Once Upon a Time in Hollywood: Dunia Alternatif a la Quentin Tarantino
Wednesday, May 13, 2020
Edit
Penulis:
Kusharditya Albi Hafiezal
Data Film
Judul: Once Upon a Time in Hollywood
Sutradara:
Quentin Tarantino
Pemeran:
Leonardo Di Caprio, Brad Pitt, Margot Robbie, Al Pacino
Durasi: 160
menit
Tahun Rilis:
2019
Banyak yang cukup
kecewa dengan film terbaru Quentin Tarantino. Meskipun punya rating yang bagus,
ternyata ulasan buruk lebih sering saya temui di internet daripada ulasan
baiknya. Tirto.id bahkan menulis bahwa film ini semacam penegasan bahwa
Tarantino sudah tua, yang secara tidak langsung berarti kualitasnya menurun.
Sejak muncul
trailer awalnya, film ini memunculkan Brad Pitt dan Leonardo Di Caprio, yang
tentu cukup memancing antusias penggemar Tarantino. Sebuah kombinasi yang
menarik. Meskipun saya bukan penggemar Tarantino, saya cukup banyak menonton
film-filmnya. Mulai dari Pulp Fiction, Reservoir Dogs, Kill Bill, dan
favorit saya, Inglourious Basterd. Dari semua film Tarantino yang saya
tonton, memang saya pikir film terakhir ini kurang memuaskan dan tidak seikonik
film-film sebelumnya.
Saya selalu
mengaitkan film-film Tarantino dengan adegan-adegan brutal, penuh darah, dan
fantasi pembunuhan-pembunuhan yang kejam. Selain itu, mungkin selipan-selipan
budaya pop yang akan membuat penonton familiar dengan referensinya. Dari musik,
film, buku, sampai aktor terkenal yang menjadi atribut dalam film.
Misalnya, kita
bisa langsung tergambar adegan dansa di film Pulp Fiction, ketika
mendengar lagu You Never Can't Tell dari Chuck Berry. Atau lagu Stuck in The
Middle With You milik Stealers Wheel, di tengah-tengah adegan penyiksaan sadis
dalam Reservoir Dogs. Sangat ikonik.
Dalam film
terbarunya, Tarantino memberikan cerita yang cukup berbeda. Biasanya, ia
menyuguhkan adegan aksi, kriminalitas, pembalasan dendam, atau perang. Di Once
Upon a Time in Hollywood, kita akan disuguhkan cerita tentang hubungan
aktor dan stuntmantnya. Rick Dalton (Leonardo Di Caprio) yang cukup bersahabat
dengan pemeran penggantinya sendiri, Cliff Booth (Brad Pitts).
Hampir tiga
perempat bagian film ini menceritakan lika-liku tokoh utama, tentang persoalan
aktor yang katakanlah hampir kadaluarsa dan nyaris tidak laku. Mulai dari tak
ada tawaran film dan menurunnya popularitas dari aktor itu sendiri.
Film ini diramu
dengan komedi, gaya hidup aktor di Los Angeles, dan lanskap dunia perfilman
Hollywood era 60an akhir. Saya memang menaruh ekspektasi tinggi terhadap film
ini. Saya pikir film ini akan jadi perpaduan antara Djanggo Unchained
dan Inglourius Basterd. Mengingat Di Caprio bermain di Djanggo
Unchained sedangkan Brad Pitt pernah bermain dalam Inglourious Basterd.
Ternyata film jauh dari ekspektasi dan tidak begitu memuaskan saya. Ketika
menonton film ini, saya bahkan bertanya-tanya, “apa benar ini film Tarantino
betulan?”
Alur film ini
bisa dibilang sangat lambat. Namun, penonton agaknya cukup dimanjakan dengan
tone warna film dan setting Los Angeles tahun 60an. Entahlah, akhir-akhir ini
kan segala hal yang berbau jadul itu memang kelihatan seksi.
Jujur saja,
saya baru bisa bilang kalau film ini baru benar-benar khas Tarantino setelah
kurang dari seperempat bagian terakhir film. Perkelahian brutal, senjata tajam,
pistol, dan pengaruh zat acid. Tapi itu semua cuma kejutan yang tanggung.
