”
“Dasar bandit
murahan!” kata Maxson.
“Teruskan saja,
lanjutkan. Kau akan lihat sendiri,” kata Harry.
“Kau pikir aku
takut dengan sepasang berandal pengecut?”
“Jika tidak, kau
seharusnya takut”
“Siapa temanmu?
Apa yang dia lakukan?”
“Dia akan
melakukan apa yang aku katakan.”
“Seperti apa?”
“Seperti, Eddie,
cium si pirang itu!”
“Dengar, jauhkan
istriku dari semua ini!”
“Dan jika ia
berteriak, aku akan meluncurkan peluru ke dalam perutmu. Aku tidak main-main.
Ayo, Eddie, ciumlah si pirang itu-“
Si pirang itu
mencoba menahan tali daster yang rusak dengan salah satu tangannya.
“Jangan,”
katanya,”aku mohon-“
“Maaf, nona, aku
harus melakukan apa yang dikatakan Harry padaku.”
Kutarik rambutnya
dan mendapati bibirku berada pada bibirnya. Ia mendorongku, tapi ia tidak cukup
memiliki kekuatan. Aku tidak pernah mencium perempuan secantik itu sebelumnya.
“Baik, Eddie, itu
cukup.”
Aku menjauh. Aku
berjalan mengitar dan berdiri di samping Harry. “Kenapa, Eddie,” katanya,
“Benda apa yang menonjol di celanamu?”
Aku tidak
menjawab.
“Lihat, Maxson,”
kata Harry, “istrimu membuat temanku
ngaceng! Bagaimana kami dapat menyelesaikan pekerjaan di sini? Kami datang
untuk uang dan perhiasan.”
“Bandit-bandit
tolol, kau membuatku muak. Kau tidak lebih baik daripada belatung.”
“Dan apa yang kau
punya? Siaran berita pukul enam. Apa hebatnya? Provokasi politik dan publik
yang brengsek. Semua orang bisa membaca berita. Aku bisa membuat berita.”
“Kau membuat
berita? Seperti apa? Apa yang bisa kau lakukan?”
“Sangat banyak dan
berapapun angkanya. Ah, biar kupikirkan. Bagaimana dengan penyiar berita TV
meminum air kencing seorang pencuri? Bagaimana kedengarannya?”
“Lebih baik aku
mati.”
“Kau tidak akan
mati. Eddie, ambilkan aku gelas. Ada satu di rak itu. Bawakan aku gelas itu.”
“Dengar,” kata si
pirang, “aku mohon ambil lah uang kami. Ambil perhiasan kami. Lalu pergilah.
Apa perlunya semua ini?”
“Mulut berisik
suami manjamu, Nyonya. Dia membuatku gugup.”
Aku membawa gelas
untuk Harry, dia membuka celananya dan mulai kencing ke dalam gelas itu. Gelas
itu tingi, tapi dia mengisinya hingga penuh. Lalu dia menutup lagi celananya
dan mendekati Maxson.
“Sekarang kau akan
minum air kencingku, Tuan Maxson.”
“Tidak akan,
brengsek. Lebih baik aku mati.”
“Kau tidak akan
mati. Kau akan minum air kencingku, sampai habis!”
“Eddie,” Harry
menoleh padaku, “lihat rokok di meja rias itu?”
“Yeah.”
“Ambil itu.
Nyalakan. Ada korek di sana.”
Aku mengambil
korek dan menyalakan rokok. Rasanya enak. Aku menghisapnya. Rokok terbaikku.
Tidak pernah aku menghisap yang seperti ini.
“Kau suka
rokoknya, Eddie?” Harry bertanya padaku.
“Ini enak, Harry.”
“OK. Sekarang
berjalanlah ke pelacur itu dan pegang payudaranya dari bawah tali daster yang
rusak. Tarik payudaranya. Aku akan menyodorkan si brengsek ini dengan gelas
yang penuh air kencingkui. Pegang rokok itu dan tempatkan di sebelah puting
perempuan itu. Dan jika si brengsek ini tidak meminumnya sampai tetes terakhir,
aku mau kau bakar puting itu dengan rokok. Paham?”
