Kopi, Kolonialisme, dan Sejarah Kelam di Baliknya
Thursday, May 14, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: picuki.com |
Identitas Buku
Judul: Babad Kopi Parahyangan
Penulis: Evi Sri Rezeki
Penerbit: Marjin Kiri
Cetakan: Februari, 2020
Tebal: i-x+348
Pahitnya kopi ketika diseruput terasa begitu lekat di lidah, bahkan tidak jarang sampai memenuhi hingga
ke rongga mulut. Kesan yang cukup menarik tersebut, menjadi salah satu alasan kuat untuk
selalu menghadirkan secangkir kopi disela-sela padatnya kegiatan, ataupun saat
bersantai. Lalu bagaimana kiranya
mereka
yang tidak suka dengan pahit? Bukankah masih ada persediaan gula di dalam
toples di rumahmu? Maka gunakalah
gula itu untuk menemani pahitnya kopi tadi.
“Anak kecil gak boleh minum kopi”. Begitulah ucapan dari seorang ibu
melarang anaknya meminum kopi. Itu pula yang saya alami ketika hendak meminum
kopi Bapak, saat Bapak sedang asik ngobrol bersama temannya. Karena kopi
yang pahit,
terkadang membuat bapak susah untuk tidur, dan itu menjadi salah satu alasan kenapa saya tidak
boleh ikut menikmati kopi.
Mulai
dari Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, hingga Jepang, mereka hadir di tanah
Nusantara dengan tujuan untuk mencari rempah-rempah. Tampaknya itu saja tidak
cukup memuaskan,
ketika mereka melihat tanah Nusantara
dengan beraneka ragam tumbuhan dan keuntungannya. Silih berganti mereka
menyerap dengan membabi buta, mempekerjakan rakyat dengan tidak manusiawi,
semata-mata hanya untuk terus menambah keuntungan.
Begitu pun dengan kopi, menajdi salah satu tujuan negara-negara dari benua Eropa hadir di tanah Nusantara. Dengan daya tarik yang luar biasa itu, menjadikan nasib
kopi seperti
halnya dengan yang terjadi pada tanaman-tanaman lain, yang juga menarik perhatian orang-orang
dari Eropa. Nampaknya, tanaman kopi juga
mempunyai peranan yang tidak
kecil, sehingga
adanya kolonialisme yang terjadi di
Nusantara.
Evi
Sri Rezeki dalam bukunya Babad Kopi Parahyangan, coba menunjukkan pada
kita bagaimana sejarah panjang kopi di negeri ini. Melalui penelitiannya selama
enam tahun belakangan mengenai kopi, kita diajak untuk melangkah jauh ke belakang, melihat bagaimana sejarah perjuangan
panjang kopi yang bisa kita
nikmati saat ini. Evi menaruh
tugas kepada tokoh yang ada di dalam novelnya, agar kita paham bahwa cerita
yang terkandung dalam secangkir kopi, bukanlah hal remeh-temeh.
Sebagaimana yang digambarkan dan terwakili oleh tokoh Karim dalam buku tersebut.
Karim,
sebagai seorang yang berkeinginan menjadi Bandar kopi, membulatkan tekad merantau ke tanah
Parahyangan. Keinginannya diperkuat ketika Karim bertemu dengan pelaut di pelabuhan.
Sang pelaut memulai ceritanya;
bahwa ia telah berkeliling mencicipi berbagai kopi. Berbagai Benua telah ia jelajahi, berbagai kopi pun
telah ia rasakan. Namun Si
Emas dari Jawa lah yang lebih nikmat, terlebih
harganya pun lebih mahal dibandingkan dengan kopi yang lain. “Secangkir Jawa,”
begitulah mereka menyebutnya.
Cerita-cerita
mengenai kopi terus ia gali dari Sang
Pelaut. Mulai dari saat pertama kali bertemu dan bercengkerama, sampai dengan perpisahannya dengan Sang Pelaut.
