Hukum Alam yang Abadi dan Paradoks Manusia Modern
Data Film
Judul: The Lobster
Sutradara: Yorgos Lanthimos
Produser: Ceci Dempsey, Ed Guiney, Lee Magiday
Aktor/Aktris: Colin Farrell, Rachel Weisz, Jessica Barden,
Olivia Colman, Ashley Jensen, Ariane Labed, Angeliki Papoulia, John C. Reilly
Durasi: 118 menit
Produksi: Element Pictures
Sampai kapan
pun, hukum alam itu abadi. Yang kuat akan selalu memangsa yang lemah. Yang lemah
akan selalu menghindar agar terus hidup dan tidak dimangsa. Siklus semacam ini
akan berakhir apabila si lemah sudah benar-benar yakin bisa menghadapai
pemangsanya. Toh pada akhirnya hal itu juga akan mengulangi siklus sebelumnya. Yang
awalnya lemah tadi, akan berubah menjadi pemangsa baru. Karena hakikatnya
manusia sangat akrab dengan ketidakpuasan.
Hukum alam itu
niscaya, dan selalu hadir di antara kita. Percaya atau tidak, ia bisa datang kapan
saja dan di mana saja. Walaupun kita ingin mengubah dan menghindari hukum alam bila
perlu, tetap saja ia bukan sesuatu yang bisa dihindari bahkan dihilangkan. Kecuali,
jika semua kesadaran umat manusia sudah berada di taraf yang paling tinggi dan
mendekati sempurna. Kiranya tidak perlu kita melawan hukum alam dan mari
beradaptasi dengan hal tersebut.
Menonton film The
Lobster, mengingatkan saya dengan salah satu cuplikan di serial film Harry
Potter. Yaitu ketika Harry diberitahu soal tiga benda keramat, yang salah
satunya berbentuk jubah. Diceritakan, tiga benda keramat ini seakan-akan bisa
memengaruhi si pemakai atau pemiliknya. Yang lantas kemudian, menjadikan
pemilik tiga benda keramat ini merasa bisa melawan takdirnya. Padahal, rasa
kepongahan tersebut tidak lain hanyalah tipu daya yang dihasilkan oleh benda
keramat tersebut, karena kesadaran si pemiliknya sudah berhasil diambil alih.
Sebagaimana yang
kita ketahui, pemilik jubah keramat dalam serial Harry Potter bisa
menghindari kematian. Bahkan anehnya lagi, selagi jubah ini masih dikenakan, si
pemakai tidak akan bisa ditemukan oleh kematian, atau dengan kata lain bisa
menunda ajalnya. Tetapi sayang, si pemilik jubah pun pada akhirnya merasa bosan
dengan yang namanya ‘keabadian’. Dan akhirnya memilih untuk mewariskan jubah
tersebut pada orang lain.
Sampai di titik
ini, mungkin kita akan bertanya-tanya, tentang apa yang sebenarnya harus kita
dapatkan dalam hidup ini? Cukupkah dengan hal yang sifatnya materil semata? Atau
harus ditambah pula dengan hal yang sifatnya non materil, seperti cinta, rasa
aman, kepercayaan, dan kebahagiaan? Jika keduanya sudah kita dapatkan,
mungkinkah kita yang tercipta sebagai makhluk yang tidak pernah puas dan penuh
ambisi ini bisa merasa cukup? Saya kira, jawaban dari beberapa pertanyaan tadi tidak
akan sesederhana dan bisa dijawab dengan ‘ya’ atau ‘tidak’ bukan?
Oke, mari kita
tunda sejenak untuk menjawab hal itu. Sembari memikirkan jawabannya, mari kita
menilik sebentar film yang akan saya bahas. The Lobster bisa
dikategorikan sebagai film yang bergenre dark comedy. Film yang sejenis
ini, biasanya memang akan menaruh ide dasarnya penuh dengan absurditas dan
paradoks. Tidak berhenti sampai di situ, film sejenis ini biasanya juga sangat
suka bermain-main dengan yang namanya konflik, kontradiksi, inkonsistensi,
serta polaritas. Dan saya menganggapnya seakan sudah menjadi ciri yang sulit
untuk dipisahkan.
Film ini
berkisah soal kehidupan di masa depan, yang penuh dengan keanehan dan hal-hal
yang tidak mungkin terjadi di masa-masa sekarang. Kecuali, jika ada sebuah negara
yang benar-benar tidak memiliki kerjaan, sehingga repot-repot mengurusi urusan
pribadi warga negaranya. Bisa dibilang, film ini mewakili betapa bosannya
kehidupan di masa depan nanti. Setidaknya begitulah saya memaknai dan
menafsirkan ide besar yang terdapat dalam film ini.
