Perempuan Paling Cantik di Kota (Charles BUKOWSKI)
Sunday, May 31, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: Filmcapsule.com |
Ditranslasi oleh: Kusharditya Albi Hafiezal
Cass adalah yang
termuda dan tercantik dari 5 bersaudara. Cass adalah perempuan paling cantik di
kota. Keturunan setengah Indian dengan tubuh yang anggun sekaligus aneh, tubuh yang menyerupai ular dan berapi-api, dengan sepasang mata bersamanya. Cass
adalah bensin yang bersentuhan dengan api dan bergejolak. Ia adalah jiwa yang
selalu berontak dari tubuhnya. Rambut hitam dan panjang, halus dan bergelombang
sebagaimana tubuhnya. Jiwa yang bisa sangat terang dan juga bisa sangat redup.
Tak ada yang abu-abu bagi Cass. Beberapa orang menyebutnya sinting. Hanya orang
tolol yang menyebutnya begitu. Orang tolol yang tak pernah bisa paham dengan
Cass. Bagi para lelaki, ia hanyalah boneka pemuas dan mereka takkan peduli entah
ia sinting atau bukan. Dan Cass menari lalu menggoda, mencium tiap lelaki, untuk satu atau dua contoh, jika tiba saatnya untuk
bercinta dengan Cass, entah bagaimana Cass selalu lenyap dan menghindar dari
mereka.
Saudari-saudarinya
menuduh Cass menyalahgunakan kecantikannya, lantaran tidak cukup menggunakan
otaknya, namun Cass punya otak dan jiwa;
ia melukis, ia menari, ia bernyanyi, dan ia membuat sesuatu dari tanah liat,
dan ketika orang-orang merasa sakit, entah pada jiwa maupun raga, Cass ikut
merasakan duka yang mendalam untuk mereka. Secara sederhana pikirannya memang
berbeda, pikirannya tidak praktis. Saudari-saudarinya iri pada Cass sebab ia
mengambil perhatian seluruh laki-laki, dan mereka juga marah, karena mereka
merasa tidak menggunakan apa yang mereka punya sebaik mungkin. Cass punya
kebiasaan bersikap baik pada orang yang paling buruk wajahnya; seorang lelaki
yang dikenal tampan mengganggunya, "Pengecut!" kata Cass, "jangan
sentuh. Orang-orang hanya bangga atas kesempurnaan lubang telinga dan bentuk
hidung yang bagus...hanya di permukaan, padahal dalamnya
kosong..." Ia memiliki amarah yang
nyaris mendekati kegilaan, ia memiliki amarah yang orang-orang anggap sebagai sebuah
kegilaan. Ayahnya mampus karena alkohol dan ibunya minggat meninggalkan semua
anak gadisnya sendirian. Gadis-gadis kecil itu pergi ke kerabat-kerabatnya,
yang akhirnya malah menempatkan mereka pada sebuah biara. Biara itu menjadi
tempat yang sangat tidak menyenangkan, terlebih bagi Cass ketimbang saudarinya yang lain. Saudari-saudarinya
iri terhadap Cass dan Cass melawan mereka semua. Ia mendapat luka sayat di sepanjang
lengan kirinya, yang didapat seusai mempertahankan diri dalam dua babak
perkelahian. Ada luka permanen di pipi kirinya, luka itu tidak mengurangi
kecantikan Cass, justru malah makin menonjolkan kecantikannya. Aku berjumpa
dengannya di West End Bar beberapa malam setelah ia keluar dari biara. Sebagai
yang termuda, ia menjadi yang terakhir keluar dari biara dibanding saudarinya
yang lain. Ia tiba-tiba duduk di dekatku. Aku mungkin laki-laki paling buruk
rupa di kota ini dan mungkin saja hal ini ada hubungannya.
"Minum?"
tanyaku
"Tentu, kenapa
tidak?"
Aku pikir tak ada
sesuatu yang istimewa dalam percakapan kami malam itu, sesederhana perasaan
yang diberikan Cass. Ia memilihku begitu saja. Tanpa paksaan. Ia menikmati
minumannya dan minum berkali-kali. Ia kelihatannya belum cukup umur tetapi
mereka tetap melayaninya bagaimanapun juga. Mungkin ia telah memalsukan kartu
identitasnya, entahlah. Bagaimanapun juga, tiap kali ia kembali dari toilet dan
kembali duduk di sampingku, aku merasa bangga. Ia bukan hanya perempuan
tercantik di kota, namun juga perempuan tercantik yang pernah aku lihat. Aku
meraih pinggulnya dan menciumnya sekali.
"Menurutmu aku
cantik?" tanyanya.