Aku paham. Aku
berjalan dan menarik keluar payudara Nyonya Maxson. Aku agak terpana
melihatnya—belum pernah aku melihat yang seperti itu.
Harry menyodorkan
Tom Maxon segelas air kencing. Maxson melihat istrinya dan memiringkan gelas
itu lalu mulai meminumnya.
Si pirang menjadi
gemetar seluruhnya. Benar-benar nikmat bisa memegang payudaranya.
Air kencing yang
kuning itu mulai masuk ke dalam kerongkongan si penyiar berita. Ia berhenti
seketika saat masih setengah gelas. Ia terlihat mual.
“Semuanya,” kata
Harry. “Lanjutkan; bagus, sampai tetes terakhir.”
Maxson mulai
mencucup gelasnya dan meminumnya sampai kering. Gelas itu terjatuh dari tangannya.
“Aku masih
berpikir kalian sepasang bandit murahan,” dengusnya.
Aku masih berdiri
di sana dan memegang payudara si pirang. Ia melepasnya.
“Tom,” kata si
pirang, “bisakah kau berhenti menimbulkan kebencian dengan orang-orang ini? Kau
melakukan hal paling bodoh!”
“Oh, bermain
pemenang, ya? Apa itu alasanmu menikahiku? Karena aku seorang pemenang?”
“Tentu, itulah
mengapa ia menikahimu, brengsek,” kata Harry. “Lihatlah perut gendutmu itu. Apa
kau berpikir tubuhmu bisa dijadikan alasan?”
“Aku punya sesuatu,”
kata Maxson. “Itulah mengapa aku menjadi nomor satu dalam penyiaran berita. Kau
tidak bisa melakukan itu meski dengan keberuntungan”
“Tapi jika ia
tidak menikahi nomor satu,” kata Harry, “ia pasti menikahi nomor dua.”
“Jangan dengarkan
dia, Tom”, kata si pirang.
“Tak apa,” kata
Maxson, “Aku tahu kau mencintaiku.”
“Terima kasih,
Daddy,” kata si pirang.
“Tidak apa-apa,
Nana,”
“Nana,” kata
Harry, “Aku suka nama itu, ‘Nana’. Sangat berkelas, kelas tolol. Itulah yang
orang kaya dapatkan sementara kita mendapatkan seorang babu.”
“Kenapa kau tidak
bergabung dengan Partai Komunis?” Maxson bertanya.
“Tuan, aku tidak
peduli soal ‘menunggu berabad-abad’ untuk sesuatu yang tidak berjalan. Aku mau
itu sekarang.”
“Dengar, Harry,”
kataku, “yang kita lakukan hanya berdiri dan terus bercakap-cakap dengan
orang-orang ini. Kita tidak mendapat apa-apa. Aku tidak peduli apa yang mereka
pikirkan. Ayo kita ambil barang-barangnya dan kita bagi rata. Semakin lama kita
di sini, semakin cepat kita membuat situasi menjadi rumit.”
“Sekarang, Eddie,”
dia menjawab, “Itu pertama kalinya kau mengucapkan
ide yang brilian . Aku telah mendengar kau bicara selama lima atau enam
tahun.”
“Aku tidak
peduli,” kata Maxson.
“Kau hanyalah penjilat. Jika aku tidak di sini, kau tidak akan ada. Kau
mengingatkanku pada orang-orang yang membunuh para pemimpin politik dan
pemimpin spiritual. Bentuk sikap pengecut yang buruk; tentu mudah untuk
melakukan sesuatu yang hanya membutuhkan sedikit bakat. Hal-hal itu datang dari
amarah dan iri hati; itu datang dari dendam, kepahitan dan kebodohan yang
besar: hal itu datang dari skala terendah tingkatan manusia; berbau busuk dan
itu membuatku malu karena menjadi suku yang sama.”
“Oh, Max,” kata
Harry, “pidato yang bagus. Bahkan air kencing tidak mampu menghentikan omong kosongmu.
Kau salah satu kotoran yang manja. Apa kau sadar berapa banyak orang di bumi
ini yang tidak punya kesempatan? Karena di mana dan bagaimana mereka lahir?
