Laki-laki Bara Api dan Sehimpun Puisi Lainnya
Monday, May 11, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: cuadernoderetazos.wordpress.com |
Penulis: Wahyu Widiyawati
DIKAU
ialah sepucuk surat Tuhan yang berisikan permenungan
penggambaran
warna dan garis kehidupan
yang
membentuk lukisan peradaban
euforia
pelucutan keduniawian
menuju
keabadian
DIKAU
ialah sumber nyala bagi jiwa yang hampa
pengisi
kedamaian yang beraroma surga
yang
tiada pernah asing lagi hina
sekalipun
diasingkan para pendosa;
seperti
aku, misalnya
Kulonprogo,
Oktober 2018
Hiduplah Sendiri
Sepasang
mata hanya mampu tertunduk hina
Ketika
pasang mata lain menatap dengan angkuhnya
Sepasang
telinga hanya mampu menuli
Ketika
suara-suara meluncur tanpa spasi
Sepasang
bibir hanya mampu bergeming
Ketika
telinga selalu melempar sudut pandang asing
Kau
terlalu tinggi
Tak
sudi terciprati
Maka,
hiduplah sendiri
Kulonprogo,
Juli 2019
Laki-laki Bara Api
Seorang
laki-laki berjalan di atas bara api
keyakinan
yang kuat ialah bekalnya setiap hari
terbakar
ialah resiko yang dialami
tapi
jauh sebelum itu sudah ia pahami
maka
langkah yang ia ayunkan hari ini
ialah
ketetapan yang tak akan tervonis mati
Seorang
laki-laki berjalan di atas bara api
ia
merelakan hatinya tercabik sepi
kepala
berasap ia pun tak peduli
istri
berujar; kembali
anak
merengek; ayah tetaplah di sini
kawan
berteriak; api lagi
Menjadi seperti air pasti menenteramkan
menjernihkan
pikiran
memadamkan
kegelisahan
tenang
menepis kegamangan
lalu roboh seutuhnya pada Tuhan
yang
akan mengatasi segala kekalutan
Kulonprogo,
Agustus 2019
Saat Sendirian
Aku terjebak dalam lubang
kesunyian
Terseret arus zaman
Yang meniadakan keadilan
Yogyakarta, Juni 2019
Datang Memberi-Pergi Melukai
Tiap-tiap yang datang memberi
Tiap-tiap yang pergi melukai
Tiap-tiap kau punya cara sendiri memberi dan
melukai
Semua orang saling mencintai
Sekaligus semua orang saling melukai
Berhentilah histeris
Seolah hidupmu paling tragis
Baca dan pandang kejadian dari sudut pandang manis
Maka biarlah patah terjadi
Sebab kau akan mampu bangkit lagi
Tuhan memang sengaja demikian
supaya kau punya kenangan
supaya kau punya pelajaran
untuk dibagikan
dan kau mampu memberi ucapan;
“Tenang, kau tak sendirian”
Kulon
Progo, Januari 2020
Kita
Telah Dihasut Maya
Ruang bercanda kita dihasut maya
Gelak tawa yang riuh
Luruh.
Emoji kian bergemuruh
Degub jantung kita mengalirkan prasangka
Jemari menghasilkan retorika
Semua bergaya dusta
Dalam balutan canda
Kata dan nada tak lagi seirama
Kita terbuai masa
Tertipu layar sua
Lupa berkarya
Apalagi senyum pada sesama
Pengasih,
Februari 2020
![]() |
Perempuan ini bernama pena Wahyu We, lahir di bulan Desember 1995. Bertempat tinggal di Yogyakarta. Alumnus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Hobinya ialah membaca, menulis, dan melakukan hal-hal yang berkaitan dengan seni seperti misalnya desain grafis, tarik suara, dan seni mencintainya dalam imaji. Beberapa karyanya pernah tak sengaja lari dari dokumen menuju web pura-pura penyair, tembi.net, kabapesisir, dan floressastra. Puisinya juga kadang kabur memilih tergabung dalam antologi puisi Sumpah, Serapah, Sripah (2019, Reybook Media), Membaca Hujan di Bulan Purnama (2019, Sastra Tembi.net), dan antologi cermin Growing Memories (2019, Ellunar Publisher). Segala yang tersaji merupakan kejadian yang baru saja ataupun telah lama berlalu. Kemudian endap dan menjadi memoar; untuk dilupakan atau dikenang. Apabila ingin bercakap dengannya bisa terhubung ke wahyuwe30@gmail.com. Facebook Wahyu Widiyawati. |