Skenario Korban Dunia Maya
Wednesday, May 6, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: butir2hujan.files.wordpress.com |
Identitas Buku
Judul: Playing Victim
Penulis: Eva Sri Rahayu
Penerbit: Noura Books
Cetakan: Mei, 2019
Tebal: 400
Sahabat, kata
abstrak yang saya tidak paham artinya, tapi bisa merasakannya. Sebuah kata
imajiner, yang lahir dari konsep suka sama suka, senang sama senang, dan
berbagai hal sepenanggungan. Setidaknya, sependek itu yang saya tahu soal
sahabat. Tidak lebih, tidak juga kurang. Tidak ingin melebihkannya, tidak ingin
pula menguranginya. Tidak mau menganggapnya sebagai sesuatu yang wah, dan tidak
mau juga untuk meremehkan artinya. Sederhananya, sahabat bagi saya adalah
bagian dari sebuah kehidupan.
Sebelum saya
kuliah dulu, ibu saya pernah berkata; “Jika punya teman jangan terlalu baik
(dekat) kepadanya. Anggaplah sama dengan teman lainnya. Tidak perlu
mengistimewakan seseorang atau sebagian kecil orang, ketimbang temanmu yang
lain. Dan tidak ada salahnya memperlakukan mereka sama dengan teman-temanmu
yang lain”. Dari situ saya merasa, ada pesan lain dari ucapan ibu saya. Belum lama
ini, saya tahu arti dan maksud ibu saya berucap demikian. Tidak lain tidak
bukan, adalah soal ‘pengkhianatan’.
Ya,
pengkhianatan yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Dalam kondisi
apapun, dan terkadang terjadi di saat kamu sama sekali tidak menyangkanya. Ibarat
sebuah kehidupan, ikatan persahabatan pasti ada akhirnya. Entah dipisahkan oleh
suatu masalah, atau berakhirnya kehidupan itu sendiri yang memisahkan. Yang jelas,
ketika ada sebuah pertemuan, jangan kaget karena niscaya ada sebuah perpisahan.
Di mana ada sebuah awal, maka ada sebuah akhir yang menunggu.
Setidaknya, begitulah
yang saya tangkap setelah membaca buku berjudul Playing Victim, karya
Eva Sri Rahayu. Buku yang menceritakan kisah gadis perkotaan ini, adalah buku
yang mengingatkan saya dengan beberapa kejadian di waktu silam. Tepat ketika
beberapa teman saya sedang intensnya main Instagram. Segala ativitas yang
mereka lakukan, selalu diunggah ke Instagram. Mulai dari makan es krim, belanja
buku, galau karena kandasnya hubungan, sampai ke hal-hal kecil lainnya.
Membaca buku
ini, sekaligus menggelitik saya. Menggelitik karena Eva secara serius menulis
tentang abnormalitas terhadap media sosial atau dunia maya. Atau bahasa lainnya
bisa kita sebut sebagai sebuah kecanduan.
Sama halnya
dengan kecanduan terhadap hal atau sesuatu lain, kecanduan media sosial juga
menghasilkan sebuah efek negatif. Efek negatif yang timbul, terkadang sayangnya
juga tidak disadari oleh si pengidap. Lebih jauhnya lagi, sebagaimana orang
yang kecanduan, dirinya akan selalu merasa baik-baik saja, walaupun pada
nyatanya tidak.
Sampai di sini,
terlihat bagaimana keseriusan Eva dalam menulis. Yang menurut saya pribadi,
perlu diapresiasi dengan cara yang semestinya. Meskipun ide yang terkandung dalam
buku ini sederhana, setidaknya Eva mampu membuat pembaca merasa begitu dekat
dengan kejadian yang ada di dalam buku ini.
Tidak hanya
itu, Eva sangat mahir saya kira, ketika meninggalkan jejak yang menugaskan
pembaca harus mengikuti alur imajinasinya. Sesuai dengan genre buku ini
yang thriller, para pembaca dibuatnya menjadi detektif dadakan. Yang siap
tidak siap, melakukan dugaan secara tidak langsung.
Benar atau
tidaknya terkaan tadi, bukan menjadi hal utama ketika membaca buku ini. Lebih tepatnya,
Eva menyiapkan arena bagi para pembaca mengartikan sebebas-bebasnya, tanpa
pernah tahu bahwa Eva lah yang menjadi pemenang akhir. Dan bukan para pembaca.
Dari buku ini
kita bisa belajar banyak hal. Mulai dari kepongahan yang berakhir sebagai
bumerang dan menghantam telak kepada si pelempar, sampai kepada rahasia pribadi
yang harus kita gali maknanya sendiri. Belum cukup sampai di situ, Eva adalah seorang
yang menjadi pendikte dan pengeja sekaligus. Ia seakan menuntun, tapi juga
sembari mengajak berlari.
Maksudnya, ia
tidak menghadirkan jeda istirahat bagi para pembaca untuk menunda membaca,
apalagi meremehkan buku ini. Sebab, buku ini bagi saya, termasuk buku yang
tidak bisa ditunda membacanya. Semakin lama kita menundanya, maka akan semakin
jauh dan melenceng pula ketepatan kita membaca buku ini.
Melalui buku
ini pula, kita akan menyadari banyak hal yang tidak tampak, tapi sangat
memengaruhi laku hidup keseharian. Lucunya, hal-hal yang tak terlihat tadi,
menjadi semacam suntikan vaksin. Vaksin karena kita anggap sesuatu tersebut
sebagai sebuah vaksin. Bukan vaksin yang semurninya vaksin. Malah bisa jadi,
vaksin tadi adalah obat yang membuat kita menjadi ketergantungan.
Bukti keberanian
Eva sebagai seorang penulis, terlihat dari skenario yang ia rancang. Yang selanjutnya
menjadi skenario-skenario lain dari setiap tokoh di dalam novel ini. Ada kalanya,
skenario tersebut tidak berjalan sesuai rencana, karena sudah diprediksi dari
awal tidak akan berhasil. Namun ada juga menjadi sama sekali berbeda, lantaran
tidak ada daya untuk mengendalikannya sama sekali.
Jika memakai
bahasa saya pribadi, daya tawar dalam relasi kehidupan sosial, menjadi hal amat
penting yang disinggung dalam buku ini. Hingga akhirnya kita bisa tahu, bahwa
perlombaan yang ingin kita menangkan, belum tentu adalah sebuah keinginan murni
yang berangkat dari sebuah kebutuhan. Malah bisa jadi, keinginan untuk
memenangkan perlombaan tadi, hanyalah sebuah ilusi yang muncul dari rasa penasaran
semata.
Ah, saya tidak
ingin terlalu banyak spoiler hasil bacaan. Saya rasa, memang buku ini
akan selalu menarik dibedah kapan saja. Mengingat, pola kehidupan kita yang sedikit-banyak
sudah mulai bergeser ke dunia maya. Karya Eva ini, bagi saya menjadi salah satu
langkah pencegahan. Pencegahan agar kita tidak menjadi orang yang pandir. Termasuk
ketika memasuki dunia baru. Atau lebih jelasnya, agar kita tidak pandir ketika
sedang berada di dunia maya. Karena untuk membedakan yang maya dan nyata, belum
tentu akan selalu mudah seperti sekarang.