Mental Down akibat Pertanyaan Kapan Kamu Nikah?
Thursday, May 14, 2020
Edit
Penulis: Ainul Luthfia Al Firda
Selama masa karantina mandiri berlangsung, sebagian
masyarakat pasti mengalami persoalan yang hampir dialami oleh sebagian remaja,
yakni pertanyaan “kapan kamu akan menikah?”, “orang mana dia?”, “ Mbak, Ibumu
sudah pengen menimang cucu lho”. Beberapa pertanyaan itu, seakan melukai batin
dan sesekali membuat tertekan.
Bagaimana tidak, di tengah pandemi semua akses ditutup,
dan di samping itu setiap saat harus
mendengarkan dan merespon pertanyaan kapan kamu akan nikah? Andai bisa
keluar dari rumah dengan setenang mungkin, bagi saya pilihan terbaik adalah
keluar dari rumah. Memilih untuk menenangkan diri, dan melupakan pertanyaan-pertanyaan
seputar menikah yang terdengar membosankan itu.
Pada saat karantina mandiri di tengah pandemi Covid-19,
banyak pelajaran yang saya dapat. Salah satunya ialah makna kesabaran. Sabar
menghadapi beberapa pertanyaan yang menyinggung soal pernikahan. Mungkin
sebagian orang akan memaknai menikah itu sesuatu yang bahagia, atau momentum
yang membuat semua orang bahagia. Akan tetapi, hal ini berbeda dengan maksud
pemahaman dan yang dirasakan penulis. Hemat saya, menikah adalah momen yang
mengharuskan calon pengantin untuk bahagia terlebih dulu, sebelum akhirnya ia
akan lebih bahagia pada waktunya.
Dorongan
untuk menikah ternyata tidak hanya berhenti di keluarga. Bahkan sebagian teman
di sekeliling sangat memungkin juga menanyakan pertanyaan yang sama. Menurut
penulis, menikah bukanlah legalisasi suatu hubungan di balik kata Qobiltu,
yang disaksikan oleh para wali mempelai, dan pengurus KUA serta beberapa saksi.
Menikah ialah suatu kesiapan dalam menghadapi bahtera berumah tangga dengan
segala kesiapannya, baik perihal agama, ekonomi dan hal lainnya.
Memang benar,
menikah adalah salah satu jalan untuk menghindari perbuatan zina. Akan tetapi,
menikah juga tidak semestinya dijadikan jalan pintas untuk menghindarinya. Menikah
adalah momentum sakral, dan yang akan menjalaninya harus benar-benar siap untuk
meniti kehidupan setelah menikah, baik suka maupun duka. Entah dipenuhi
canda-tawa atau malah menghadirkan sebuah luka.
Beberapa
hal di atas, sering kali dilupakan oleh sebagian besar masyarakat kita.
Keinginan untuk segera melaksanakan pernikahan tanpa kesiapan, merupakan efek
dari hawa nafsu. Dan sesuatu yang terburu-buru disebabkan karena kuasa hawa
nafsu, biasanya tidak akan mencapai suatu kebahagiaan dan kenikmatan. Oleh
sebab itu, menikah perlu adanya sebuah kesiapan, baik lahir maupun batin.
Berbicara
tentang pertanyaan kapan kamu akan menikah, hal ini sering kali dilanggengkan
lewat obrolan ringan yang bermaksud candaan. Akan tetapi, kebanyakan tanpa
disadari, pertanyaan ringan tersebut malah sering kali membuat terluka bagi
pihak yang ditanya. Bahkan tidak jarang menimbulkan tekanan batin, yang berawal
dari memaknai menikah sebagai puncak kebahagiaan seseorang.
Fenomena
tentang maraknya pertanyaan kapan kamu akan menikah, ternyata menimbulkan
banyak dampak negatif. Salah satunya ialah kesehatan mental yang semakin
menurun, dan membuat kebanyakan orang tertekan. Bahkan dampak lebih buruknya
ialah stres yang berkepanjangan.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu, setiap harinya makin
banyak kita dengar di tengah pandemi ini. Pertanyaan yang terkesan ringan, tapi
menjadi dilematis. Apalagi dengan posisi semua orang berada dalam masa
karantina seperti ini, tentu membuat keresahan bagi yang ditanya (korban).
Salah satu pengalaman unik yang penulis dapat, sebagian
teman perempuan penulis lebih memilih untuk sendiri, ketimbang harus menikah
dan akhirnya tidak bahagia. Secara tidak langsung, penulis menyimpulkan kalau
ini menjadi salah satu dampak lain, ketika seringnya orang menanyakan urusan
pribadi seseorang, terlebih soal menikah dan keberlangsungan masa depan.
Menurut Dea Safira dalam bukunya yang berjudul Membunuh
Hantu-Hantu Patriarki, memamparkan bahwasannya menikah tidak akan otomatis
membuat orang bahagia. Sebab menurutnya, ada banyak cara lain untuk bahagia.
“Kita harus bahagia sebelum akhirnya menikah.”
Dari kutipan tersebut, penulis merespon dan menyepakati
bahwasannya yang dikatakan Dea dalam tulisannya, merupakan sesuatu yang benar. Ya,
kita harus lebih bahagia sebelum akhirnya kita harus menikah. Maksudnya ialah,
kita harus terlebih dulu merealisasikan planning hidup pribadi, dengan
pencapaian yang dihasilkan dari kerja keras dan keringat sendiri. Sehingga
hal-hal tersebut dapat membahagiakan pribadi masing-masing.
Menurut penulis pula, kutipan yang dipaparkan Dea Safira
di atas dapat dijadikan sebagai referensi, untuk menguatkan visi bahwa sebelum
menikah kita harus lebih dulu bahagia. Pertanyaan tentang kapan kamu akan
menikah, yang semakin dilanggengkan itu, penulis sadari lambat laun akan
menjadi momok bagi mereka yang belum menikah.
Tidak berhenti sampai di situ saja, bahkan akan muncul pertanyaan-pertanyaan
yang lebih tajam lagi, yang bakal muncul setelah menikah. Seperti kapan kamu
akan punya anak, kapan kamu akan nambah anak lagi, dan pertanyaan-pertanyaan
lain yang bersifat menyudutkan. Maka dari itu, mari kita bersiap diri sejak
dari sekarang.
Pada akhirnya, persoalan tentang urusan hidup orang lain,
biarkanlah menjadi target hidup masing-masing, dan tidak seharusnya kita
terlalu keras dalam mencampuri urusan pribadi orang lain. Bukankah menyelesaikan
urusan pribadi terlebih dulu akan lebih bermanfaat? Ketimbang mengurusi masalah
orang lain yang belum kita ketahui seluk-beluknya.
![]() |
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Berdomisili di Boyolali. Bisa ditemui di Instagram; @Firdaainul. Sedang memulai dunia tulis menulis dan menggemari sesuatu yang berhubungan dengan kesetaraan~ |