Bukan karena semata-mata keingintahuannya saja. Itu semua ia yakini sebagai
pengetahuan
dasar yang harus dimiliki, dan sebagai
bekal wajib seorang Bandar kopi.
“Musim kikir memanggil para petani,
mengubur nyawa di bawah rumpun kopi (halaman 135).
Tepat pada saat musim kikir Karim tiba di tanah
Parahyangan. Musim di mana perkebunan kopi membutuhkan sebanyak-banyaknya
pekerja. Sehingga dengan mudah saja Karim dapat diterima
bekerja di perkebunan kopi. Langkah awal mimpi sebagai Bandar kopi pun bermula
dari perkebunan tersebut.
Kondisi
perkebunan yang tidak menunjang para
pekerja, membuat betapa sulitnya pekerja mendapat tempat ataupun makanan yang
layak, dengan jam kerja
lewat batas. Untuk meminum kopi pun menjadi
hal yang dilarang bagi pribumi. Hal
ini bisa kita temui pada tokoh Ujang yang meminum kopi dengan
sembunyi-sembunyi.
Siapa
sangka, kopi luwak yang
saat ini secangkirnya dibandrol dengan harga ratusan ribu, ternyata lahir dari sebuah keterbatasan. Keterbatasan yang muncul persis ketika
masyarakat dilarang meminum kopi. Ya,
kopi yang Ujang minum itu adalah
kopi dari kotoran luwak.
“Ketika manusia telah mencapai puncak,
ia melihat puncak yang lain. Ingin meraihnya dengan berbagai cara. Senyatanya
patutlah kita bertanya, di manakah
puncak sesungguhnya?”
(halaman
37).
Kondisi perkebunan kopi yang seperti itu pada akhirnya
membuat Karim tidak habis pikir. Dengan keadaan para pekerja yang serba
kekurangan, alih-alih akan mendapat panen yang besar, malah justru membuat
panen kopi tersebut merosot.
Pernah terbesit dalam benak Karim untuk membuka lahan, agar
kebutuhan pangan para pekerja minimal mencukupi kehidupan sehari-hari. Akan
tetapi hal itu tidak memungkinkan. Melihat pengawasan yang ketat dan hukuman
yang akan didapat.
Dengan
berbagai alternatif,
Karim memulai perlawanan di perkebunan kopi. Karim dibantu oleh Euis, kang Asep dan Ateng. Melalui barter antara kopi dan beras atau kebutuhan pokok lainnya, Karim berharap dapat
untuk sedikit memenuhi kebutuhan pangan para pekerja.
Kopi
hasil dari barter dengan para petani tersebut, kemudian dijual Karim secara illegal kepada babah Liong,
keturunan Tionghoa
yang berada di pusat kota. Hal itu dilakukan Karim dengan susah payah, meskipun
ia memakai gerobak yang ditarik dengan kerbau. Perjalanannya memakan waktu
kurang lebih sepekan, membuat
pekerjaan menyetor kopi menjadi pekerjaan yang paling sulit di antara pekerjaan lain di perkebunan. Karena bukan hanya tenaga dan waktu yang dipertaruhkan,
namun juga nyawa sebagai jaminan keberhasilan.
Akhirnya, ketika sudah selesai membaca buku ini, membuat saya di kala sedang menikmati
kopi dengan rasa pahit-manisnya teringat sesuatu. Teringat akan sebuah ingatan yang kembali
melekat jauh ke belakang. Mulai dari bagaimana para petani kopi ketika menjalani hidupnya, dengan pahit-manis yang tiada
henti dan silih berganti . Terbayang dengan kerja keras tanpa mengenal
waktu, kehidupan yang tidak selayaknya hidup. Ah, kopi memang memiliki sejarah
kelam bagi para petaninya. Oleh karena itu pula saya rasa kita sepatutnya
bersyukur, masih bisa menikmati kopi hingga sekarang.