Hukum alam yang
sudah saya singgung dari awal, hampir memenuhi keseluruhan alur film. Yang tak
ayal, mampu membuat para penonton bosan jika tidak menangkap pesan yang ingin
disampaikan. Akan tetapi, daya tarik film ini justru malah terletak pada
ketidakjelasannya tersebut. Hingga, mampu membuat para penonton terseret dan
ingin menerka kejadian selanjutnya, bahkan ketika film baru dimulai. Aneh, bukan?
Namun hal ini selaras seperti yang saya bilang tadi, dan seakan menjadi ciri
dari beberapa film dark comedy.
Mungkin sebagian
besar dari kita, sangat ruwet dengan urusan asmara. Untuk konteks di Indonesia
sendiri—yang tergolong negara berkembang—dan termasuk juga di negara-negara
maju, urusan asmara adalah hal yang pelik. Tidak jarang, orang akan lebih
tertarik dengan sebuah urusan asmara seseorang, ketimbang proses yang dijalani dan
ditempuh orang tersebut sehingga mampu berprestasi.
Contoh yang
paling dekat dengan kita, yaitu soal kehidupan artis atau seleb televisi. Kebanyakan
dari kita, setidaknya pasti sudah mengetahui soal berita yang melibatkan Ruben
Onsu dengan produk usahanya yang kalah banding, dan kemudian harus berganti
nama tersebut. Saya tebak, berita ini tidak akan lama bertahan dalam ingatan
kita, ketimbang pemberitaan anak angkat Ruben tempo lalu yang dianggap agak
cabul bukan? Nah dari sini saja, hubungan asrama atau kasih sayang itu bisa dibilang
lebih seksi, daripada kasus-kasus yang melibatkan profesionalitas.
Film besutan
sutradara Yorgos Lanthimos asal Yunani ini, ditujukan untuk menguliti hal
tersebut. Dengan piawainya, Lanthimos mempolarisasi dua kelompok yang saling
berseberangan. Uniknya, Lanthimos menunjukkan kekurangan dan kontradiksi dalam
tubuh kedua kelompok besar tadi. Yang bisa disebut, berasal dari tindakan
alamiah seorang manusia yang absurd dan sukar untuk konsisten, terlebih jika
dilekatkan sebuah aturan yang mengikat dan menjenuhkan.
Film ini pun
sebenarnya mampu dijadikan contoh tentang bagaimana sebuah manajerial yang
baik. Pasalnya, sekumpulan manusia yang ada di film ini di peta-petakan
sedemikian rupa, meskipun pada kenyataannya tidak akan seperti itu adanya. Namun
yang jelas, dari film ini kita bisa mengambil sebuah pelajaran berharga, yakni
soal kesenjangan atau jarak yang akan selalu ada dan tidak mungkin bisa
dihilangkan.
Selain itu,
film ini saya sebut sebagai film yang mendukung paham liberalisme. Bahkan,
mungkin film ini lebih sedikit mengarah pada sebuah kebebasan yang condong ke
anarki. Sebab, dalam suatu kelompok yang menekankan kebebasan, pada nyatanya
sebuah aturan itu tidak akan pernah bisa hilang, yang sering kali malah
mengekang orang-orang di dalamnya. Oleh karena itu, film ini seakan
menormalisasi sebuah paradoks tadi, yang sangat mungkin akan terjadi pada umat
manusia di kemudian hari.
Melalui film
ini, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan, bahwa pada dasarnya manusia itu,
baik laki-laki atau perempuan sama-sama unik. Setiap potensi keunikan yang terdapat
dalam diri manusia, sangat disayangkan jika harus dikerangkeng dengan
aturan-aturan yang konyol dan tidak jelas manfaatnya. Pada akhirnya, di akhir
film kita bisa berkata, “bahwa pernikahan itu adalah pilihan”. Sampai kapan
pun, tidak akan ada yang bisa memvonis dan membenarkan kalau pernikahan sudah
pasti mampu merubah seorang manusia menjadi lebih baik.
Jadi, tidak
perlu kampanye untuk segera menikah dan tidak menikah ya. Karena belum tentu
kita sendiri tahu apa yang sebenarnya cocok bagi kita. Bisa saja, perasaan
ingin menikah dan membangun hubungan rumah tangga, adalah perasaan sesaat saja.
Dan bukan tidak mungkin, orang yang paling ngotot sekalipun untuk tidak
menikah, pada suatu hari berkemauan untuk menikah, hanya agar ada yang
menggosok punggungnya pada malam hari~