Memaknai Imajinasi untuk Mengomentari dan Merefleksi Situasi
Thursday, June 18, 2020
Edit
Identitas Buku
Judul: Empat Aku: Sekumpulan Kisah
Penulis: Yudhi Herwibowo
Penerbit:
Marjin Kiri
Cetakan: Mei, 2019
Tebal: vi +165
Minum kopi dan
menghisap rokok pada malam hari menjelang fajar terasa lebih nikmat, setelah
ditemani sekumpulan kisah karya Yudhi Herwibowo. Kisah-kisah yang ditulisnya
terasa amat dekat dengan saya. Selain itu, kumpulan kisahnya juga terkadang
membuat saya merinding, terlebih posisi kamar yang terasa lebih dingin pada
malam ini ketimbang malam-malam lain. Beban di kepala saya terasa lebih ringan,
setelah menyaksikan dan memahami riwayat rekaan Yudhi. Menggelitik, tapi
terkadang juga mengusik. Setidaknya begitu yang saya rasakan.
Buku kumcer
Yudhi yang berjudul Empat Aku: Sekumpulan Kisah ini, adalah sebuah buku yang
tidak membuat kita bisa bersenang-senang dan bersantai. Sebagai seorang pembaca,
saya merasa seperti dipecut oleh buku ini. Tak ayal, buku ini membuat saya
harus segera menyelesaikan membacanya, jika tidak ingin menerima kesakitan yang
lebih. Sekumpulan kisah yang ada di dalamnya, ibarat film yang sedang diputar
dengan tempo lambat namun amat padat. Saking padatnya, begitu terasa keheningan
yang keluar dari setiap judul cerpen yang ada di dalam buku ini.
Dari lima belas
judul yang ada di dalam buku ini, hampir setengahnya sangat mengena bagi saya. Antara
lain yaitu, Kampung Rampok, Kota yang Ditinggalkan, Kisah Kera-kera Besar
yang Pergi Menuju Langit, Jejak Air, Bulan Terbelah, Satu... Dua... Tiga...
Empat.., dan Kisah Akhir Para Tiku.
Cerpen Kampung
Rampok sendiri, mengingatkan saya kepada desa di mana orang tua saya sekarang
tinggal, dan menarik ingatan saya ketika pertama kali pindah ke sana. Dalam cerpen
ini, kita akan diajak Yudhi menuju lorong yang mungkin terkesan asing, tetapi
justru sangat dekat bagi orang desa kebanyakan. Logika tradisional dan
modernisasi bercampur-baur dalam cerpen ini, dan kita diseretnya menyaksikan
kejadian yang sebenarnya jamak terjadi di sudut Indonesia mana pun. Yaitu kekuasaan
yang selalu menuntut korban.
Sebagaimana kita
ketahui, lingkaran kekuasaan itu akan selalu ada. Mulai dari lingkaran terkecil
sampai lingkaran yang paling besar. Beberapa lingkaran kekuasaan ini tentu akan
bersinggungan, jika tidak berkoalisi, maka sudah jelas akan saling bertabrakan.
Kampung Rampok, adalah cerminan hal tersebut. Cerpen ini sebenarnya
cerminan kita yang selalu menyamakan kekuasaan tadi dengan simbol jelmaan iblis,
dan tak jarang mengutuknya begitu rupa. Padahal, dalam setiap diri kita
sejatinya juga terdapat unsur semacam itu, yang sayangnya jarang kita sendiri sadari.
Cerpen Kota
yang Ditinggalkan, mengajak kita berkelana menuju ruang sempit. Cerpen ini
dengan telak mengomentari kejadian yang kita temui sehari-hari. Mulai dari
plagiasi yang disengaja, sampai menghilangkan asal-usul sebuah penemu. Tidak hanya
itu saja, cerpen ini seakan mengingatkan kita dengan peristiwa tak kasat mata
yang sungguh adanya. Akan tetapi, bukan di sana titik tekan cerpen ini. Cerpen ini
sesungguhnya mengajarkan konsistensi dan keseriusan serta ketekunan, tidak melulu
kerja-kerja instan demi meraih hasil cepat semata.