Dunia
Alternatif Tarantino
Perkiraan saya
soal tren setting waktu masa lampau, ternyata salah besar. Bukan tanpa sebab
bahwa Tarantino mengambil setting tahun 60an dan Hollywood. Tarantino
pernah mengatakan dalam satu wawancara, bahwa ia menulis naskah film ini,
selama 5 tahun. Waktu yang tidak sebentar. Dan tentunya ada suatu riset yang
memang dikerjakannya.
Once Upon a
Time in Hollywood tidak hanya bercerita tentang kehidupan tokoh utama. Justru
cerita utama dalam film ini hanya pengalihan. Saya pikir, apa yang ingin
dilakukan Tarantino sebenarnya adalah membuat film Biopik, mengenai kehidupan
aktris Hollywood, Sharon Tate. Sharon Tate sendiri tewas dibunuh pada 8 Desember
tahun 1969 oleh sekelompok anggota komune. Komune ini dipimpin oleh seseorang
bernama Charles Manson. Dan orang-orang ini juga sering disebut sebagai Manson
Family.
Pada 8 Agustus
1969, tiga orang anggota Mason, Tex Watson, Susan Atkins, dan Patricia
Krenwinkel mendatangi rumah Sharon Tate. Mereka membunuh Tate yang sedang hamil
8 bulan beserta keempat orang lainnya, menggunakan revolver dan pisau lipat.
Pembunuhan itu didasarkan atas perintah Charles Manson. Saya tidak cukup tahu
kenapa si Charles Manson ini ingin sekali membunuh aktris Hollywood. Tentunya
sangat banyak berita dan artikel yang membahas peristiwa pembunuhan itu.
Nah, di dalam
film Tarantino hal itu tidak terjadi. Ketiga anggota keluarga Mason itu justru
mendatangi rumah dua tokoh utama, Rick Dalton dan Cliff Booth, yang di dalam film bertetangga dengan Sharon
Tate—tentu dalam dunia nyata Dalton dan Booth tidak eksis sama sekali. Dan
ketiga anggota Mason itu berencana membunuh Dalton dan Booth.
Namun lucunya,
usaha pembunuhan itu malah gagal. Justru ketiga anggota Mason itu yang mampus
di tempat. Karena pembunuh-pembunuh itu sudah selesai, maka di dalam film tidak
terjadi pembunuhan terhadap Tate. Alangkah bagusnya jika hal itu terjadi di
dunia nyata bukan?
Film pun selesai
setelah polisi datang. Tate dan suaminya keluar rumah karena kegaduhan yang
terjadi. Rick Dalton pun mampir ke rumah Tate untuk berbincang pasca percobaan
pembunuhan itu.
Sebenarnya cukup
gelap juga film ini. Apalagi, cukup banyak selipan komedi berbalut adegan
kekerasan di film ini, dengan latar sejarah pembunuhan. Namun, Tarantino saya
pikir tetap gagal dalam film ini. Karena cerita utama film ini kurang memikat
sehingga penonton bakal lebih tertarik dengan cerita soal Sharon Tate. Dan
lagi, tidak banyak yang tahu mengenai kejadian pembunuhan itu, bahkam dalam
wawancaranya bersama Times, Tarantino mengatakan bahwa penonton akan sedikit
kesulitan mengenali nama-nama yang ia sebut.
Kenyataannya,
ide Tarantino ini memang menarik. Alih-alih membuat film Biopik mengenai Tate
dan Mason Family, ia membuat cerita fiksi dengan latar kejadian tersebut. Tapi
tetap saja, saya pikir kualitas film ini menjadi peringkat paling bawah
daripada film-film Tarantino yang lain. Meskipun begitu, film Tarantino yang
tidak sebagus biasanya ini, menurut saya akan tetap layak untuk ditonton.
![]() |
Seorang penggemar musik dan film, kadang-kadang terpaksa jadi jurnalis
di LPM Rhetor. Bisa ditemui di instagram @sharkassthic_
|