KIDUNG TUA MENUA dan Puisi Lainnya
Saturday, June 6, 2020
Edit
Penulis: Lyn
DI AMBANG SENJA
Aku
berada di ambang malam
Namun
masih terjepit siang
Sedang
pakaianku antara hitam dan putih
Duduk
bersimpuh penuh peluh
Merasakan
dinginnya lupa
Di antara
ingat yang tersekat
Tanganku
menengadah pasrah
Memanjatkan
do’a dengan seksama
Tentang
nasib yang telah raib
Dan
mimpi yang masih menjadi misteri
Pintaku,
aku selalu ada dalam segala rencana di hidupmu
MENGENDAP, ATAU MENGUAP?
Temaram
lembayung senja
Berhias
mega menggelayut manja
Bayu
berdesir semilir
Merasuk,
menusuk
Aroma
petrichor yang menemani secangkir kopi
Masih
setia kusesap
Bersama
rindu yang mengendap
Di
antara kopi panas yang menguap
PADA SIAPA
Aku mulai
menulis
Entah apa
yang akan aku tulis
Aku ingin
berteriak
Melepaskan
segala sesak
Aku ingin
mengamuk
Karena
pikiranku berkecamuk
Aku ingin
menangis
Terasa jelas
hatiku teriris
Aku ingin
bercerita
Akan segala
derita
Aku ingin
bercerita
Namun pada
siapa?
Saat tanya
tanpa jeda
Kau menjawab
tanpa perintah maupun aba-aba
“Datanglah,
Nona. Segala inci tubuhku siap untuk melayani keluh kesahmu”
KIDUNG TUA
MENUA
Masjid tua ini masih berdiri kokoh
Namun
keinginan meramaikan roboh
Hanya
para remaja berseloroh
Pun
bersemi dengan cemooh
Sanggupkah
aku terus membeku?
Sedangkan
tajamnya selorohmu terus menyerbu
Ataukah
harus ku menegurmu?
Padahal
gagap dan gugup menyelimutiku
Barang
rata berserak
Tak
perlu lagi kuberteriak
Hingga
tercekat dalam serak
Apakah
tak malu dengan awan berarak?
Di
serambi masjid ini
Aku
termenung sendiri
Menatapi
dan meratapi
Akan
opera dan romansa yang mulai mati
Bolehkah
kumeratap?
Ketika
seonggok rinduku menguap
Bila
masjid ini terus sepi, sungguh ku tak siap!
Tak
adakah yang terkesiap?