Hidup Autentik dalam Kompleksitas Sartre
![]() |
Sumber foto: philosophersforchange.org |
Berpikir dan
bertindak terkadang tidak selalu beriringan. Dua hal yang seharusnya selaras
ini, sering kali juga bertolak belakang. Karena otak manusia mengandung sebuah
kompleksitas yang akut, tak jarang membuatnya begitu rumit seperti jejaring
benang kusut. Dari kekusutan tersebut, munculnya skala prioritas serta
pembagian, antara mendahulukan berpikir, atau mendahulukan bertindak, dan tidak
terkecuali membarengi keduanya dalam sebuah irama dan ritme yang terpadu.
Ada sebuah fase
di mana dua momentum tersebut harus menemukan kesejajarannya. Entah karena
sebuah peristiwa mendesak, ataupun peristiwa yang mengejutkan. Dua contoh
barusan, hanyalah sebagian kecil stimulus yang membuat otak kita bekerja dalam
ritme dan nafas yang ideal. Tentu masih banyak lagi stimulus yang mampu
membangkitkan gairah keselarasan berpikir dan bertindak. Akan tetapi, saya
tidak akan membahas hal tersebut lebih jauh.
Dalam tulisan
ini, saya mencoba menuangkan gagasan soal “Hidup Autentik ala Sartre.” Tulisan ini
akan sedikit dipengaruhi pengalaman hidup yang pernah saya alami, dan mungkin
para pembaca juga pernah mengalaminya. Baiklah, mari kita langsung membedah
seberapa “autentik”-nya Sartre dan hidup yang sedang kita jalani ini.
Seperti yang
kita ketahui, Sartre adalah pemikir yang juga terlibat di jalanan. Gagasannya tercermin
dari caranya bertindak, serta keterlibatannya dengan situasi di sekitarnya. Laki-laki
yang suka ngopi ini, mungkin tidak berbeda dari kebanyakan orang. Namun, yang
patut kita contoh darinya adalah ketekunan, keberpihakan, kukuhnya prinsip yang
ia junjung, dan keberaniannya.
Bukan tanpa
sebab saya menaruh poin keberanian paling akhir. Bagi yang mengenal Sartre,
bisa jadi menganggap Sartre adalah orang yang terlalu berani atau arogan. Tentunya
anggapan tersebut bukanlah masalah, dan sah-sah saja menilai Sartre seperti
itu. Tidak sepenuhnya salah dan tidak pula sepenuhnya benar. Sebab, Sartre
pribadi tipikal orang yang meletakkan kebebasan di puncak piramida berpikirnya.
Dan kebebasan dianggapnya sebagai sebuah jalan yang paling memungkinkan menuju
sebuah keautentikan.
Autentisitas
yang Dikepung Konstruk
Sedari kecil
dan ketika mulai menginjak sekolah, hidup kita yang autentik kebanyakan sudah
terenggut. Terenggut oleh suatu hal yang ada di luar kita. Yang terkadang, juga
tidak kita sadari serta rasakan. Kehilangan keaslian hidup, menurut Sartre
adalah sebuah promblem tersendiri. Problem akut yang melelahkan dan menyebabkan
krisis identitas. Akan tetapi, identitas yang dimaksud oleh Sarte di sini juga bukanlah
identitas yang menghilangkan kesejatian diri. Dalam artian, identitas yang
dimaksud adalah identitas yang benar-benar asali dari seseorang.
Sartre, adalah
orang yang menolak mengedepankan esensi ketimbang eksistensi. Baginya, esensi
bukanlah hal yang nyata, dan tidak lebih semacam konstruk. Seperti yang sudah
saya singgung di atas, ketika kita mulai sekolah, sebagai seorang murid dan
anak, kita dituntut untuk memenuhi standar yang berada di luar diri kita. Di satu
sisi ada sebuah patokan dari sekolah, di sisi lain ada batas yang telah
digariskan oleh orang tua kita. Pembatas ini yang secara tidak langsung
membentuk kehidupan kita ke depannya. Mulai dari cara belajar, sampai dengan
makan.
Bagi sekolah,
kita dianggap baik apabila mendapat nilai di atas angka 6. Bagi orang tua, kita
dianggap baik jika kita bisa menyelesaikan pekerjaan rumah. Dari dua ketentuan
tadi, secara tidak langsung membentuk rutinitas kita sebagai seorang manusia. Kita
dituntut untuk memenuhi apa yang diinginkan oleh yang berada di luar kita, oleh
sekolah dan oleh orang tua. Pertanyaannya, pernahkah kita diberikan pilihan
untuk memilih? Nah, kemudian apakah kita merasa kalau hal-hal tadi sebenarnya
belum teramat jelas manfaatnya bagi kita?