Karena mereka tidak mendapatkan edukasi? Karena mereka tidak pernah mendapatkan
apapun dan tidak pernah bisa memiliki dan tak ada yang peduli, dan kau menikahi
tubuh yang terbaik yang kau temukan, umurmu menjadi terkutuk?
“Ambil apa yang
kau mau dan pergi” kata Maxson. “Bajingan seperti kalian tidak akan pernah
berhasil.”
“Oh, tunggu,” kata
Harry, “Semuanya penting. Kami sedang membuatnya. Kau tidak cukup mengerti.”
“Tom,” kata si
pirang, “berikan saja uangnya, perhiasan... dan biarkan mereka pergi... aku
mohon keluarlah dari Channel 7.”
“Bukan Channel 7,
Nana. Itu membuat mereka tahu. Aku harus memberi tahu mereka.”
“Eddie,” kata
Harry, “lihat di toilet. Bawakan aku selotip.”
Aku berjalan ke
bawah lorong dan menemukan toiletnya. Di kotak obat terdapat gulungan selotip
yang lebar. Harry membuatku gugup. Aku tidak pernah tahu apa yang akan dia
lakukan. Aku membawa selotip itu ke kamar. Harry mencabut kabel telepon di
dinding. “OK” katanya, “matikan Channel 7.”
Aku memahaminya.
Aku menutup mulut Maxson dengan selotip.
“Sekarang
tangannya, tangannya di belakang,” kata Harry.
Dia berjalan menuju
Nana, mengeluarkan kedua payudaranya dan memandangi payudara itu.
Lalu dia meludah
ke wajahnya. Ia menyeka wajahnya dengan seprai.
“OK,” katanya,
“sekarang yang ini. Tutup mulutnya, tapi biarkan tangannya lepas. Aku menyukai
sedikit perlawanan.”
Aku mengurusnya.
Harry menyuruh Tom
Maxson agar membalikkan badan; dia menyuruhnya berhadapan dengan Nana. Dia
berjalan dan mengambil salah satu rokok milik Maxson dan membakarnya.
“Aku pikir Maxson
benar,” kata Harry.
“Kita adalah
pecundang. Kita belatung. Kita menjijikan, dan mungkin pengecut.”
Dia mengambil
hisapan rokok dengan nikmat.
“Itu punyamu,
Eddie.”
“Harry, aku tidak
bisa.”
“Kau bisa. Kau
tidak tahu caranya. Kau tidak pernah diajari. Tak ada edukasi. Aku gurumu.
Perempuan itu milikmu. Sederhana.”
“Kau saja yang
lakukan, Harry.”
“Tidak. Ia akan
lebih berarti untukmu.”
“Kenapa?”
“Karena kau
bajingan yang gampang.”
Aku berjalan
menuju ranjang. Ia sangat cantik dan wajahku buruk rupa. Aku jatuh seolah-olah
tubuhku dilumuri tai.
“Teruskan,” kata
Harry, “habisi ia, brengsek.”
“Harry, aku takut.
Ini tidak benar; ia bukan milikku.”
“Ia milikmu.”
“Kenapa?”
“Bayangan saja ini
perang. Kita memenangkan perangnya. Kita membunuh semua laki-laki mereka, semua
pembesar mereka, semua pahlawan mereka. Kita membunuh anak-anak dan
menelantarkan perempuan tua di jalan. Kita adalah penakluk pasukan. Yang
tersisa hanya perempuan mereka. Dan semua perempuan paling cantik adalah milik
kita...milikmu. Ia tidak berdaya. Ambil lah.”Aku berjalan dan menarik selimut.
Seolah-olah aku telah mati dan tiba-tiba berada di surga, dan tiba-tiba
dihadapkan dengan mahluk dengan keajaiban. Aku meraih dan merobek dasternya dan
ia telanjang.
“Setubuhi ia,
Eddie!”
Semua garis
tubuhnya berada di tempat yang seharusnya. Garis-garis itu ada di sana dan di
luarnya. Serupa langit yang indah; seperti sungai yang mengalir indah. Aku hanya ingin memandanginya. Aku ketakutan.
Aku berdiri di sana, benda di depanku. Aku merasa tidak punya hak.