Dari Kisah
Kera-kera Besar yang Pergi Menuju Langit, tidak sekadar mengajarkan soal kacang
yang lupa kulitnya. Lebih jauh dari itu, cerpen ini adalah wajah nyata dari
ketamakan manusia, yang tidak pernah puas dengan apa pun. Bahkan ketika sudah
menemukan yang namanya ketenangan, kesejahteraan, dan ketenteraman, manusia sesungguhnya
sulit secara kodrati untuk menghindari ketamakan. Entah itu adalah sebuah sifat
lahiriah, akan tetapi yang jelas, hal-hal semacam itu sangat mungkin ditekan
jika secara pribadi sudah meniatkannya.
Melalui cerpen
ini pula, kita bisa menyaksikan kehatian-hatian seorang Yudhi sebagai
arsitektur cerita, yang tidak hanya sekadar membuat kita ternganga, namun juga
membuat kita mereka-reka. Perasaan kehilangan, ketidakpercayaan, serasa tidak
bisa tertuntaskan dengan sekadar pertemuan dan pembuktian. Hal ini pula yang
selanjutnya akan membuat kita bertanya, “benarkah pertanyaan dan keingitahuan
itu tidak mesti selalu harus mendapatkan jawaban?”. Karena bukankah puncak
pengetahuan itu ketika malah tidak merasa tahu apa-apa?
Jujur saja, bagi
saya cerpen Jejak Air adalah cerpen yang terkuat di dalam buku ini. Bukan soal
ketajaman dan sasaran kritiknya yang teramat jelas ditujukan kepada siapa. Akan
tetapi peletakan kejadian, susuna plot, serta narasinya yang mengalir seperti
judul cerpen ini sendirilah yang membuat cerpen ini begitu kuat. Lebih-lebih
juga karena harapan yang ditaruh di dalam cerpen ini, dan dibumbui oleh Yudhi
sampai membentuk untaian cerita yang menjulur seperti akar.
Kekeringan yang
menjadi tema dalam cerpen ini, mirip dengan kegersangan rasa kepedulian kita. Yang
sering kali kalah hanya karena kekaguman atau ketakjuban. Banyak dari kita yang
sebenarnya malas mencari tahu persoalan-persoalan yang sangat genting. Dan tidak
jarang pula, kita lebih sering menganggap bahwa hal tersebut adalah dialektika
alam, yang sama sekali tidak ada campur tangan manusia di dalamnya. Melalui cerpen
ini, setidaknya kita dapat belajar soal arti kesetiaan, meskipun dalam kondisi
yang sangat tidak menguntungkan dan lemah tak berdaya.
Untuk selebihnya,
silahkan para pembaca budiman cari tahu sendiri. Boleh jadi apa yang saya
jelaskan di sini sangat kurang memadai dan sangat subjektif sifatnya. Tetapi satu
hal pasti yang harus diketahui oleh pembaca, sekali lagi buku ini bukanlah buku
yang akan mengajak kita bersenang-senang. Meskipun secara narasi buku ini
sangat enak dan indah dibaca, tetap saja itu bukan menjadi prioritasnya. Di balik
keindahan dan keelokan buku ini, menyimpan sejuta luka yang mencari tempat
berlabuh.
Walaupun demikian,
buku ini juga tidak akan menganjurkan kita untuk meratapi
permasalahan-permasalahan yang ada di sekitar. Kebalikannya, buku ini seperti
membentak kita yang selalu santai dalam ketenangan, dan panik dalam sebuah
keributan. Seperti kampung yang tak nyaman ditinggali, seperti desa yang
kering, seperti dendam yang belum tuntas, seperti hadiah dari hasil curian, dan
seperti orang-orang yan terlupakan, buku ini mengajak kita melihat hal itu. Sebab
dunia ini tidak indah jika kita hanya menikmati kesenangan yang tidak kita
ketahui asalnya dari mana.