Sebagai manusia
yang hidup dalam kepungan konstruk, kita dituntut untuk berperilaku ala
kadarnya. Dengan ritme yang begitu-begitu saja, dan dengan kegiatan yang
itu-itu juga saja. Sartre, dalam konteks semacam itu, menawarkan sebuah gagasan
yang layak kita tinjau. Baginya, dalam diri seseorang itu, akan selalu ada
minimal dua pilihan. Pilihannya, antara mengikuti kemauan yang ada di luar
kita, atau mengikuti kata hati dan keinginan kita sendiri. Tapi sayangnya, kebanyakan
dari kita lebih sering memilih yang pertama, bukan?
Terlepas dari ada-tidaknya
sebuah keterpaksaan, keterdesakkan, dan keterbatasan, bagi Sartre, dua pilihan
tadi tidak bisa dihilangkan. Kecuali, jika kita sendiri memang benar-benar
memilih hidup yang tidak autentik. Akan saya contohkan dengan misalnya seorang
pembeli buku. Jika tidak memiliki uang, biasanya kita akan lebih memilih
menunda ke toko buku, ketimbang harus memperparah keinginan tersebut. Kondisi yang
demikian, bagi Sasrtre masih masuk dalam sebuah keautentikan. Karena, kita berani
menentukan pilihan tanpa sebuah gangguan dari luar.
Namun, beda
halnya bila kita ke toko buku dalam kondisi tidak punya uang berdasarkan ajakan
teman. Entah karena rasa solidaritas, ketidakenakan, dan semacamnya, secara
tidak langsung kita sudah menghianati keauntetikan kita. Karena bertindak tidak
berdasarkan pilihan yang kita buat, akan tetapi ditentukan oleh faktor luar. Hal
semacam inilah yang pada akhirnya tidak disetujui oleh Sartre dan cenderung
ditolaknya. Sebab, tidak menutup kemungkinan, dari hal kecil tersebutlah yang
selanjutnya menciptakan kesalahan berpikir dan bertindak yang lebih besar!
Determinisme
Baru dan Selubung Fatamorgana
Rasisme dan
Seksisme, sering kali lahir dari yang namanya ketidakautentikan. Maksudnya begini,
dalam situasi dewasa ini, kita lebih cenderung suka melabeli diri ataupun
sesuatu. Tindakan kita melabeli dan menilai sesuatu ini, berhubungan dengan
konsep esensi yang dikritik oleh Sartre. Bagi Sartre, kebiasaan ini adalah
bukti bahwa terselubungnya cara berpikir dan bertindak kita oleh jaring tak
terlihat (konstruk). Yang kemudian, menjadikan kita lepas dari keaslian kita sebagai
manusia merdeka, dan seharusnya bisa bebas dari segala intervensi.
Memang benar,
pengkotak-kotakan serta pengelompokkan sekarang ini bertambah banyak dan rumit. Dari
sanalah pula lahir semacam pertentangan yang sangat sulit didamaikan apalagi
dihilangkan. Misalnya saja Psikoanalisa, yang menganggap seorang manusai di
masa depan lahir dari alam bawah sadarnya di masa lalu. Pendapat lain datang
dari Marxisme, yang menilai bahwa kelas buruh akan selalu melawan kelas
majikan, dan revolusi adalah jalan keluar yang paling benar. Misalnya lagi Biologisme, yang menyatakan unsur penyusun hidup ini selalu baku.
Dari tiga
contoh tadi saja, kita bisa melihat bahwa esensi hidup kebanyakan dari kita
sudah digariskan oleh konstruk. Esensi kita dinilai dari alam bawah sadar kita
di masa lalu, berdasarkan kelas kita, dan kemampuan pengetahuan kita soal
kebakuan yang sifatnya biologis. Namun juga sulit untuk menampik, kalau
sebenarnya manusia dan kehidupan itu berkembang. Hal tersebut yang kemudian
digunakan oleh Sartre melawan anggapan selama ini soal esensialitas.
Bagi saya, sebenarnya
sah-sah saja jika orang selalu punya (topeng) ketidakauntetikan dalam hidupnya.
Tetapi, setiap orang harus tetap menjaga topeng dari penutup wajahnya yang
asli. Karena bagi saya, keautentikan seseorang itu kalau bisa jangan sampaidiketahui oleh banyak orang, dan memang tidak perlu. Dengan kata lain, topeng
yang saya maksud ini adalah identitas asali yang dimiliki seseorang. Yang tidak
lahir dari sebuah intervensi apalagi sebuah konstruk yang sangat abstrak.
Saya bukanlah
Sartre dan tidak sehebat dirinya yang berambisi mengubah pandangan banyak orang.
Bagi saya, konsep autentik Sartre sangat diperlukan dalam mempertahankan
prinsip hidup yang kita punya. Selain karena berbicara identitas personal,
keautentikan ala Sartre adalah alat pembatas yang jelas dari sifat kemunafikan.
Agar, kita tidak menjadi orang yang tertawa dengan menahan amarah yang
bergemuruh di dada. Juga tidak menjadi orang yang menangis sebagai formalitas. Serta
tidak menjadi orang yang menjilat padahal sebenarnya tidak punya ketertarikan dan karena keterpaksaan.