Pakar dan Netizen yang Budiman
Sunday, May 3, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: cuadernoderetazos.wordpress.com |
Penulis: M. R. Rigen
Tulisan ini adalah sebuah
pemahaman singkat saya, setelah membaca buku Matinya Kepakaran, karya Tom Nichols. Berbicara tentang pakar,
barangkali kita langsung membayangkan orang-orang hebat, yang menekuni disiplin
ilmu tertentu. Benar, seperti arti dari kata “Pakar” sendiri, yakni spesialis
atau para ahli. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa hari ini kita sudah
memasuki babak keempat peradaban dunia. Yang akrab kita kenal dengan istilah
Revolusi Industri 4.0, atau Four Point
Zero.
Di era informasi
seperti sekarang, media adalah simbol peradaban yang sudah berimplikasi secara
global. Media, memiliki peran penting dalam membangun jaringan antar individu,
kelompok, dan massa. Selain itu, dengan didukung hadirnya internet, media
menjadi sebagai sebuah sarana percepatan informasi, dari satu tempat ke tempat
yang lain.
Hal tersebut yang selanjutnya,
membuat semua orang dapat dengan mudah mengakses informasi dewasa ini. Bahkan, hanya
dengan menggunakan gadget atau gawai yang kita miliki, kita dapat
mengakses informasi di seluruh dunia. Tanpa perlu menunggu waktu lama dan
bersusah-payah.
Belakangan ini,
kemudahan dalam mendapatkan informasi, menjadi perhatian bagi kalangan
pakar-pakar keilmuan dunia. Salah satunya Tom Nichols, seorang pakar dan akademisi
dari Amerika Serikat. Di dalam bukunya yang berjudul “Matinya Kepakaran”
The Death Of Expertise., Nichol menjelaskan,
tentang kritiknya kepada warga Amerika yang belajar setengah-setengah, namun
bertindak dan berlagak seperti ahli. Di mana, media menjadi tempat bagi mereka
mengekspresikan ketidak kompetennya, dalam mengomentari suatu masalah.
Seiring berjalan
waktu, teknologi semakin maju, dan semakin banyak platform media sosial yang
menyediakan sarana untuk mengakses informasi. Lengkap dengan fitur-fitur
menarik, yang bisa menunjang pengguna media sosial. Rupanya, kemajuan teknologi
seperti ini tidak serta merta dilihat sebagai berkah, tetapi juga lengkap
dengan paket kemudharatannya. Bagaimana tidak, seperti yang dikatakan
Nichol, “media membuat ‘Skeptisisme’ terhadap para pakar, saya khawatir
kita sedang menyaksikan matinya ide-ide kepakaran itu sendiri”.
Sehingga, timbul kekhawatiran
akan pembagian antara kelompok profesional dan orang awam. Seperti murid dengan
guru, pasien dengan dokter, dan orang tahu dengan orang yang merasa tahu
gara-gara Google, Wikipedia, dan blog. Dengan kata lain, antara mereka yang
memiliki pencapaian di sebuah bidang, dengan mereka yang tidak memiliki
pencapaian sama sekali. Hal ini, yang kemudian menjadi sebuah momok yang menakutkan
bagi para pakar. Karena sebagian orang, seakan-akan mengerti untuk berbicara
tentang segala hal di media sosial.
Yang menjadi
pertanyaan, apakah kita semua setara di media sosial? Tentu tidak bukan? Kita
tidaklah setara. Dalam artian, kemampuan kita mengomentari suatu bidang
keilmuan di media sosial, sangatlah bervariasi.
Mengapa saya katakan
tidak. Karena, perlu kita sepakati bersama, kita memiliki kecenderungan kompetensi
keilmuan yang kita tekuni. Di media sosial, kita perlu tahu yang namanya sebuah
batasan. Supaya tidak memicu kegaduhan. Misalnya, ketika kita tidak pernah
belajar tentang ilmu agama, jangan kemudian berbicara seolah-olah ahli agama. Pun
sama halnya jika tidak pernah belajar tentang ekonomi, sebaiknya jangan
mengomentari soal perekonomian.