"Tentu, tapi ada
sesuatu yang lain... Kau lebih daripada itu..."
"Orang-orang
selalu menyebutku cantik. Menurutmu begitu?"
"Cantik bukan
sebuah kata yang tepat, sulit menjelaskannya padamu"
Cass meraih tas kecil
miliknya. Aku pikir ia akan mengambil saputangannya. Ia kembali dengan tusuk
topi yang panjang. Sebelum dapat kucegah ia sudah menusukkan benda itu ke dalam
hidungnya, ke samping, dan ke atas lubang hidungnya. Aku merasa ngeri dan
jijik. Ia menatapku dan tertawa "Sekarang masih menganggapku cantik?
Bagaimana menurutmu sekarang, kawan?" Kutarik tusuk topi itu dan
membersihkan darahnya dengan saputanganku. Beberapa orang, termasuk bartender
melihat kejadian itu. Bartender itu datang:
"Dengar,"
katanya pada Cass, “sekali lagi kau buat ulah, silahkan angkat kaki. Kami tidak
butuh adegan dramatismu di sini"
"Oh, persetan,
kawan!" ucap Cass.
"Jaga dia agar
tetap waras," kata bartender padaku.
"Ia akan
baik-baik saja," kataku.
"Ini hidungku,
apapun yang aku lakukan pada hidungku, terserah."
"Jangan,"
kataku, "kau menyakitiku"
"Maksudmu kau
bakal sakit kalau aku menusuk hidungku?"
"Ya, tentu. Aku
serius."
"Baiklah, tidak
akan aku ulangi lagi. Jangan bersedih."
Ia menciumku, dengan
sedikit menyeringai sembari menahan saputangan di hidungnya. Kami beralih
menuju ke kediamanku saat Bar tutup. Aku punya bir dan kami duduk sambil
berbincang. Baru saat itu aku menyadari ia sepenuhnya sebagai seseorang yang
penuh kasih sayang. Ia berubah tanpa ia sadari. Pada saat yang sama ia kembali
ke sisi liar yang tidak karuan. Sinting. Seorang sinting yang cantik dan
spiritual. Mungkin beberapa laki-laki, atau sesuatu, akan menghancurkan ia
selamanya. Kuharap bukan aku. Kami ke ranjang dan setelah aku mematikan lampu
Cass bertanya,
"Kapan kau mau?
Sekarang atau pagi?"
"Pagi,"
kataku sambil memunggunginya.
Di pagi hari aku
bangun dan menyeduh kopi, membawakan satu untuknya ke kamar. Ia tertawa.
"Kau laki-laki
pertama, yang menolak saat malam hari"
"Tak apa,"
kataku, "kita tidak perlu buru-buru."
"Tidak, tunggu,
aku mau sekarang. Biarkan aku cuci muka dulu."
Cass pergi ke toilet.
Dengan cepat ia keluar, terlihat menakjubkan, rambut hitam panjangnya berkilau,
mata dan bibirnya berkilau, ia berkilau... Ia memamerkan tubuhnya dengan
tenang, sebagai suatu hal yang baik. Ia berada dibawah selimut.
"Ayolah, sayang."
Aku mulai masuk. Ia
mencium sedikit demi sedikit tanpa tergesa-gesa. Kubiarkan tanganku
memegang tubuhnya, melalui rambutnya. Aku sudah masuk. Sangat sempit dan
hangat. Aku mulai bergerak dengan perlahan, berharap agar aku bertahan lama.
Mataku dan matanya beradu.
"Siapa
namamu?" tanyaku.
"Memang apa
pentingnya?" jawabnya.
Aku tertawa dan
pergi. Setelah itu ia berpakaian dan aku mengantarnya kembali ke bar, tapi ia
sangat sulit untuk dilupakan. Aku tidak bekerja dan tidur larut pada jam 2 pagi
lalu bangun dan membaca koran. Aku sedang berada di bak mandi ketika ia datang
dengan daun yang besar serupa kuping gajah.
"Aku tahu kau
sedang mandi," katanya, "jadi aku membawakan sesuatu untuk menutupi
anumu, Tarzan."
Ia melempar daun
gajah itu dan ikut masuk ke bak mandi.
"Bagaimana bisa
tahu aku di sini?"
"Aku tahu"
Hampir tiap hari Cass
datang ketika aku mandi. Waktunya memang berbeda-beda tapi ia tidak pernah
melewatkannya, dan tentu ada daun gajah bersamanya. Lalu kami bercinta. Satu
atau dua malam ia menelpon dan aku harus mengeluarkannya dari penjara akibat
mabuk dan berkelahi.