“Lanjutkan,” kata
Harry. “Perkosa ia! Ia sama saja dengan perempuan lain. Ia bermain games,
berdusta. Ia akan menjadi tua nanti, dan gadis muda lain akan menggantikannya.
Ia bahkan mati. Setubuhi ia mumpung masih di sana!”
Aku tarik bahunya,
mencoba merekatkannya padaku. Ia mendapat kekuatan entah dari mana. Ia
mendorong dan menolakku, menarik kepalanya ke belakang. Ia benar-benar merasa
jijik.
“Dengar, Nana, aku
benar-benar tida mau melakukan ini... tapi aku melakukannya. Maafkan aku. Aku
tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku menginginkanmu dan aku malu.”
Ia bersuara
melalui selotip itu dan mendorongku. Ia sangat cantik. Aku tidak pantas
mendapatkannya. Matanya menatapku. Mata itu mengatakan apa yang kupikirkan: aku
tidak punya rasa kemanusiaan.
“Teruskan,” kata
Harry, “sodorkan padanya! Ia pasti menyukainya.”
“Aku tidak sanggup
melakukannya, Harry.”
“Baik,” katanya,
“kau awasi saja Channel 7.”
Aku berjalan dan
duduk di samping Tom Maxson. Kami duduk berdampingan di ranjangnya. Dia membuat
suara kecil melalui selotip itu. Hary berjalan menuju ranjang lain. “Baik,
pelacur, aku pikir aku harus menghamilimu.”
Nana lompat dari
ranjangnya dan berlari menuju pintu. Harry menangkapnya dan menarik rambutnya,
membalik tubuhnya dan menampar wajah itu dengan keras. Ia terlempar ke dinding
dan jatuh ke bawah. Harry menjambak rambutnya ke atas dan menamparnya lagi.
Maxson bersuara dengan keras melalui selotipnya dan melompat. Dia berlari dan
menghantam Harry dengan kepalanya. Harry menghantam leher, dan Maxson terjatuh.
“Selotip kaki
pahlawan itu,” kata Harry padaku.
Aku ikat kaki
Maxson dan mendorongnya ke ranjang.
“Buat ia duduk,”
kata Harry. “Aku mau agar ia melihat.”
“Dengar Harry,”
kataku, “ayo kita pergi dari sini. Semakin lama kita tinggal—“
“Diam kau!”
Harry menyeret si
pirang kembali ke ranjangnya. Ia masih menggunakan celana dalam. Dia merobeknya
dan melemparkannya ke arah Maxson. Celana dalam itu jatuh di kaki Maxson.
Maxson melenguh dan mulai berusaha. Aku menonjoknya sangat keras, sangat dalam
ke arah perutnya.
Harry melepas
celananya dan celana pendeknya.
“Pelacur,” katanya
pada si pirang, “Aku akan memendam barang ini sangat dalam dan kau akan
merasakannya, dan tak ada yang bisa kau lakukan. Kau akan menerima semua ini!
Dan aku akan mengeluarkannya di dalam!”
Dia membalik
badannya; ia meronta. Harry menghajarnya lagi, sangat keras. Kepalanya jatuh ke
belakang. Harry membuka kaki si pirang. Ia mulai berusaha menancapkan penisnya.
Dia tampak kesusahan.
“Kendurkan kakimu,
jalang; aku tahu kau menginginkannya! Rentangkan kakimu!”
Harry menghajarnya
dua kali. Kakinya melemas.
“Itu lebih bagus,
lacur!
Harry menusuk dan
terus menusuk. Akhirnya, ia bisa menancapkannya. Ia bergerak keluar-masuk
dengan perlahan.
Maxson mulai
meronta dan bergerak lagi. Aku luncurkan kepalanku di perutnya sekali lagi.
Harry mulai mengatur ritmenya. Si pirang mengerang seperti kesakitan.
“Kau suka, kan,
pelacur? Ini daging yang lebih baik daripada yang diberikan lelakimu yang tua
bangka, bukankah begitu? Kau merasakan daging itu membesar?
Aku tidak tahan.