Namun, hal semacam
itu sulit untuk dihentikan, Karena, di media sosial semua orang bebas
mengeluarkan pendapatnya ketika mengomentari suatu masalah. Terlepas dari paham
atau tidaknya seseorang tersebut ketika berkomentar. Di media juga, kita dapat
dengan mudah untuk mempelajari suatu masalah. Misalnya saja, ketika kita
mencari di papan Google menggunakan gawai. Dari hasil pencarian tadi, akan
muncul ratusan artikel yang bisa kita jadikan sumber keilmuan, untuk mencari
solusi dari setiap masalah.
Sayangnya, hal
semacam itu perlu kita ketahui efek negatifnya. Sama halnya seperti kita memakan
buah mangga. Kita mengupas kulit hijau yang pahit, lalu kita mendapat pilihan. Apakah
akhirnya menelan sendiri kulit tadi, atau malah kita berikan kepada orang lain.
Sebelum sampai ketika kita akan mengiris apalagi memakan dagingnya. Dan
mendapatkan daging lunak nan kuning kemerahan, dengan pisau yang kita miliki.
Selain itu, masih ada
beberapa poin yang ingin saya sampaikan, yakni tentang “Bias Konfirmasi dan
Demokrasi.” Pertama, bias konfirmasi adalah sebuah kecenderungan mencari informasi,
yang hanya membenarkan apa yang kita percayai. Menerima fakta yang hanya
memperkuat penjelasan yang kita sukai, dan menolak data yang menentang sesuatu
yang sudah kita terima sebagai kebenaran. Atau lebih sederhananya, kebiasaan enggan
mendengarkan penjelasan orang lain, karena sudah yakin dengan otoritas keilmuan
yang dimiliki.
Disadari ataupun
tidak, sering kali kita temui kejadian semacam itu di kehidupan bermedia
sosial. Bahkan, bisa jadi kita sendiri pernah melakukannya? Pendidikan, seharusnya
membantu kita mengenali hal semacam ini, sehingga kita bisa menghindari apa
yang Nichol sebut, “Efek Dunning Krunger”. Yaitu fenomena di mana
semakin bodoh seseorang, semakin tidak menyadari bahwa mereka bodoh. Fenomena ini,
seperti yang disebutkan sebelumnya, disebabkan karena menilai diri terlalu
tinggi, atau meminjam bahasa milenialnya; ‘kepedean’.
Tentu saja, ada
alasan lain yang menyebabkan orang-orang tidak berkompeten seperti ini, bisa menilai
diri terlalu tinggi. Yakni karena tidak adanya faktor metakognisi di dalam
diri. Yaitu kemampuan untuk menyadari kesalahan, dengan mengambil jarak,
melihat apa yang sedang dilakukan. Lalu selanjutnya menyadari bahwa kita salah
melakukannya. Hal ini menjadi penting, mengingat di media sosial yang menjadi
kontrol atas segala tindakan yang kita lakukan, adalah diri kita sendiri. Dan bukan
orang lain.
Kedua, demokrasi. Perlu
digarisbawahi, bukan berarti saya menyempitkan arti atau makna demokrasi di
sini. Melalui tulisan ini, saya mencoba melihat demokrasi dari kerangka rmedia
sosial. Demokrasi, menjadi narasi yang paling laris digaungkan, oleh orang-orang
yang tidak berkompeten, sebagai alasan mencari eksistensi di media sosial.
Berangkat dari paham kesetaraan hak, mereka masuk ke dalam segala lini disiplin
ilmu. Meskipun kebanyakan hanya bermodal pengetahuaan artikel, yang mayoritas
didapat dari Google. Ironisnya, komentar yang diberikan bukan hanya omong
kosong yang tak berdasar, tapi juga cacian, makian, kepada pakar.
Terakhir, tulisan ini
dimaksudkan bukan bentuk pembelaan kepada para pakar keilmuan. Namun, lebih
jauh dari itu, tulisan ini dimaksudkan sebagai bahan refleksi kita sebagai
pengguna media sosial.
Mari kita belajar serta berbicara sesuai dengan
kepakaran kita masing-masing, agar mampu menjadi Netizen yang budiman sebenar-benarnya. Terlepas, pro dan kontra
para pembaca, sependek pemahaman saya, tulisan ini disadari masih banyak
kekurangan. Untuk itu, dengan kerendahan hati saya mengharapkan krtitikannya, untuk
kebaikan tulisan-tulisan berikutnya.
![]() |
Bisa ditemui di IG/FB/TW: @rigenwazha |