"Bajingan-bajingan
ini," katanya,"hanya karena mereka membayar minuman untukmu, mereka
pikir mereka bisa merogoh sesukanya."
"Sekali kau
menerima tawaran minum, kau selalu membuat keributan"
"Aku pikir
mereka tertarik padaku, bukan hanya tubuhku."
"Aku tertarik
padamu dan tubuhmu. Aku ragu, bahwa mereka bisa melihat apa yang ada di luar
tubuhmu."
Aku meninggalkan kota
selama 6 bulan, gelisah, lalu kembali. Aku tak bisa melupakan Cass, tapi kami
bertengkar dan aku jadi muak, dan ketika aku kembali aku pikir ia akan pergi,
tapi aku telah duduk di West End Bar sekitar 30 menit ketika ia berjalan dan
menghampiri, lalu duduk di sampingku.
"Halo, brengsek,
ternyata kau kembali."
Aku memesan minuman
untuknya. Lalu menatapnya. Ia memakai baju yang menutupi leher. Tak pernah
kulihat ia berpakaian seperti itu. Dan ada pines di masing-masing bagian bawah
matanya, 2 pines yang berkilau. Yang kau bisa lihat hanya kepala pines itu, dan
paku pines itu menancap di wajahnya.
"Bangsat, masih
coba merusak dirimu sendiri, ya?"
"Bukan, ini
fashion, tolol."
"Dasar
gila."
"Aku
kangen," katanya.
"Ada laki-laki
lain?"
"Tidak, tak ada
yang lain. Cuma dirimu. Aku sedang berusaha keras. Hargaku 10 dolar. Dan kau
bisa mendapatkannya dengan gratis."
"Cabut pines
itu."
"Jangan, ini
fashion."
"Aku sangat
tidak menyukainya."
"Kau
yakin?"
"Sial, tentu
saja."
Dengan perlahan Cass
menarik pines itu keluar dan menaruhnya di dompet.
"Kenapa kau
membenci kecantikanmu?" Tanyaku. "Kenapa tak kau terima dan hidup
dengannya?"
"Karena orang
menganggap hanya inilah yang aku punya. Kecantikan itu omong kosong, kecantikan
tidak akan bertahan lama. Kau tidak tahu betapa beruntungnya bahwa kau buruk
rupa, karena jika orang-orang menyukaimu, pastilah karena ada sesuatu dalam
dirimu."
"O.K.,"
kataku, "Aku beruntung."
"Bukan maksudku
mengatakan kau buruk rupa. Orang-orang hanya menganggap wajahmu buruk. Kau
punya wajah yang menarik."
"Terima
kasih."
Kami minum lagi.
"Apa yang sedang
kau kerjakan?" Ia bertanya.
"Tidak ada. Aku
tidak melakukan apapun. Tidak tertarik."
"Begitu juga
aku. Jika kau perempuan kau harus lebih bekerja keras."
"Aku merasa
tidak mampu menghadapi orang asing, itu melelahkan "
"Betul sekali,
melelahkan, semuanya melelahkan."
Kami pergi bersama.
Orang-orang masih menatap Cass di jalanan. Ia perempuan yang cantik, mungkin
lebih dari cantik. Kami sampai di tempatku dan aku membuka sebotol wine lalu
berbincang. Dengan Cass dan aku, semuanya nampak mudah. Ia berbicara sementara
aku mendengarkan kemudian aku yang akan berbicara. Percakapan kami mengalir apa
adanya. Kami saling mengetahui rahasia kami satu sama lain. Saat kami menemukan
salah satu yang lucu Cass akan terbahak, dan hanya itu yang ia bisa. Semacam
suatu kesenangan di balik sengsara. Selama perbincangan kami berciuman dan
saling mendekap. Kami semakin bergairah dan memutuskan untuk pindah ke ranjang.
Baru itu Cass melepas baju berkerah tingginya dan aku melihatnya--sebuah luka
bergerigi yang parah, melintas di sepanjang tenggorokannya. Sangat besar dan
tebal.
"Perempuan
sialan," kataku dari ranjang, "sialan kau, apa yang kau
lakukan?"
"Aku mencobanya
dengan pecahan botol suatu malam. Kau sudah tidak menyukaiku? Apa aku masih
cantik?"
Aku tarik ia ke
ranjang dan menciumnya. Ia mendorong dan tertawa, "Beberapa lelaki
membayarku 10 dolar dan ketika aku telanjang mereka malah tidak melakukan
apapun. Tapi 10 dolar tetap kudapat. Benar-benar lucu."
