Melihat Kurang Ajarnya Manusia kepada Alam
Penulis:
Herlambang Wisnu M
Sebelum membaca tulisan ini, yang murni berasal dari sudut pandang serta persepsi yang saya
punya, mari kita sejenak melihat beberapa kejadian yang ada di bumi akhir-akhir
ini. Mulai dari pandemi, aktivitas vulkanik dari gunung-gunung, bergeraknya lempeng bumi, dan gelombang air laut di
beberapa tempat. Dalam kacamata media maupun pandangan yang sudah lama dibentuk
oleh pendidikan dan penuturan orang, biasanya kita menyebut segala aktivitas
alam adalah sebuah bencana yang merugikan manusia, baik dari segi kehidupan maupun materi.
Memang, segala aktivitas alam yang terjadi bisa memengaruhi
kita sebagai manusia yang numpang hidup di dalam lingkupnya, dan sering kali yang kita pikir adalah aktivitas alam menyebabkan
kerugian pada pihak manusia. Sehingga, dengan kurang ajarnya
kita menyebut hal tersebut sebagai “bencana alam”. Coba kita pikirkan ulang,
dari sekian banyak kalkulasi untung rugi karena aktivitas alam,
bukankah kita sudah sangat untung?
Kita hidup dalam lingkup alam dan mengambil sumber
dayanya untuk kebutuhan hidup, yang membuat kita bisa bertahan dalam kehidupan dan beranak-pinak di bumi ini. Alam pun juga selama ini bersikap
selow, bahkan sama sekali tidak menuntut manusia untuk memberikan gaji bulanan, karena sudah memberikan ruang hidup dan sumber dayanya.
Namun
justru manusia yang sering kali kurang ajar kepada alam,
seperti melakukan eksploitasi tanpa memikirkan efek
sampingnya. Contohnya pembukaan lahan yang dilakukan
dengan membakar area hutan tanpa memikirkan dampak dari pembakaran tersebut.
Tanpa kita sadari dan bodoh amat dengan dampak yang dihasilkan, banyak hewan
yang tinggal di hutan akhirnya mati terbakar. Selain itu, cara tersebut juga
ujungnya hanya akan merugikan masyarakat sekitar, karena asapnya berdampak
buruk pada kesehatan. Karma is real right?
Ada pula satu contoh kurang ajar yang sering kali dilakukan manusia kepada alam, yaitu industri yang tidak melakukan pengolahan limbah.
Sebagaimana kita ketahui bersama, setiap industri amat sangat membutuhkan
sumber air, dan pada umumnya akan mengambil sumber air dari sungai. Akan tetapi
sayangnya, setelah mengambil air dari sungai, berbagai macam limbah berbahaya
yang dihasilkan dari industri, tidak diolah terlebih dahulu. Melainkan langsung
dibuang begitu saja. Sehingga merusak ekosistem sungai yang sedari awal sudah
terbentuk.
“Ibarat air susu yang dibalas air tuba, alam sudah
memberikan apa yang manusia butuhkan, namun yang manusia berikan kepada alam adalah
perusakan.”
Selain itu, kekurangajaran kita para manusia adalah, menganggap aktivitas kita sendiri yang merusak alam
bukan sebuah pemicu bencana. Selalu saja, kita mengatakan gerak penyesuaian yang dilakukan oleh alam, adalah yang sebenarnya sebuah “bencana alam”.
Mari kita sedikit recalling memory dalam otak
kita. Dari berbagai macam literasi yang sudah pernah kita
baca, pastinya kita sudah memahami jika aktivitas vulkanik, pergerakan lempeng
bumi, gelombang pasang, dan lain sebagainya adalah pergerakan alamiah dari alam
agar keadaannya tetap stabil.
Namun sekali lagi, bukankah kita harusnya merasa kurang ajar? Jika menganggap gerak penyesuaian tersebut seakan-akan adalah sumber bencana yang merugikan
manusia? Padahal,
sering
kali aktivitas yang manusia lakukan,
lebih berdampak buruk pada keseimbangan alam.
Mbok ya kita sebaiknya belajar dari sudut pandang
kearifan beberapa masyarakat di Nusantara ini.
Saya ambil contoh dari masyarakat Yogyakarta dan Bali. Dalam pandangan
masyarakat Yogyakarta yang dekat dengan gunung Merapi, ketika gunung Merapi
erupsi maupun meletus, tidak mengatakan hal tersebut sebagai bencana melainkan
mengatakan bahwa “Merapi lagi nduwe gawe”, atau bisa dibilang Merapi sedang
punya aktivitas besar.
Masyarakat
Yogyakarta juga menganggap segala aktivitas yang dilakukan oleh gunung Merapi,
adalah sebuah proses yang nantinya akan memberikan berkah tersendiri bagi
masyarakat. Contohnya abu vulkanik yang bermanfaat bagi kesuburan tanah, serta
material vulkanik yang dikeluarkan melalui jalur lahar, yang nantinya dapat
masyarakat gunakan sebagai alternatif mata pencaharian. Baik itu sebagai penambang
pasir, maupun dapat masyarakat langsung gunakan sebagai bahan baku bangunan.
Uniknya,
penambangan pasir tersebut juga perlu mengingat pesan wasiat yang diberikan
oleh Almarhum Mbah Maridjan. Terkhusus kepada masyarakat yang akan mengambil
pasir di lereng Merapi; untuk jangan sekali-sekali mengambil pasir yang ada
dengan menggunakan mesin pengeruk, karena ditengara akan merusak alam.
Sedangkan
masyarakat Bali beranggapan,
ketika gunung Agung meletus, diyakini
memiliki hubungan yang kuat
antara manusia dengan alam. Mereka
menganggap hal tersebut adalah sebuah
peringatan kepada manusia, sekaligus bagian dari sebuah
proses pemulihan keseimbangan alam, khususnya di Bali.
Masyarakat
Bali juga menganggap jika letusan gunung Agung yang terjadi, erat kaitannya
dengan nilai spiritual dalam tradisi Galungan. Karena mereka juga memercayai
jika letusan gunung Agung, merupakan sebuah
proses peleburan secara sekala niskala, dan nantinya akan memberikan
keberkahan kepada masyarakat Bali.
Dari
dua contoh kebijaksanaan masyarakat tersebut, kita bisa mengambil sebuah pelajaran
berharga. Bahwa sebenarnya kita manusia, hidup bersama dengan alam, dan
hendaknya lebih bijaksana dalam bersikap kepada alam.
Lebih
baik lagi, jika kita menganggap alam bukan sebuah obyek atau benda mati, yang
bisa seenaknya kita eksploitasi. Akan
tetapi, menganggapnya sebagai makhluk hidup yang beriringan dengan manusia, dan
memperlakukannya seperti kita memperlakukan manusia pula. Baik itu menjaganya,
merawatnya, dan mendoakan alam agar Tuhan senantiasa melimpahkan kebaikan serta
keseimbangan kepada alam.
![]() |
Pelajar abadi |