Aku berdiri mengeluarkan pelirku dan mulai masturbasi. Harry menyodok si pirang
itu sangat keras, hingga kepalanya bergoyang. Lalu Harry menamparnya dan
mencabut pelirnya keluar.
“Belum selesai,
pelacur. Aku menikmati waktuku.”
Dia berjalan ke
tempat Tom Maxson duduk.
“Lihat UKURANnya!
Dan aku akan memasukkannya lagi padanya sekarang dan keluar di dalamnya, Tommy
si bocah! Kau tidak akan pernah bisa bercinta tanpa memikirkanku! Tanpa
memikirkan benda INI!”
Harry mengacungkan
penisnya tepat di depan wajah Maxson, “Dan aku mungkin akan menyuruhnya
menghisap batangku setelah aku selesai!”
Lalu ia berbalik,
kembali ke ranjang lain dan mulai menunggangi si pirang. Dia menamparnya lagi
dan mulai memompa tubuhnya dengan liar.
“Kau murahan,
pelacur tengik, aku akan keluar!
Lalu: “Oh, sial!
OH, TUHAN! Oh, oh, oh!”
Dia terjatuh di
tubuh Nana dan berbaring di atasnya. Setelah beberapa saat dia bangkit. Lalu
menatapku.
“Yakin tidak mau?”
“Tidak, Harry,
terima kasih.”
Harry mulai
tertawa. “Lihat dirimu, tolol, kau menjadi penakut!”
Harry memakai
kembali calananya, dan tertawa.
“Baik,” katanya,
“ikat kaki dan tangannya dengan selotip. Kita akan keluar dari sini.”
Aku berjalan dan
menyelotip si pirang.
“Tapi, Harry,
bagaimana dengan uang dan perhiasannya?”
“Kita ambil
dompetnya. Aku ingin sekali keluar dari sini. Aku gugup.”
“Tapi, Harry, ayo
kita ambil semuanya.”
“Tidak,” katanya
“hanya dompetnya. Lihat celananya. Ambil uangnya.”
Aku menemukan
dompetnya.
“Hanya ada $83 di
sini, Harry.”
“Kita ambil dan
pergi. Aku gugup. Firasatku aneh. Kita harus pergi.”
“Sialan, Harry,
tak ada hasilnya! Kita bisa ambil semuanya sampai bersih!”
“Sudah kubilang:
aku gugup. Aku merasa bahwa akan ada bahaya. Kau boleh tetap di sini. Aku
pergi.”
Aku mengikutinya
menuruni tangga.
“Si brengsek itu
akan berpikir dua kali sebelum menghina siapapun lagi,” kata Harry.
Kami menemukan
jendela yang telah kami bobol dan meninggalkannya dengan keadaan serupa. Kami
berjalan melalui kebun dan keluar dari pagar besi.
“Baik,” kata
Harry, “kita berjalan seperti biasa. Nyalakan rokok. Berusahalah terlihat
normal.”
“Mengapa kau
gugup, Harry?”
“Diamlah!”
Kami berjalan
empat blok. Mobil masih di situ. Harry mengambil kemudi dan kami pergi.
“Mau kemana kita?”
tanyaku.
“Gedung teater The
Guild.”
“Apa
pertunjukannya?”
“Black Silk
Stocking, dengan Annette Haven.”
Tempatnya terletak
di Lankershim. Kami parkir dan keluar. Harry membeli dua tiket. Dan kami masuk.
“Popcorn?” aku
bertanya pada Harry.
“Tidak.”
“Aku mau sedikit.”
“Ambillah kalau
begitu.”
Harry menunggu
sampai aku mendapatkan popcorn besar. Kami duduk di bagian belakang. Kami sedang beruntung.
Pertunjukan baru saja dimulai.
Diterjemahkan dari
cerpen Charles Bukowski yang berjudul Break-In, cerpen ini mucul di buku
kumpulan cerpen The Bell Tolls or No One. Cerpen berbahasa inggris dapat
diakses di bukowski.net.
![]() |
Seorang penggemar musik dan film, penerjemah pemula, kadang-kadang terpaksa jadi jurnalis
di LPM Rhetor. Bisa ditemui di instagram @sharkassthic_
|