"Ya,"
kataku, "Aku tak bisa berhenti tertawa...Cass, bajingan, aku
mencintaimu..berhentilah melukai dirimu sendiri, kau perempuan paling hidup
yang pernah aku temui."
Kami berciuman lagi.
Cass menangis tanpa suara. Aku dapat merasakan air matanya. Rambut hitam
panjangnya terbaring di sisiku bagaikan bendera kematian. Kami terpaksa dan
kami memiliki cinta yang lambat, suram namun juga indah. Pada pagi hari Cass
membuat sarapan. Ia terlihat sedikit tenang dan senang. Ia bernyanyi. Aku tetap
berada di ranjang dan menikmati kebahagiaannya. Akhirnya, ia datang dan mengagetkanku.
"Bangun,
berengsek! Bersihkan wajahmu lalu nikmatilah pestanya!"
Aku mengantarnya ke
pantai waktu itu. Saat itu akhir pekan dan belum juga memasuki musim panas jadi
semuanya menjadi sangat sepi. Gelandangan pantai yang compang camping tidur
pada rerumputan di atas pasir. Yang lain duduk di bangku yang terbuat dari
batu, berbagi minuman walau cuma sebotol. Burung camar berkeliling, dengan
acuh, namun merasa terganggu. Wanita-wanita tua berumur 70 dan 80an duduk di
bangku dan berbincang mengenai penjualan real estat yang ditinggalkan
suami mereka karena bodoh dalam bertahan hidup. Untuk semua itu, ada udara yang
damai dan kami berjalan dan menggasak rerumputan tanpa banyak bicara.
Menyenangkan rasanya jika kami bersama. Aku membeli dua sandwich,
beberapa keripik dan minuman lalu makan dan duduk di atas pasir. Kudekap Cass
dan kami tidur bersama selama satu jam. Rasanya lebih baik daripada bercinta.
Ada sesuatu yang mengalir tanpa ketegangan. Saat kami bangun, kami kembali ke
tempatku dan aku yang memasak makan malam. Usai makan malam aku menyarankan
pada Cass agar kami tinggal bersama. Ia menunggu cukup lama, menatapku, dan
dengan perlahan berkata "Tidak." Aku mengantarnya kembali ke bar,
membelikannya minuman dan keluar. Aku mendapat perkerjaan sebagai tukang parkir
di sebuah pabrik sehari kemudian dan selama seminggu aku terus bekerja. Aku
sangat lelah karena terlalu banyak bekerja, tapi malam Jumat aku pergi ke West
End Bar. Duduk dan menunggu Cass. Jam demi jam berlalu. Setelah cukup teler,
bartender berkata padaku, "Turut berduka atas kekasihmu."
"Apa
maksdumu?" kataku.
"Maaf, apa anda
tahu?"
"Tidak."
"Bunuh diri. Ia
dikubur kemarin."
"Dikubur?"
tanyaku. Ia bisa saja keluar masuk tiap waktu. Bagaimana bisa ia pergi?
"Saudari-saudarinya
yang menguburkan."
"Bunuh diri?
Bagaimana ia melakukannya?"
"Ia menggorok
lehernya sendiri."
"Aku tahu.
Tambah minumannya."
Aku minum sampai bar
tutup. Cass adalah perempuan tercantik dari 5 bersaudari, tercantik di kota.
Aku berkendara ke tempatku dan terus berpikir. Seharusnya kupaksa agar ia tetap
bersamaku daripada menerima jawaban "tidak"nya. Semua tentangnya
menunjukan bahwa ia peduli. Aku terlalu acuh, malas, dan tidak peduli. Aku
pantas merima kematianku dan kematiannya. Aku adalah anjing. Bukan, kenapa
menyalahkan anjing-anjing? Aku bangun dan mengenggam sebotol wine lalu minum
sebanyak-banyaknya. Cass perempuan paling cantik di kota mati di umur 20. Di
luar seseorang menekan klakson dengan keras. Sangat keras. Aku menggebrak
dengan botol keras-keras dan menjerit: "BAJINGAN, KURANG AJAR,
DIAMLAH!". Malam demi malam berlalu dan tak ada yang bisa kulakukan.
© Charles Bukowski
1967-1972
Charles Bukowski adalah seorang penyair, novelis, dan cerpenis keturunan Jerman-Amerika. Cerpen The Most Beautiful Woman in Town adalah salah satu cerpen yang muncul di buku kumpulan cerpennya yang berjudul "The Most Beautiful Woman and Other Stories".
Teks asli dapat dibaca di "link"
![]() |
Seorang penggemar musik dan film, penerjemah pemula, kadang-kadang terpaksa jadi jurnalis
di LPM Rhetor. Bisa ditemui di instagram @sharkassthic_
|